Narasi

Mewaspadai Kekerasan

Francis Houtart menulis artikel berjudul The Cult of Violence in the Name of Religion: A Panorama (1997) yang berkesimpulan bahwa setiap masyarakat itu mengandung kekerasan. Kekerasan dapat berbentuk fisik maupun simbolik. Ia dapat diterima atau diderita. Ia tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi atau transformasi dalam hubungannya dengan hubungan sosial. Sehingga alasan yang sangat fundamental dari hal ini adalah harus dicari dalam hati manusia itu sendiri. Sebab, faktor manusia menjadi sangat penting untuk menjelaskan mengapa kekerasan itu terjadi.

Pendapat Houtart tersebut sepertinya berpijak pada teori Thomas Hobbes, yang menyatakan manusia sebagai makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional dan anarkistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, buas dan pendek pikir. Inilah sosok homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lain dan akibatnya perang semua lawan semua (bellum omnium contra omnes).

Secara harfiah, kekerasan diartikan sebagai sifat hal yang keras, kekuatan, dan paksaan. Sedang kekerasan dapat pula diterjemahkan dari violence. Violence berkaitan erat dengan gabungan kata Latin “vis” (daya, kekuatan) dan “Latus” (yang berasal dari ferre, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan. Jadi dapatlah dikatakan, kalau istilah kekerasan berarti menunjukkan pada perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

Robert Audi, merumuskan violence sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang (Windhu, 2002). Singkatnya, istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.

Contoh yang paling aktual adalah aksi kekerasan dan penyerangan sekelompok Ormas terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah, LDII, atau Syiah yang terjadi di Negara kita. Kelompok minoritas ini sering menjadi ‘tumbal’ kekerasan atas nama agama oleh kelompok Ormas tertentu yang dalam klasifikasi sosiologis, mereka disebut sebagai kelompok ‘anarkistis’, ‘jihadis’, ‘kelompok ekstremis’, dan lain sejenisnya.

Kekerasan atas nama agama

Memang sungguh ironis, agama yang sejatinya menjadi pelindung dan kedamaian, atau dalam istilah Peter L. Berger (1969) disebut sebagai kanopi suci (the secret canopy), nyatanya tidak demikian bagi kelompok ekstremis. Di tangan Ormas yang biasa berpakaian serba putih beserta surbannya itu, agama justru dijadikan teror menakutkan—atau meminjam istilah John L. Esposisto—disebut ideologi kebencian kepada orang yang dianggapnya ‘musuh’.

Karena itu, tindakan keji dan barbar oleh kelompok ekstrimis tidak pernah segan menghancurkan, bahkan membunuh orang lain yang tak sepaham dengannya, sembari menyebut nama Keagungan Tuhan. Kekerasan atas nama agama dengan demikian, telah benar-benar berwujud nyata dan terjadi di sekitar kita. Nama agama atau Tuhan sesungguhnya dibajak, untuk melegitimasi tindakannya. Mereka seolah-olah berjuang demi agamanya, padahal sesunguhnya demi ideologi sempit yang mereka anut. Sebab, tidak ada agama manapun di dunia ini yang menganjurkan pemeluknya untuk berbuat anarkistis dan merugikan orang lain.

Kebebasan beragama seperti yang banyak terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia, berjalan secara paradoks. Menarik apa yang diungkap oleh Nasr Hamid Abu Zayd dalam suatu kesempatan. Abu Zayd membandingkan antara kebebasan pasar dengan kebebasan beragama itu sendiri; kebebasan pasar yang ditandai dengan globalisasi dan sistem kapitalisme justrui diadopsi secara terang-terangan oleh negara. Sementara kebebasan beragama malah tertahan, tidak dibiarkan mengalir secara alami sebagai kodrat manusia.

Padahal secara eksplisit aturan baku UUD 1945 sesungguhnya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun pemerintah dan sebagian masyarakat kita tidak konsisten menaati pesan profetik itu. Artinya, wilayah keyakinan sejatinya perlu dihormati karena bagian penting dari hak asasi seseorang.

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago