Narasi

Toleransi: Jalan Damai Menjaga Indonesia

Bulan Agustus telah datang kembali. Bulan bersejarah dalam masa kemerdekaan Indonesia. Bulan ini, hampir 76 tahun kemerdekaan Indonesia diikrarkan bersama. Di tahun ini, suasana kemerdekaan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila tahun kemarin, diawal bulan sudah nampak hingar-bingar perlombaan, serta banyaknya masyarakat menghiasa jalan kampung dengan aneka kreasi. Kini, kita hanya bisa merayakan dalam kesunyian dan menjaga jarak, lantaran wabah belum usai.

Meskipun di bulan kemerdekaan nampak berbeda, tetapi spirit perjuangan menjaga kemerdekaan tidak pernah surut kita perjuangkan. Di masa lampau, menjaga kemerdekaan dengan mengakat senjata dan mengusir para penjajah dari tanah air kita. Di saat ini, menjaga kemerdekaan, tidak lagi mengangkat senjata tetapi dengan menjaga dan merawat kebhinekaan.

Salah satu cara menjaga kebhinekaan adalah menyebarkan luaskan sifat toleransi. Karena toleransi yang ada di Indonesia cara paling utama dan harus dilaksanaan disemua masyarakat tanpa terkecuali. Tanpa adanya sifat toleransi dalam tubuh masyarakat, maka tidak ada kebhinekaan di bangsa kita ini.

Toleransi secara sederhana memiliki makna mengenai sikap yang membiarkan orang lain berpikir dan berpendapat berbeda, tanpa menghalang-halangi. Penjelasan senada juga dapat kita ketemukan lebih spesifik di dalam kamum umum bahasa Indonesia bahawa toleransi di artika sebgai fifat menghargai, membolehkan dan membiarkan kepercayaan, kebiasaan maupun kelakukan yang bertentangan.

Dengan pengertian tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa toleransimerupakan sifat intraksi yang saling memahami dan penuh pengertian antar individu dan kelompok lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Jhon L. Esposito dalam bukunya Islam Aktual, baha keragaman dan pluralisme dalah pesan intergral yang menekankan penghargaan terhadap pelbagai keragamaan yang terdapat pada kehidupan manusia.

Ketika hilangnya sifat toleransi hilang dalam dirinya seorang, kemudian meluas menjadi kelompok, maka mereka akan membahayakan kebhinekaan Indonesia. Kita tengok kejadian intoleran yang ada disekitar kita, mereka dilahirkan dari individu atau kelompok yang tidak suka dengan perbedaan yang di sekitar meraka. Mereka merasa paling benar bahkan merasa paling suci yang bisa menentukan kebenaran itu sendiri.

Sikap intoleransi ini menjadi “wabah” yang cukup berbahaya ketika sifat ini menjangkit kepada orang-orang yang beragama. Tentu masih segar dalam ingatan kita peristiwa berdarah yang terjadi dalam kurun 1998 – 2000 di Ambon, Maluku. Saat itu pecah kerusuhan berkepanjangan antarkelompok masyarakat beragama yang melibatkan kelompok Kristen dengan Islam. Konflik yang berlangsung bertahun-tahun dan memakan banyak korban jiwa dan harta benda itu padahal bermula dari konflik antara preman asal Sulawesi Selatan dengan sopir angkutan kota.

Kemudian meluas menjadi konflik antara kelompok masyarakat Ambon dan kelompok Masyarakat Bugis, Buton, dan Makassar. Karena konflik tersebut kemudian membawa-bawa agama, maka kemudian menjadi konflik antara kelompok masyarakat Kristen Ambon dengan kelompok masyarakat Islam Ambon. Konflik ini menjadi salah satu konflik terbesar dan terlama di negeri ini, dan dapat dikatakan sebagai bencana nasional yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, serta harta benda. Konflik.

Belum lama ini, konflik yang sama juga sempat melanda masyarakat Tolikara, Papua, tepatnya pada 17 Juli 2015 lalu. Konflik ini diduga ada kaitannya dengan agama, karena menyasar kelompok agama tertentu dan juga rumah ibadah. Dalam peristiwa ini bukan hanya gedung bangunan yang menjadi sasaran amuk massa, tapi juga menyebabkan seorang warga meninggal dunia, dan beberapa orang lainnya terluka parah. Belum tuntas persoalan ini, konflik antarwarga berbeda agama meletup di Singkil, Aceh, pada pertengahan Oktober 2015.

Kita belajar dari pristiwa-pristiwa yang tersebut, intolerasi membawa bencana yang luar biasa. Kerugian materi dan kebhinekaan yang sudah dibangun lama menjadi runtuh. Oleh karena, jalan intoleransi kita harus putus dan kita harus membangun sifat tolerasi terus menerus. Memang banyak hambatan ketika kita menjaga dan memperpanjang jalan toleransi, tetapi kita sudah melihat toleransi adalah jalan damai yang harus dirawat setiap waktu dan kapan saja. Jangan pernah berhenti untuk menjaga Indonesia.

This post was last modified on 4 Agustus 2021 3:17 PM

Ngarjito Ardi

Ngarjito Ardi Setyanto adalah Peneliti di LABeL Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Recent Posts

Kesiapsiagaan Merupakan Daya Tangkal dalam Pencegahan Terorisme

Ancaman terorisme yang terus berkembang bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konvensional atau sekadar…

2 hari ago

Zero Attack; Benarkah Terorisme Telah Berakhir?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tampak lebih tenang dari bayang-bayang terorisme yang pernah begitu dominan…

2 hari ago

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

2 hari ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

3 hari ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

3 hari ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

4 hari ago