Sudan menjadi kuburan massal bagi warganegaranya sendiri. Sekitar 2000 warga sipil Sudan terbunuh dalam perang sipil yang terjadi sejak 2023 lalu. Rapid Support Forces alias RSF, kelompok paramiliter Sudan pimpinan Mohamed Hamdan Dagolo konon menjadi dalang dibalik genosida sipil di Sudan.
RSF adalah kelompok paramiliter yang dibentuk oleh Dagolo untuk melawan pasukan militer resmi pemerintahan Sudan. Sejarah ini RSF merupakan kelompok paramiliter paling kuat di Sudan Selatan dan menguasai kota-kota strategis di negara tersebut. Hampir separuh lebih wilayah Sudan kini diskusi oleh RSF.
Jika ditelaah dari teori sosial politik, RSF merupakan kekuatan yang dikategorikan sebagai non-state actor alias aktor non negara. Aktor non negara adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh signifikan dalam isu sosial, politik, keamanan, hukum, dan sebagainya namun tidak memiliki afiliasi langsung dengan negara.
Selama ini kita mengenal aktor non negara itu seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga think-thank, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, dan sejenisnya. Belakangan, muncul aktor non negara dengan corak militer dan memiliki kekuatan layaknya negara. Munculnya kelompok paramiliter, milisi, dan sel jaringan terorisme adalah representasi dari fenomena aktor non negara yang bercorak militeristik.
Dalam konteks ini kita bisa menyebut berbagai kelompok seperti ISIS, Al Qaeda, Hizbullah, Hamas, Boko Haram, dan sebagainya yang merupakan contoh dari aktor non negara bercorak milisi. Mereka memiliki kekuatan dan sumber daya militer yang cukup kuat. Bahkan, kerap kali mampu menyaingi kekuatan militer sebuah negara. Dalam perkembangannya aktor non negara yang militan ini kerap menjadi faktor suburnya kekerasan dan terorisme terutama di dunia Islam.
Dalam banyak hal, kelompok aktor non negara yang militan ini berperan sebagai agan mikroterorisme di banyak negara. Mikroterorisme adalah gejala atau fenomena kekerasan dan teror dalam skala kecil dan terbatas. Istilah ini umumnya merujuk pada fenomena aksi teror tunggal dengan target yang acak. Kelompok seperti ISIS misalnya, tidak hanya terpusat di Suriah dan Irak. ISIS ibaratnya seperti perusahaan waralaba (franchise) yang cabangnya ada dimana-mana.
Sel jaringan ISIS terbesar di seluruh penjuru dunia. Mereka siap dimobilisasi dengan isu-isu konflik global. Seruan jihad ke Sudan oleh ISIS dapat ditafsirkan bermacam oleh para simpatisan yang tersebar di seluruh dunia. Ada yang memahami itu sebagai ajakan untuk hijrah ke Sudan. Namun, ada yang memahami itu sebagai perintah untuk melakukan aksi amaliyah dimana pun dan kapan pun.
Tafsir liar itulah yang patut diwaspadai. Seruan jihad ke Sudan bisa jadi diterjemahkan oleh sel teroris lokal sebagai perintah untuk melakukan serangan teror. Maka, kita tidak boleh lengah. Rekor zero attack terrorism yang sudah dipertahankan sejak dua tahun belakangan jangan sampai pecah telor. Isu Sudan harus dapat dijernihkan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di tengah umat.
Dalam konteks Indonesia, aktor non-negara juga memegang peranan strategis terutama pasca Reformasi 1998. Terbukanya keran demokrasi memungkinan kelompok sipil non negara mendapat panggung. Namun, di saat yang sama kita juga melihat bermunculannya aktor non negara dengan kecenderungan anti-kebinekaan. Kita juga melihat lahirnya sejumlah kelompok paramiliter yang kerap memakai cara kekerasan dan premanisme untuk mewujudkan kepentingannya.
Paramiliterisme seperti mewujud pada keberadaan kelompok militan seperti Jamaah Ansharu Tauhid, Jamaah Ansharu Daulah, Jamaah Ansharu Syariah, dan sejenisnya patut kita waspadai. Kelompok ini awalnya memang kecil, cendrung klandestin alias sembunyi-sembunyi, dan terbatas segata logistik.
Namun, jika dibiarkan, mereka bisa terus mengkonsolidasikan gerakan lalu menjadi besar. Apalagi jika datang momentum sosial politik yang membuat mereka mendapatkan dukungan publik dan spotlight yang terang.
Taliban, kelompok kecil dari pedesaan bisa menguasai pemerintahan Afghanistan. Momentumnya adalah ketika pasukan Amerika Serikat meninggalkan Afghanistan. ISIS mulanya juga kelompok kecil, sempalan dari kelompok milisi yang sudah eksis. Mereka membesar ketika revolusi Suriah meletus. Revolusi itu menjadi momentum naiknya ISIS ke panggung politik Suriah, Timur Tengah, bahkan dunia internasional.
Kelompok milisi di Indonesia selalu menunggu momentum untuk bangkit dan membesar. Mereka selalu menunggangi isu dalam negeri maupun luar negeri dengan harapan isu itu mampu menaikkan popularitas mereka. Jangan sampai, isu Sudan ini menjadi momentum membesarnya gerakan atau kelompok paramiliter di Indonesia. Jangan sampai, Indonesia mandi lahan subur berkembangnya aktor non negara yang pro kekerasan dan anti kebinekaan.
Konflik yang kembali membara adalah salah satu tragedi kemanusiaan paling memilukan di abad ke-21. Negeri…
Dhalang puniku Ingsun Tanpa cempala yaga lan ringgit Tanpa kothak keprak sindhen puniku Tanpa kelir…
Sudah kita sepakati bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi pemersatu bangsa Indonesia. Oleh karenanya kita harus…
Konsep i’dād, atau persiapan kekuatan, dalam diskursus keagamaan sering kali dilepaskan dari konteks historisnya. Gambaran…
Dalam beberapa minggu terakhir, Sudan kembali dilanda perang saudara yang melibatkan militer dan kelompok paramiliter…
Perang fisik yang terjadi di banyak negara saat ini, menginspirasi munculnya kontestasi ideologi di dunia…