Narasi

Ulama, Vaksinasi dan Edukasi Publik

Menyaksikan Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat tinggi negara serta beberapa influencer disuntik vaksin Covid-19 untuk pertama kalinya adalah momen yang menerbitkan harapan. Akhirnya, setelah bergelut dengan pandemi selama kurang lebih 10 bulan, kita memulai tahapan baru yang diharapkan bisa mengendalikan penyebaran virus dan membuat kehidupan kembali normal. Suntikan vaksin Sinovac ke lengan Pak Jokowi itu bagi sebagian besar masyarakat bukanlah sekedar suntikan vaksinasi belaka. Namun, itu ialah suntikan harapan dan optimisme bahwa ke depan kita akan membangun sistem kekebalan komunitas (herd immunity) yang menjadi senjata ampuh mengendalikan pandemi.

Sayangnya, di tengah euforia publik itu, masih saja ada segelintir orang yang meragukan bahkan menolak vaksinasi dengan berbagai argumen. Penolakan vaksinasi itu jika dilihat lebih seksama umumnya dilatari oleh tiga hal. Pertama, adanya anggapan bahwa vaksin yang berasal dari China tersebut berbahaya bagi tubuh manusia lantaran belum memenuhi syarat kesehatan. Anggapan ini sebenarnya tidak beralasan lantaran vaksin Sinovac telah melalui tahapan uji klinis dan dinyatakan aman untuk dipakai. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya surat ijin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), yang notabene merupakan lembaga yang berwenang menilai kelayakan vaksin Covid-19.

Kedua, adanya anggapan bahwa vaksinasi ialah upaya kelompok tertentu untuk mengendalikan populasi manusia dengan tujuan tertentu. Anggapan ini muncul dari teori konspirasi yang secara ngawur menyebut bahwa di dalam vaksin terdapat zat tertentu yang dapat menyebabkan manusia mengalami sejumlah kelainan, seperti kemandulan dan sebagainya. Teori-teori konspirasi yang demikian ini santer berkembang di kalangan anti-vaksi sejak beberapa tahun belakangan. Kalangan anti-vaksin ini gencar mengampanyekan agar masyarakat menolak jenis vaksin apa pun lantaran berbahaya bagi eksistensi manusia. Terakhir, adanya anggapan bahwa vaksin Covid-19 tidak halal karena mengandung senyawa yang tidak suci dan dilarang dalam ajaran Islam. Serupa dengan anggapan-anggapan sebelumnya, pola pikir yang demikian ini juga irasional. Bagaimana tidak? Kehalalan vaksin Sinovac sudah teruji dan tervalidasi dengan keluarnya keputusan MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menyatakan bahwa vaksin Sinovac halal dan suci.

Pentingnya Mengedukasi Kelompok Anti-Vaksin

Meski demikian, kita tidak patut bersikap reaktif terhadap kelompok penolak vaksinsasi. Bagaimana pun juga, mereka adalah masyarakat yang belum memahami betul apa pentingnya vaksinasi Covid-19 di masa pandemi ini. Maka sudah selayaknya, pemerintah, masyarakat dan para tokoh agama termasuk ulama untuk bersinergi membangun kesadaran publik agar bersedia divaksin. Kekebalan komunitas akan tercapai jika minimal 75 persen populasi kita mendapatkan vaksin. Tentu hal itu akan sulit tercapai jika di kalangan masyarakat masih ada suara-suara yang menolak vaksinasi, apalagi dengan alasan tidak halal dan tidak suci. Disinilah sekali lagi kita membutuhkan peran ulama untuk mengedukasi publik ihwal vaksin Covid-19 agar publik tidak salah persepsi.

Ulama menjadi entitas penting untuk mengedukasi masyarakat terutama di level bawah karena merekalah yang selama ini menjadi panutan dan teladan. Bagi kalangan muslim kelas akar rumput, ulama acapkali memiliki otoritas yang lebih tinggi dan kuat dalam membentuk opini publik ketimbang pemerintah. Bisa kita lihat bagaimana di desa-desa, para kiai kampung atau tokoh agama setempat kadangkala lebih didengar nasehat atau perintahnya ketimbang camat, kepala desa atau birokrat pemerintah lainnya. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat selama ini, ulama, kiai dan para tokoh agama telah menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri.

Dalam bahasa antropolog Clifford Geertz, ulama telah menjadi cultural broker yang menjembatani masyarakat dengan dunia luar. Meski sekarang sudah ada media informasi yang lebih canggih seperti televisi dan internet, namun fatwa ulama masih memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi publik. Status ulama sebagai cultural broker inilah yang kiranya bisa dimanfaatkan dalam konteks menyadarkan umat akan pentingnya vaksinasi Covid-19. Pemerintah dalam hal ini wajib menggandeng ulama dan para tokoh agama untuk berpartisipasi aktif menyukseskan program vaksinasi Covid-19 terutama untuk menjangkau kelompok yang selama ini enggan divaksin karena alasan agama.

Mengutamakan Pendekatan Edukatif-Keagamaan

Pendekatan yang harus dipakai ulama dalam hal ini ialah pendekatan edukatif. Yakni menjelaskan pada masyarakat bahwa vaksin Sinovac sama sekali tidak melanggar aturan Islam, baik dalam hal proses pembuatan, penyimpanan maupun pemakaiannya. Selain itu, para ulama harus menjelaskan bahwa dari sisi fiqih, menerima vaksinasi Covid-19 di tengah pandemi yang kian memuncak merupakan bagian dari menerapkan prinsip maqasyid al syariah, terutama klausul hifdzun nafs alias menjaga nyawa. Dalam konsep maqasyid al syariah (tujuan pokok hukum Islam) yang terdiri atas lima klausul menjaga nyawa menempati kedudukan paling tinggi di antara empat klausul lainnya. Bagi seorang muslim, menjaga nyawa ialah kepentingan utama yang wajib didahulukan, apalagi dalam keadaan darurat seperti dalam suasana wabah seperti saat ini.

Mengedukasi publik mengenai vaksinasi Covid-19 melalui pendekatan keagamaan kiranya merupakan langkah yang tepat agar gaung gerakan anti-vaksin yang bergema keras belakangan ini bisa diredam. Ulama sebagai sosok otoritatif di kalangan masyarakat harus tampil ke muka memberikan pencerahan dan teladan. Sebagai teladan umat, ulama tentunya harus menunjukkan kesediannya untuk disuntik vaksin. Jika influencer seperti Raffi Ahmad bisa menggerakkan kesadaran masyarakat bawah yang dikenal sebagai basis penggemarnya selama ini untuk menerima vaksin Covid-19, maka ulama bisa menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok relijius yang selama ini masih ragu bahkan anti terhadap vaksin. Pendekatan edukatif melalui ulama ini kiranya akan lebih efektif membangun kesadaran masyarakat ketimbang penerapan sanksi denda dan semacamnya.

Arkian, kita berharap para ulama untuk bersedia turun gunung dan berpartisipasi aktif dalam program vaksinasi Covid-19 yang dilaksanakan pemerintah. Pandemi sudah berlangsung terlalu lama. Sudah terlalu banyak korban berjatuhan. Ekonomi yang terseok-seok terlalu lama tentu tidak bagus untuk stabilitas sebuah negara. Pendidikan anak yang terbengkalai akan memangkas satu generasi yang berkualitas. Maka, adanya vaksin Covid-19 hendaknya disambut dengan harapan dan optimisme. Namun, harapan dan optimisme itu tidak akan bermakna jika masih ada kelompok anti-vaksin yang mempertahankan arogansinya. Disinilah peran kelompok sipil, termasuk ulama untuk mengurai simpul-simpul persoalan itu agar program vaksinasi bisa berjalan lancar. Semoga.

This post was last modified on 14 Januari 2021 12:14 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

2 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

2 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

2 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

2 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

3 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

3 hari ago