Narasi

Zero Attack; Benarkah Terorisme Telah Berakhir?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tampak lebih tenang dari bayang-bayang terorisme yang pernah begitu dominan di pemberitaan. Jika kita menengok ke awal abad ke-21, terutama pasca-serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, terorisme menjadi momok yang mengglobal. Hampir setiap sudut dunia mengalami dampaknya, baik secara langsung melalui aksi kekerasan, maupun secara tidak langsung lewat ketakutan, Namun, kini kita jarang mendengar serangan besar. Beberapa bahkan menyebut era ini sebagai masa “Zero Attack”.

Istilah “Zero Attack” mengacu pada situasi di mana tidak ada serangan teror besar yang terjadi dalam rentang waktu tertentu. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan bahkan Indonesia yang pernah menjadi sasaran empuk terorisme, kini relatif aman dari ledakan bom atau aksi penembakan yang diklaim oleh kelompok ekstrem. Namun, kesimpulan bahwa terorisme telah berakhir adalah penilaian yang terlalu dini dan mungkin menyesatkan.

Pertama, kita harus menyadari bahwa terorisme bukan hanya tentang bom yang meledak atau korban jiwa yang berjatuhan di mana-mana. Terorisme adalah strategi kekerasan yang bertujuan menciptakan ketakutan dan memaksakan agenda ideologis tertentu.

Dengan definisi itu, terorisme bisa hadir dalam bentuk-bentuk yang lebih halus dan tak terdeteksi. Serangan siber terhadap infrastruktur negara, penyebaran propaganda ekstremis di media sosial, hingga radikalisasi yang terjadi di ruang-ruang privat seperti keluarga dan sekolah, semuanya bisa menjadi benih dari aksi teror yang lebih besar dan menakutkan.

Kedua, keberhasilan penanggulangan terorisme dalam bentuk fisik tidak serta merta menandai berakhirnya ancaman tersebut. Banyak negara kini memiliki sistem keamanan dan intelijen yang lebih canggih. Pengawasan digital, kerjasama internasional, serta pemetaan jaringan teroris dilakukan secara intensif. Akibatnya, banyak rencana serangan dapat digagalkan sebelum terjadi. Ini memang pencapaian besar, tapi hal ini justru menunjukkan bahwa ancaman itu masih ada. Seperti api dalam sekam, kelompok-kelompok ekstrem masih bergerak dalam senyap, menunggu momen yang tepat untuk muncul kembali.

Ketiga, transformasi taktik terorisme juga menjadi faktor penting. Para pelaku tidak lagi bergantung pada jaringan besar yang membutuhkan logistik dan koordinasi tinggi. Fenomena “lone wolf” atau pelaku tunggal menjadi tren baru. Seorang individu yang terpapar ideologi radikal secara daring bisa melakukan serangan dengan cara sederhana, seperti menikam orang di jalan atau menabrakkan kendaraan ke kerumunan. Aksi seperti ini sulit diprediksi, sebab pelakunya seringkali tidak terdeteksi sebagai bagian dari jaringan teroris.

Indonesia sendiri memiliki catatan panjang terkait terorisme. Dari Bom Bali 2002, bom di hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, hingga rentetan aksi dari kelompok-kelompok seperti Jemaah Islamiyah dan Mujahidin Indonesia Timur. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, serangan fisik oleh kelompok teroris tampak menurun drastis. Apakah ini berarti Indonesia bebas dari terorisme? Tidak juga. Densus 88 secara rutin mengungkap dan menangkap tersangka teroris. Artinya, akar ideologi radikal masih ada, hanya tak lagi sefrontal dulu.

Salah satu penyebab mengapa publik merasa ancaman terorisme telah hilang adalah karena banyak kelompok ekstrem yang kini beralih ke medan perjuangan non-konvensional. Mereka tidak lagi berupaya merebut kekuasaan melalui senjata, tetapi melalui infiltrasi ke dalam sistem sosial dan politik. Mereka menyasar anak-anak muda dan kaum marginal. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan generasi baru yang lebih militan dan sulit dikendalikan.

Di dunia maya, propaganda ekstremis terus berlangsung. Meskipun banyak platform telah meningkatkan moderasi konten, kenyataannya banyak grup masih dapat beroperasi dengan menyamarkan pesan mereka. Sehingga sulit untuk dideteksi dan diatasi.

Pertanyaannya kemudian, apa yang harus kita lakukan? Menyangkal keberadaan terorisme karena tidak ada serangan fisik adalah kesalahan besar. Kita juga harus belajar dari sejarah. Banyak negara yang pernah mengklaim kemenangan atas terorisme, hanya untuk kemudian diguncang oleh serangan besar yang tidak terduga. Ketika kita merasa terlalu aman, justru saat itulah kita paling rentan. Karena itu, kewaspadaan harus tetap dijaga.

Menyatakan bahwa terorisme telah berakhir hanyalah ilusi yang berbahaya. Zero Attack bukan berarti Zero Threat. Terorisme adalah fenomena yang terus beradaptasi, menyelinap ke celah-celah yang tidak kita duga. Justru di tengah ketenangan inilah kita harus memperkuat fondasi sosial dan kebijakan yang berorientasi pada pencegahan.

susi rukmini

Recent Posts

DNA Aktivisme Gen Z: Mengelola Genetik Perubahan Anak Muda

Gelombang aktivisme anak muda, khususnya Generasi Z, semakin menjadi sorotan global. Dari Nepal, Bangladesh, Sri…

17 jam ago

Membaca Ulang Jihad ala Gen Z

Ketika berbicara tentang jihad, kerap kali kita terjebak dalam narasi yang sempit dan reduktif, seolah…

17 jam ago

Dakwah Hibrid ala HTI; Dari Menggaet Influencer ke Adaptasi Budaya Populer

Jika ada pentolan HTI yang patut diacungi jempol lantaran lihai bermanuver, maka nama Felix Shiaw…

17 jam ago

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

2 hari ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

2 hari ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

2 hari ago