Narasi

Urgensi Lima Vaksinasi Ideologi BNPT untuk Mereduksi Kultur Kekerasan

Beberapa hari ini, ruang publik digital kita heboh oleh sederet peristiwa memilukan. Mulai dari kasus pembubaran ibadah umat Kristen di Gereja Kemah Daud, di Lampung, peristiwa penganiayaan remaja, sampai kerusuhan di Wamena, Papua.

Sederet peristiwa itu menandai masih langgengnya kultur kekerasan di tengah masyarakat. Pembubaran ibadah merupakan kekerasan struktural yang terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang antara mayoritas dengan minoritas.

Peristiwa penganiayaan remaja merupakan kekerasan individual yang berhubungan dengan penyimpangan karakter. Sedangkan, kerusuhan Wamena yang menewaskan 8 orang merupakan kekerasan komunal. Kekerasan komunal umumnya dilatari oleh kecurigaan, ketakutan, atau kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu.

Setiap peristiwa kekerasan tentu punya sebab sendiri. Namun, selalu ada benang merah mengapa kultur kekerasan cenderung langgeng di tengah masyarakat kita. Dari sisi psikologis, kultur kekerasan berakar dari pelaku yang umumnya mengalami trauma dan gangguan mental akibat masa lalunya.

Mengapa Kultur Kekerasan Langgeng?

Dalam ilmu psikologi, pelaku kekerasan umumnya merupakan korban kekerasan di masa lalu. Sejumlah riset mengungkap bahwa anak-anak yang dididik di lingkungan yang permisif pada kekerasan akan kesulitan dalam hal anger management (manajemen kemarahan) ketika dewasa.

Dari sisi sosiologis, kultur kekerasan langgeng karena sebagian masyarakat masih meyakini kekerasan sebagai cara efektif menyelesaikan persoalan. Matinya tradisi dialog, negosiasi, dan kompromi dengan demikian akan menyuburkan kultur kekerasan.

Kultur kekerasan merupakan bahaya laten bagi bangsa. Kekerasan kultural berbahaya bagi kemajemukan. Kekerasan fisik-individu akan mengancam keamanan masyarakat. Sementara kekerasan komunal rawan menimbulkan konflik horisontal. Maka, perlu upaya serius dalam mereduksi kultur kekerasan.

Lima vaksinasi ideologi yang ditawarkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kiranya menjadi tawaran yang relevan. Lima vaksinasi ideologi ala BNPT ini mencakup antara lain.

Vaksin Ideologi Mencegah Intoleransi dan Provokasi

Pertama, transformasi wawasan kebangsaan yakni perubahan cara pandang terkait nasionalisme dan patriotisme. Nasionalisme bermakna setiap individu dan kelompok harus menempatkan urusan bangsa di atas kepentingan golongan apalagi pribadi. Sedangkan patriotisme ialah sikap altruis alias rela berkorban tanpa pamrih bagi bangsa. Nasionalisme dan patriotisme mustahil hidup di tengah budaya egosentrisme dan pragmatisme yang kuat.

Kedua, revitalisasi Pancasila dalam artian menghadirkan kembali spirit Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Dua dekade sejak era Reformasi, spirit Pancasila kian luntur. Kita mengalami krisis ideologi di semua ranah. Politik kita mengarah pada demokrasi liberal yang menghalalkan segala cara. Kehidupan beragama kita juga dicemari oleh radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Revitalisasi Pancasila berarti menghidupkan kembali fungsi Pancasila sebagai falsafah bangsa. Ini artinya Pancasila harus menjadi landasan masyarakat dalam berpikir dan bersikap.  Dengan begitu, setiap perilaku bangsa ini idealnya akan mencerminkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.

Ketiga, transformasi moderasi beragama, yakni mengubah cara pandang dan praktik keberagamaan dari nalar konservatif-radikal menuju nalar toleran-moderat. Diakui atau tidak, kian ke sini corak keberagamaan di Indonesia semakin mengarah pada titik ekstrem. Klaim kebenaran agama kerap mendorong oknum umat beragama untuk bersikap intoleran dan arogan pada kelompok liyan. Inilah yang menjadi akar fenomena kekerasan atas nama agama di Indonesia.

Moderasi beragama tidak mendorong individu menjadi sekuler apalagi atheis. Moderasi beragama lebih berorientasi untuk menciptakan tata kehidupan beragama yang adaptif pada pluralitas agama, mazhab, dan aliran, setia pada ideologi bangsa, dan ramah pada kearifan lokal Nusantara. Umat beragama yang moderat niscaya terhindar dari kultur kekerasan.

Keempat, transformasi akar kebudayaan bangsa yang diejawantahkan dalam upaya mengembalikan karakter luhur masyarakat Indonesia. Sudah terlalu lama bangsa ini tercerabut dari akar budayanya sendiri. Kolonialisme abad ke-19, globalisasi di abad ke-20 dan infiltrasi ideologi transnasional di abad ke-21 ini telah menggerus karakter asli masyarakat Indonesia.

Kolonialisme mencerabut bangsa dari kedaulatan dan kemerdekaannya. Globalisasi mengaburkan jati-diri bangsa dan membuat masyarakat lebih akrab dengan budaya luar. Sedangkan transnasionalisasi ideologi membuat masyarakat tidak lagi percaya pada Pancasila dan lebih percaya pada ideologi asing. Di tengah kondisi itulah, kita membutuhkan upaya transformatif untuk mengembalika budaya bangsa sesuai identitas nasional yang berakar pada peradaban Nusantara.

Kelima, transformasi pembangunan kesejahteraan yang mewujud pada pemerataan distribusi ekonomi dan keterbukaan akses pada pendidikan dan kesehatan. Harus diakui salah satu akar kekerasan ialah kecemburuan sosial. Konflik horisontal lebih sering dilatari oleh perebutan kekuasaan politik dan kontestasi ekonomi. Isu agama dan identitas sektarian kerapkali hanya dijadikan sebagai pembungkus atau kemasan luar saja. Maka, pemerataan kesejahteraan ialah langkah preventif yang penting untuk meredam kultur kekerasan.

This post was last modified on 27 Februari 2023 4:53 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

9 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

9 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

9 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago