Narasi

Urgensi Membangun Budaya Kesalingpercayaan dalam Demokrasi Pancasila

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dengan hadirnya revolusi digital telah mengubah lanskap sosial-politik global. Peta kontestasi antarnegara di kancah geopolitik pun berubah seluruhnya. Jessica Sirvington dalam bukunya Disruption menyebutnya sebagai fenomena disrupsi, yakni fase terjadinya perubahan dari era teknologi analog ke digital yang mengubah seluruh dimensi kehidupan manusia di seluruh dunia, baik dari sisi ekonomi, sosial, hukum, politik, maupun kebudayaan. Era disrupsi yang mengubah peta persaingan geopolitik global ini pun lantas mengubah prasyarat negara atau bangsa dalam meraih kemajuan peradaban.

Di era pra-disrupsi, kemajuan bangsa ditentukan oleh setidaknya dua hal. Pertama, kekayaan sumber daya alam, terutama yang menjadi komoditas unggulan di pasar internasional seperti minyak bumi, gas, emas, tembaga dan kekayaan alam yang menjadi penopang dunia industri.. Kedua, kualitas sumber daya manusia yang ditentukan oleh faktor pendidikan-keterampilan (education-skill), kesehatan dan karakter (attitude). Hadirnya era disrupsi membawa tantangan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh manusia. Negara pun menghadapi tantangan yang kompleks.

Kekayaan alam dan kualitas manusia pun tidak lagi menjadi variabel pokok meraih kemajuan. Seperti disebut sosiolog Amerika Serikat, Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Phrosperity bahwa modal sosial yang menjadi elemen dasar kemajuan bangsa selain kekayaan alam, kualitas manusia dan pelembagaan ekonomi, politik dan hukum ialah tumbuhnya “trust culture”.

Fukuyama meyakini bahwa eksistensi negara ditopang oleh gerak dinamis dalam bidang ekonomi, politik, hukum termasuk sosial dan budaya. Namun, di balik itu semua harus ada jejaring antarentitas yang tidak hanya berinteraksi, namun juga bersinergi sekaligus bekerjasama dengan mengedepankan sikap kesaling percayaan (mutual trust) dan kesalingpahaman (mutual understanding).

Fukuyama mengklasifikasikan trust culture ke dalam dua corak. Pertama, high trust society dimana masyarakat telah memiliki rasa kesalingpercayaan dan kesalingpahaman yang tinggi. High trust society ini dicirikan dengan karakter masyarakat dan pemerintahannya yang solid dan disatukan oleh relasi horisontal dan vertikal yang berlandaskan kesalingpercayaan. Di negara-negara yang memiliki high trus society ini, kondisi ekonomi, politik, hukum dan sosial-budaya nisbi bisa berjalan seiring sejalan menuju kemajuan.

Kedua, low trust society yakni situasi negara dimana warganegaranya memiliki rasa kesalingpercayaan yang rendah, baik terhadap sesamanya maupun terhadap pemerintah. rRendahnya kesalingpercayaan horisontal dan vertikal ini mewujud pada maraknya korupsi di ranah swasta maupun pemerintahan, langgengnya budaya feodalisme dan menurunnya kualitas demokrasi seiring dengan menigkatnya sikap tidak percaya dan curiga di tengah masyarakat.

Dibaca dari perspektif Fukuyama tersebut, harus diakui bahwa Indonesia saat ini masih ada dalam kategori low trust society. Meski sudah 75 tahun bangsa ini merdeka dan 20 tahun lebih berada di era Reformasi, namun budaya kesalingpercayaan antarmasyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah itu belum sepenuhnya terbangun secara solid. Tidak mudah mengelola negara sebesar, seluas dan semajemuk Indonesia. Kita memiliki tidak kurang dari 17 ribu pulau, 35 suku, 718 bahasa, 6 agama resmi dan ratusan agama lokal. Belum lagi kita menyebut pluralitas dalam internal suku, bahasa, dan agama yang ada di Indonesia. Di satu sisi, kemajemukan itu potensial menjadi modal sosial membangun bangsa jika dikelola secara baik. Namun, kemajemukan itu juga berpotensi menimbulkan perpecahan bahkan friksi yang berujung konflik di tengah masyarakat.

Kesalingpahaman dan Kesalingpahaman dalam Sistem Demokrasi Pancasila

Di titik inilah, gagasan Fukuyama mengenai “trust culture” urgen dan relevan untuk diaplikasikan dan dikembangkan dalam konteks Indonesia. Di level horisontal (antar-masyarakat) relasi sosial kita masih kerap diwarnai sikap saling curiga yang tidak jarang berujung pada munculnya benih-benih kebencian. Sedangkan di level vertikal (masyarakat dan negara) pun demikian. Di sebagian kelompok masyarakat, masih berkembang asumsi negatif terhadap pemerintah dimana setiap kebijakan selalu direspons dengan narasi negatif. Hal inilah yang menyebabkan roda pembangunan kerap berjalan tidak optimal.

Rendahnya budaya kesalingpercayaan baik horisontal maupun vertikal di tengah masyarakat ini sebenarnya merupakan anomali dari demokrasi Pancasila yang menjadi falsafah bangsa. Denny JA dalam bukunya Mewacakan Kembali Demokrasi Pancasila yang Diperbaharui menjelaskan bahwa sistem demokrasi Pancasila bertumpu pada dua kata kunci (keyword) yakni kerakyatan dan permusyawaratan. Istilah kerakyatan merujuk pada filosofi bahwa kebijakan pemerintah idealnya mengedepankan dimensi pemenuhan terhadap kebutuhan rakyat, baik kebutuhan material maupun spiritual. Sedangkan istilah permusyawaratan menegaskan bahwa demokrasi yang kita anut bukan model demokrasi tirani mayoritanisme, melainkan demokrasi yang mengedepankan konsensus bersama untuk mengambil sebuah keputusan atau kebijakan.

Keberhasilan demokrasi Pancasila dengan demikian hanya bisa terwujud manakala masyarakat berusaha sekuat tenaga untuk membangun budaya kesalingpercayaan baik secara horisontal maupun vertikal. Di level antarmasyarakat, setiap individu maupun kelompok harus menghapus fenomena mutual distrust alias ketidaksalingpercayaan yang selama ini menjadi penghalang terciptanya struktur sosial yang solid. Masyarakat yang berbeda latar belakang agama, suku dan budaya lantas hidup dalam cangkangnya masing-masing.

Situasi kian runyam ketika belakangan ini kita dibanjiri oleh narasi-narasi negatif seperti provokasi, hoaks, fitnah dan ujaran kebencian terutama melalui sejumlah kanal media sosial. Membangun budaya kesalingpercayaan antarmasyarakat ialah hal mutlak yang tidak dapat ditawar. Masyarakat harus menghapus kecurigaan apalagi kebencian terhadap kelompok lain (the others). Sebaliknya, masyarakat perlu mengembangkan budaya kesalingpercayaan dan kesalingpemahaman demi terwujudnya cita-cita kolektif.

Di saat yang sama, kita juga perlu membangun trust culture secara vertikal, yakni sikap percaya pada negara, mulai dari institusi pemerintah, penegakan hukum hingga keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Relasi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam bingkai demokrasi Pancasila merupakan hubungan antara penyelenggara negara dan warganegara yang bersigat egaliter alias setara.

Egalitarianisme dalam bingkai demokrasi Pancasila memungkinkan masyarakat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, kritisisme itu tidak bisa dimaknai sebagai upaya mendelegitimasi apalagi menumbuhkan sikap tidak percaya pada negara dan institusinya. Demokrasi Pancasila membuka ruang publik yang bebas dan produktif, yakni ruang dimana gagasan dan wacana dikontestasikan tanpa menyisakan ruang kecurigaan, ketidakpercayaan apalagi kebencian.

This post was last modified on 20 Oktober 2020 2:36 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

7 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

7 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago