Kebangsaan

Urgensi Pendidikan Multikultural

“Islam, Islam, Islam Yes…Kafir, kafir, Kafir No…!” Yel-yel ini begitu lantang menembus dinding bangunan yang disesaki oleh anak-anak yang antusias dan penuh semangat belajar. Anda yang pernah sesekali mengantar sang buah hati ke sekolah sudah tidak asing mendengar yel-yel ini. Barangkali pertanyaannya bukan terletak pada apakah yel-yel tersebut secara subtansial salah atau tidak, tetapi sudah pantaskah anak sejak dini ditanamkan dengan subtansi yel-yel seperti itu.

Rasanya kok menjadi mengerikan melihat anak sejak dini dikotakkan secara pikiran dengan pelajaran yang cenderung menghakimi. Tujuannya tentu saja sangat baik untuk menghindari anak dari sifat kekafiran. Namun, ketika seorang anak yang ingin tahu segala hal menanyakan “siapa yang kafir bu..?” Kemampuan guru tentu saja tidak sama. Parahnya jika anak tersebut mendapati jawaban yang sangat sederhana dan salah :”.. ya..selain Islam, kafir”.

Saya teringat cerita seorang teman. Pada suatu hari ada seorang anak yang tiba-tiba menangis selepas pulang sekolah. Sang ibu penuh tanda tanya menanyakan dengan lembut. “Ada apa kok tiba-tiba menangis nak?” Dengan lugu tetapi bermakna tegas anak tersebut menjawab ”Saya merasa kasian bu dengan teman-teman bermain saya, karena selain Islam semua akan masuk neraka, padahal mereka juga teman yang baik”.

Patut menjadi renungan kita bersama bahwa pendidikan agama sejak dini yang sejatinya kita harapkan menjadi garda depan dalam penanaman karakter mulia bagi anak justru jatuh pada penanaman doktrin yang sering menyalahkan. Menjadi dilematis ketika ingin menanamkan keyakinan kuat dan kokoh terhadap anak, tetapi harus dengan cara menanamkan kesalahan kepada kelompok di luar keyakinannya.

Pola pengajaran seperti ini akan membekas bahkan menyerap ke alam bawah sadar anak dan kelak akan menjadi karakter dan sikap bagaimana mereka memandang dan memperlakukan orang di luar kelompok yang berbeda agama. Pendidikan agama sejak dini masih mengandalkan pada indoktrinasi yang mengkotakkan pikiran anak, mengerdilkan wawasan anak dan menutup potensi anak untuk bergaul dengan keragaman dan perbedaan.

Barangkali sangat mendesak bagi kita untuk segera membedah kurikulum pengajaran agama bagi anak usia dini. Apakah pendidikan agama selama ini salah? Tentu saja tidak. Membedah kurikulum dimaksudkan bukan merubah ajaran agama, tetapi merubah orientasi pengajaran agama yang selama ini dijalankan. Ada pendekatan dan aplikasi pengajaran yang salah yang selama ini kita terapkan dalam mendidik anak kita.

Pendidikan multikultural menjadi salah satu tawaran menarik dalam membentuk karakter anak yang mampu menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural tidak ingin menghilangkan perbedaan, tetapi menghilangkan pra sangka dan mendorong lahirnya sikap mengenal dan menghargai perbedaan. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Pertama, anak harus diperkenalkan dengan realitas yang sesungguhnya. Realitas tersebut bernama keragaman yang tidak bisa ditolak. Keragaman adalah sunnatullah dan setiap anak tidak bisa dilarikan dengan kenyataan ini. Anak sejak dini harus digambarkan dengan realitas keragaman ini. Ketika dewasa ia tidak mengalami keterkejutan realitas yang beragam, tetapi terbiasa dalam menyikapi keragaman.

Kedua, pendidikan agama harus dimaknai sebagai pendidikan yang mampu membentuk sikap beragama bukan sikap memiliki agama. Tujuan pokok pendidikan agama adalah berorientasi pembentukan karakter sebagai umat beragama, bukan pembentukan sikap memiliki agama, apalagi secara fanatik. Ketika dewasa anak akan tumbuh sebagai pribadi yang bersikap relijius, bukan pribadi yang selalu merasa menjadi pemilik agama.

Ketiga, pendidikan tanpa doktrin kebencian dan permusuhan. Doktrin setiap agama adalah membangun perdamaian dan peradaban manusia yang unggul. Setiap agama adalah jalan kebenaran. Dan semua kebenaran tidak mungkin diraih dengan merusak, membunuh, memusuhi dan merendahkan yang lain.

Pendidikan multikultural pada akhirnya adalah pendidikan yang bertujuan mengajarkan akhlak dalam menyikapi perbedaan dan mengelola kemajemukan bangsa. Hal itu mendesak dilakukan karena satu sisi realitas keragaman bangsa Indonesia akan menjadi realitas yang dialami oleh anak saat mereka tumbuh mengenal lingkungannya. Sisi lain, saat ini mulai tumbuh secara samar kelompok yang mengajarkan intoleransi dan membenci keragaman. Sangat dikhawatirkan anak akan mudah tergiring dalam ajakan kelompok seperti ini.

Kita tertantang untuk selalu kreatif dalam menanamkan keyakinan yang kuat tanpa harus menanamkan doktrin kebencian terhadap yang lain. Barangkali kita harus sedini mungkin menanamkan bahwa “anak muslim cinta damai, anak sholeh, banyak teman”.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

11 jam ago

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya…

14 jam ago

Belajar dari Tradisi Islam dalam Merawat Nalar Kritis terhadap AI

Tak ada yang dapat menyangkal bahwa kecerdasan buatan, atau AI, telah menjadi salah satu anugerah…

14 jam ago

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

2 hari ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

2 hari ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

2 hari ago