Narasi

Urgensi Pendidikan Perdamaian di Era Millenial

“Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya”

Demikianlah, petuah Abdurrahman Wahid—atau akrab disebut dengan Gus Dur—kepada masyarakat Indonesia, tentang urgensi sebuah toleransi pada ujung setiap pendidikan. Toleransi harus dimiliki setiap warga Indonesia, karena dengan toleransi yang dimiliki setiap individu akan membantu dalam menjaga perdamaian dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang notabene terdiri dari beragam suku, ras, dan budaya. Maka tak ayal, jika Denny JA. dalam bukunya “Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi” mengatakan  bahwa, pendidikan tinggi memberi kesempatan seseorang untuk berinteraksi dengan orang dari latar belakang yang beragam yang membuat seseorang semakin toleran dengan orang lain.

Pendidikan secara formal dapat kita dapatkan di sekolah. Sekolah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai lembaga atau bangunan untuk belajar, mengajar, menerima dan memberi pelajaran. Sekolah atau sejenis pendidkan lainya, yang memiliki kegiatan belajar mengajar secara terarah, berencana, sistematis dan sengaja, yang dikelola oleh penddik professional dengan berbagai progam yang dituangkan ke dalam kurikulum dari mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Sekolah dalam hal ini memilik peran sebagai transfer of value, transfer of skills, transfer of knowledge. Dalam perannya tersebut, sekolah sebagai lemaga formal penyelenggara pendidikan seharusnya menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan pemahaman kepada siswa. Di samping itu, sekolah juga harus menanamkan karakter yang luhur kepada peserta didik, di antaranya adalah nilai cintai damai atau perdamaian.

Pentingnya penanaman nilai-nilai perdamaian kepada murid menjadi hal yang sanagat penting. Sebab, penanaman nilai perdamaian akan menjadkan kehidupan damai dan sejahtera. Tidak ada ketakutan menjadi korban kekerasan dan kekejian oleh kolompok lain yang biadab. Dengan perdamaian pula, manusia hidup dalm cinta kasih dan harmoni.  Akan tetapi, perdamian tersebut nampaknya sult digapai. Besarnya nafsu manusia untuk menguasai dibanding dengan hati nurani menjadi pemicu adanya konflik, intimidas, dan penindasan lainya.

Di era milenal sekarang, pendidikan perdamian juga harus diajarkan di dunia maya. Sebab,  bedasarkan laporan dari “State of Connectivity 2015: A report on Global Internet Acces” di dunia ada sekitar 3,2 miliar orang  yang menggunakan internet. Sungguh jumlah yang fantastis. Dalam penggunaan internet tersebut, tentu user tidak hanya sebaga penikmat saja, melainkan sebagai produsen. Maka, perlu dikelola oleh orang-orang terdidik dan memiliki karakter yang apik, agar menyebar berita-berita yang bersifat hoax, fitna, adu domba, kebencian, dll.

Menjadi Pelopor Perdamiaan

Orang tua memiliki peran yang sangat urgen dalam memberi perhatian dan pengembangan pendidikan perdamaian anak. Maraknya tawuran antarpelajar dan beberapa sfat-sifat buruk lainya disinyalir bahwa orang tua juga ikut andil dalam pembentukan karakter tersebut. Maka pendidikan perdamaian dan cinta kasih antar sesama harus ditanamkan sejak dini, agar saat tumbuh dewasa memilki modal mengarungi dunia luar dan dunia maya. Sedangkan salah satu penekanan pendidikanya adalah tidak boleh mebeda-bedakan orang lain, karena hakikatnya perbedaan sesuatu keniscahyaan.

Sekolah dalam penanaman nilai-nila perdamaian dan cinta kasih juga memiliki peran yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Pendidikan perdamaian di dunia maya dapat dilakukan dengan berbagai macam, salah satunya adalah melalui pelajaran Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Kewarganegaraan. Dan yang terpentng lagi dalam sisitem pendidikan tersebut tidak hanya dalam ranah teori saja, melainkan juga dalam hal kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali bermedia sosial.

Tidak berhenti sampai di situ, pendidikan literasi dengan penanaman karakter perdamaian dan kebangsaan juga harus dilakukan oleh masyarakat sekitar. Lemahnya pendidikan masyarakat juga menjadi faktor urgen dalam mempengaruhi kualitas generasi bangsa. Maka, perlu adanya upaya konkrit untuk mengatasi hal tersebut. Di antara upayanya adalah dengan menghadirkan konten-konten perdamiaan di dunia maya, memasang poster-poster perdamaian di lingkungan sekitar, dan ataupun mendirikan kampng Pancasila.

Dengan demikian, perlu adanya sinergitas dari berbagai elemen masyarakat dalam mendidik generasi pemimpin bangsa agar memilik kualitas yang mampu menjaga kesatuan dan persatuan Negara Kesatuan Repubik Indonesia, khususnya di dunia maya. Sudah saatnya kita berbondong-bondong untuk menjadi pelopor perdamain di dunia maya dan dunia nyata, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, agar perdamian dan kesejahteraan Negara Indonesia dapat terjaga dengan baik. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Ahmad Asrori

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

3 hari ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

3 hari ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

3 hari ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

3 hari ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

4 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

4 hari ago