Narasi

UU ITE dan Framing “Digital Crime” di Dunia Maya

Di dalam tubuh demokrasi, media digital akan selalu tegak menawarkan ruang kebebasan dan ketidakterbatasan sosial-kultural. Frekuensi yang semacam ini, saya kira menjadi satu alasan penting bagaimana kejahatan-kejahatan berbasis digital juga akan selalu mengakar dan melebar.

Karena orang yang sering-kali doyan menghujat, mencaci, penebar kebohongan dan provokasi konflik di dunia maya. Mereka akan selalu menempatkan dirinya dalam ruang kebebasan ber-demokrasi “democratic freedom”. Walau-pun senyatanya, mereka sebetulnya hanya membangun semacam “framing” agar tindakan kriminal berbasis digital “digital crime” terlihat transparan secara cultural dalam tubuh demokrasi itu sendiri.

Kondisi yang semacam ini saya kira lebih jelas jika kita mengambil satu wacana teoretis Marshall McLuhan dalam tulisannya The Making of Typographic Man. Dia melihat, bagaimana perubahan-perubahan sosial-masyarakat ketika dihadapkan dengan sebuah kebebasan tanpa “penyaring” yang akan merusak perilaku, kesadaran dan keputusan di dalamnya.

Tentu persoalan ini mengerucut pandangannya terhadap media sebagai “global village”. Bagaimana determinisme media digital, akan melahirkan masyarakat yang bebas. Termasuk dari rasa tanggung-jawab, di luar kesadaran dan hilangnya kontrol diri.

Di sinilah Marshall McLuhan menempatkan kebebasan di era digital tidak sepenuhnya sebagai jalan alternatif manusia modern. Karena kebebasan-kebebasan itu akan melahirkan manusia-manusia yang tidak tau batasan dan fungsi yang bermakna. Di sinilah saya kira sangat penting untuk meng-counter masyarakat di dunia maya. Termasuk tetap menguatkan regulasi hukum seperti UU ITE dan edukasi cerdas untuk sehat dan beradab di dunia maya.

UU ITE sebagai Digital Police

Kebebasan dan ketidakterbatasan sosial-kultural yang ditawarkan oleh dunia maya, sejatinya sering-kali mengantarkan manusia-manusia ke dalam sebuah kepentingan personal (tanpa rasa tanggung-jawab) dan perilaku kejahatan. Di sinilah sebenarnya UU ITE harus tetap tegak dan fokus menjadi “penyaring” lelaku digital masyarakat. Agar lebih kondusif, etis dan sehat di dalam memanfaatkannya.

Kejahatan-kejahatan digital tersebut senyatanya memang sangat penting untuk ditindak secara tegas. Karena pada ranah ini, bukan lagi tentang porsi paling proporsional masyarakat diberikan kebebasan untuk melakukan tindakan-tindakan yang merusak. Membiarkan masyarakat bergerak memanfaatkan kemudahan, kebebasan dan kecepatan digital untuk kepentingan-kepentingan yang disalahgunakan.

Penyalahgunaan digital ini saya kira menjadi titik penekanan UU ITE harus diberlakukan. Sebagai polisi digital yang bisa mengamankan masyarakat dari tindakan kriminal di dunia maya. Karena persoalan polemik interpretasi, implementasi dan revisi-revisi mengenai UU ITE saya kira bukan sesuatu yang sifatnya “fungsi” dari UU ITE secara subtansial. Tetapi implementasi dan penekanannya terhadap hukum yang lebih berkeadilan dan melonggarkan kebebasan masyarakat yang benar-benar mengkritik misalnya.

UU ITE juga perlu tindakan preventif dalam memberangus pelanggaran-pelanggaran masyarakat di dunia maya. Secara orientasi, penegakan hukum yang basis-nya keadilan, ber-kesesuaian dan ketepatan di dalam proporsi yang paling jelas dan benar. Upaya-upaya merespons keluhan masyarakat yang dianggap menghambat ekspresi kebebasan masyarakat di ruang digital.            

Persoalan yang semacam ini juga perlu kita amati. Bagaimana framing kejahatan berbasis digital selalu bersembunyi di balik kebebasan demokrasi. Hal yang perlu ditekankan dari UU ITE adalah fungsi, tujuan dan sasaran. Persoalan kritikan dan revisi UU ITE, itu lebih kepada teknis dan penggunaannya yang harus mengakar ke dalam tujuan-tujuan utama. Yaitu tegas kepada para pelaku kejahatan digital “digital crime” yang senyatanya memang merusak. Tetapi mereka menggunakan framing kebebasan demokrasi agar kejahatan-kejahatan digital “digital crime”  yang digunakan tampak transparan dan dibenarkan.

This post was last modified on 24 Februari 2021 12:05 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Sangkan-Paran, Kebudayaan, dan Mata Air Keagamaan

Sejauh mana pada dasarnya lokalitas dalam ungkapan “kearifan lokal” ketika ternyata kearifan itu telah melewati…

1 jam ago

Kearifan Lokal Menumbuhsuburkan Syariat Agama

Sangat disayangkan manakala ada anggapan bahwa kearifan lokal merupakan musuh bagi syariat agama. Kearifan lokal…

1 jam ago

Pintu Masuk Radikalisasi adalah Antipati terhadap Kearifan Budaya

Radikalisasi merupakan proses yang menyebabkan seseorang jatuh dalam pemikiran radikal dan ekstrem. Salah satu pintu…

1 jam ago

Benarkah Budaya Lokal Mendangkalkan Akidah ?

Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi tentang hubungan antara Islam dan kearifan lokal semakin sering mencuat,…

2 jam ago

Kerapuhan Khalid Basalamah dalam Menyikapi Islamisasi Tradisi Lokal

Salah-satu sosok penceramah yang sangat gencar menolak islamisasi tradisi lokal adalah Khalid Basalamah. Bahkan, beberapa…

24 jam ago

Anggapan Keliru Kearifan Lokal dan Tradisi Menodai Akidah

Akidah mana yang tercemari oleh pujian-pujian kepada nabi, bunyi rebana, wewangi kemenyan, atau bahkan ziarah…

1 hari ago