Di era disrupsi digital ini, kontestasi wacana di ruang publik bergeser dari dunia nyata ke ranah maya. Keberadaan internet terutama media sosial telah menjadi ruang publik baru tempat opini dan wacana dikontestasikan dimana semua pihak berupaya menjadi yang paling dominan dan berpengaruh. Secara karakteristik, ruang publik digital ini terbilang unik, lantaran kian kaburnya batas antara urusan privat dan publik. Di internet apalagi medsos, urusan pribadi bisa menjadi isu yang dikonsumsi publik. Seperti kita lihat sendiri, bagaimana kanal-kanal medsos seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram, WhatsApp dan sejenisnya telah menjadi semacam etalase untuk memamerkan kehidupan pribadi. Naluri paling purba manusia, yakni narsisisme mendapat pengejawantahannya yang tepat dengan kehadiran media sosial.
Tidak hanya itu, medsos juga telah menjadi medium untuk mengamplifikasi opini, gagasan dan wacana tentang apa saja, mulai isu politik, hukum, ekonomi, hingga agama. Medsos juga telah menjadi arena pertempuran baru dari berbagai pihak untuk tidak hanya bertukar gagasan, namun juga mengadu gagasannya agar menjadi paling dominan. Ironisnya, di tengah kontestasi wacana itu muncul sejumlah residu persoalan. Antara lain, maraknya hoaks dan ujaran kebencian. Survei Masyarakat Telematika (Mastel) pada tahun lalu menyebutkan hoaks dan ujaran kebencian lebih banyak menyebar melalui media sosial ketimbang media mainstream.
Media sosial Facebook, Twitter dan Instagram menjadi platform medsos yang paling banyak menjadi medium penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, yakni mencapai 92, 40 persen. Disusul kemudian oleh aplikasi percakapan seperti WA, Line dan Telegram yang mencapai 62, 80 persen. Dari sisi jenisnya, hoaks dan ujaran kebencian yang paling banyak beredar di medsos umumnya mengusung isu SARA (88, 60 persen) dan kesehatan 41, 30 persen. Sedangkan para “penikmat” hoaks dan ujaran kebencian umumnya berasal dari orang tua (rentang usia 40 ke atas). Hal ini terjadi karena kelompok usia ini merupakan kalangan yang tengah gagap menghadapi pergeseran dari era analog ke digital. Maka, tidak jarang mereka kerap terjebak pada fenomena misinformasi.
Residu Ruang Publik Digital
Disrupsi digital memang mirip pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi komunikasi digital memberikan kemudahan manusia mengakses informasi dan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain revolusi digital juga memicu banjir hoaks dan ujaran kebencian yang mengotori ruang publik kita. Dalam situasi yang demikian inilah regulasi hukum seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sangat diperlukan. Negara harus hadir untuk mengatur ruang publik digital agar tetap sehat, kondusif dan demokratis. Negara harus memastikan tidak ada satu pihak yang menguasai ruang publik dengan opini dan narasi negatif yang mengancam demokrasi dan keutuhan bangsa.
UU ITE idealnya dipahami sebagai komitmen pemerintah dalam menjaga dan merawat kebebasan berpendapat di ranah maya agar tidak menjurus pada absolutisme. Absolutisme ruang publik ditandai dengan setidaknya dua gejala. Pertama, maraknya berita bohong, fitnah dan ujaran kebencian di dunia maya yang sengaja dibuat dan disebarluaskan untuk mengaburkan sisi trust masyarakat. Seperti kita lihat di Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, hoaks dan ujaran kebencian memang sengaja diproduksi oleh pihak tertentu untuk memecah belah masyarakat dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada negara. Tujuan akhir hoaks dan ujaran kebencian ialah menggiring masyarakat pada skeptisisme, tidak percaya dengan apa dan siapa pun, dan pada akhirnya mudah dimobilisasi untuk kepentingan tertentu.
Kedua, adanya pergeseran pola komunikasi dan diskusi dari yang sebelumnya argumentatif-persuasif menjadi monologis-intimidatif. Kecenderungan ini juga tampak di Indonesia belakangan ini, dimana tiap individu di dunia maya seolah lebih senang berbicara satu arah (rajin mengkritik pihak lain, namun alergi jika dikritik), gemar mengintimidasi pihak lain dengan tudingan tak berdasar dan senang menebar ancaman. Di tengah kondisi yang demikian ini, saluran diskusi menjadi macet total, dan masing-masing pihak lantas bermonolog ria dan merasa diri paling benar dan menuntut diperlakukan secara istimewa.
Menegakkan Prinsip Keadilan Restoratif
Munculnya dua gejala itu membuat ruang publik digital kehilangan karakter “kepublikannya” yang bertumpu pada asas konsensus. Ruang publik digital lantas terdisorsi perannya sebagai arena terbuka yang egaliter, menjadi ruang segregatif dimana masing-masing pihak hidup dalam kotak kubikalnya masing-masing. Belum lagi ditambah dengan merebaknya sikap mau menang sendiri dan arogan dari masing-masing pihak yang ada di dalamnya. Semua itu kian membuat ruang publik digital kita tidak sehat dan mengarah pada chaos. Situasi chaos itu kiranya bisa dicegah dengan penerapan UU ITE yang profesional dan transparan.
UU ITE diperlukan untuk memberantas industri hoaks dan ujaran kebencian berskala massal seperti fenomena Saracen yang terungkap beberapa tahun lalu. Fenomena hoaks dan ujaran kebencian yang sifatnya masif dan kolosal, apalagi memang didesain sebagai sebuah industri yang menguntungkan secara ekonomi tidak bisa ditangani hanya dengan model pembinaan, alih-alih tindakan hukum yang tegas. Sebaliknya, kasus-kasus pencemaran nama baik atau penghinaan yang terjadi di ranah digital hendaknya cukup diselesaikan dengan mengedepankan keadilan restoratif. Secara definitif, keadilan restoratif ialah pendekatan hukum yang ingin mengurangi angka kejahatan dengan mempertemukan antara korban dan terdakwa serta melibatkan perwakilan masyarakat umum.
Prinsip keadilan restoratif ialah penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau pengadilan dengan maksud tidak memberikan balasan atau hukuman (penjara/denda) bagi pelaku, namun tetap memberikan keadilan dan mengembalikan kehormatan bagi korban. Prinsip keadilan restoratif tidak bermaksud membangun sikap abai pada penegakan hukum, melainkan lebih sebagai mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran hukum kecil/ringan agar tidak perlu berujung pada pemidanaan. Prinsip keadilan restoratif ini kiranya bisa diterapkan dalam kasus-kasus pencemaran nama baik atau penghinaan di dunia maya yang kerapkali harus berakhir dengan saling lapor antarkedua belah pihak.
Ruang publik digital yang bebas dan terbuka sebagaimana kita nikmati hari ini ialah hadiah dari gerakan reformasi sekaligus capaian modernisme. Untuk itu, kita perlu terus menjaga agar ruang publik digital tersebut tetap sehat, kondusif dan demokratis. Kontestasi wacana sebagai bagian dari perebutan (dominasi) di ruang publik digital kiranya merupakan hal yang wajar dan idealnya dianggap sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Namun, kita tentu tidak bisa bersikap permisif terhadap fenomena industri hoaks dan ujaran kebencian yang membahayakan keutuhan bangsa. Penegakan hukum dengan penerapan UU ITE tetap diperlukan untuk memberangus industri hoaks dan provokasi.
This post was last modified on 25 Februari 2021 9:19 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…