Narasi

UU ITE dan Urgensi Edukasi Profetik Bermedsos

Tuntutan zaman yang semakin modern di mana salah satu tandanya adalah kemudahan sistem komunikasi dan akses informasi tentu membutuhkan seperangkat aturan di dalamnya. Patut dipahami bahwa salah satu fungsi dari UU ITE adalah sebagai upaya kontrol masyarakat pengguna internet dan media sosial (social media learning). Terlepas dari berbagai gelombang perlunya revisi dari UU ITE tersebut, kehadirannya adalah sesuatu yang harus dipikirkan bersama. Tentu akan sangat berbahaya jika di era revolusi media seperti saat ini, tak adanya sistem regulasi yang legal formal. Padahal kita tahu bahwa, di jagat internet dan medsos, ujaran kebencian, hoax, dan narasi provokatif demikian liar dan banal.

Sejatinya konten-konten yang ada di dunia maya ataupun postingan, komentar medsos kita ibarat pedang bisa berguna ataupun bisa menjadi malapetaka, tergantung pada diri kita memanfaatkannya. Jika kita punya orientasi negatif, bisa jadi akan menjadi senjata yang akan menghunuskan dirinya sendiri. Namun sebaliknya, jika kita menggunakan medsos dengan pikiran yang arif lagi bijak tentu akan berdampak positif bagi kita sendiri.

Kita pun sebagai warga negara punya hak dalam menyampaiakan aspirasi ataupun dalam bentuk kritik sekalipun. Dan kehadiran UU ITE dalam hal ini bukan berarti ingin mengekang kebebesan berpendapat rakyat, akan tetapi dalam rangka mengontrol agar iklim di dunia maya (medsos) tetap sehat, damai, dan kondusif. Apalagi, trend saat ini aspirasi terhadap pemerintah banyak disuarakan di medsos. Kalau tidak adanya sistem kontrol yang baik, jagat internet atau medsos bisa menjadi sarang ujaran kebencian, adu domba, fitnah, dan berita hoax.

Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Muhamad Arsyad yang pada Oktober 2014 silam sebagaimana disebutkan Rasti Pasorong (2017). Arsyad di jatuhi UU Pornografi dengan Pasal Pornografi sesuai UU Nomor 44 Tahun 2008 dengan ancaman 12 Tahun Penjara, juga UU KUHP Pasal 310 tentang pencemaran nama baik karena memposting kata-kata dan gambar tidak senonoh yang ditujukan untuk menghina Presiden Jokowi melalui akun facebooknya. Meskipun awalnya ia hanya bermaksud untuk mengkritiki tentang pebijakan kenaikan harga BBM pada saat itu (Rasti Pasorong, 2017).

Menyuarakan aspirasi di medsos tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Penyalahgunaannya dengan cara yang tidak pantas dan berlebihan dapat mengakibatkan pelanggaran kesusilaan (Pasal 27 ayat 1); penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3); dan penyebaran kebencian berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) (Pasal 28 ayat 2) dalam Undang-Undang ITE Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah di revisi pada 28 Oktober 2016 pada pasal 26 dan 40 serta parubahan pada lamanya hukuman yang di berikan yakni dari 6 tahun menjadi 4 tahun dengan denda yang dari awal 1 miliyar menjadi 750 juta (www.kompas.com, 28/11/2016)

Oleh karenan itu, sebagai masyarakat yang hidup di era digital, penting untuk mengetahui bagaimana cara mengakses informasi di dunia maya dan juga bermedia sosial. Berkaitan dengan itu, kejujuran dan kebenaran informasi menjadi hal yang vital. Menjunjung kebenaran dapat dilakukan oleh seorang netizen atau warganet dengan etika komunikasi profetik. Dan UU ITE diharapkan mampu mengemban tugas kenabian. Selain sebagai kontrol dalam bermedsos, juga sebagai sarana edukasi profetik berdasar cinta sebagai ibadah kepada Tuhannya dengan cara: mengungkapkan kebenaran (truth), menegakkan keadilan (justice), mendukung terciptanya kesejahteraan (prosperity),menciptakan perdamaian (peace), dan menjunjung tinggi kemanusiaan universal (universal humanity).

Dalam berselancar di dunia maya dan bermedia sosial kita harus mengedepankan sikap seperti shiddiq (menyampaikan, to inform), amanah (mendidik, to educate), tabligh (menghibur, to entertain), dan fathanah (melakukan kontrol sosial, social kontrol). Keempatnya juga bisa diartikan: shiddiq (berdasar kebenaran), tabligh (disampaikan dengan cara mendidik), amanah (dapat dipercaya), dan fathanah (dengan penuh kearifan).

Dengan itu semua harapannya informasi yang ada di ruang-ruang digital ataupun konten-konten yang ada di medsos merupakan informasi yang sehat, sejuk, dan tidak meresahkan serta bebas dari hoax, sehingga masyarakat tidak panik.

This post was last modified on 23 Februari 2021 2:46 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

11 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

11 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

11 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

11 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago