Faktual

Viral Muslim Shalat di Gereja, Belajar Toleransi dari Resepsi 1 Abad NU

Resepsi Satu Abad NU pada tanggal 7 Februari memang telah usai digelar. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini telah mengguncang Jawa Timur dengan massa yang begitu banyaknya. Tentu bagi NU, peringatan ini menjadi cukup luar biasa karena sebagai tonggak memasuki abad ke 2 dengan tetap istiqamah menjadi ormas Islam yang moderat, toleran dan berkomitmen kebangsaan.

Prinsip dan ajaran keislaman yang dibawa NU hingga kini mampu memberikan warna tersendiri tidak hanya tentang Indonesia, tetapi tentang karakteristik Islam yang toleran. NU menjadi ormas Islam terbesar, tetapi dengan kebesarannya tidak menjadi arogan. NU memberikan ruang kepada yang berbeda untuk selalu duduk bersama di bumi nusantara.

Karena itulah, banyak sekali momen toleransi yang tercipta saat Resepsi 1 Abad di Sidoarjo waktu lalu. Seluruh sekolah di Kota Sidoarjo dialihkan menjadi pembelajaran daring untuk menghormati perhelatan akbar ini. Selain mengantisipasi kemacetan yang terjadi, kebijakan ini ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat NU dari berbagai wilayah untuk datang ke peringatan tersebut.

Tidak hanya itu, Ormas Islam terbesar lainnya, Muhammadiyah Sidoarjo juga menyiapkan layanan dan fasilitas gratis bagi peserta resepsi satu Abad NU yang berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya lahan parkir, masjid, dan makanan, Muhammadiyah juga menyiapkan ambulan gratis bagi para peserta yang dipusatkan di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Tentu tidak hanya dari ormas Islam, dalam perayaan satu abad NU, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sidoarjo, Jawa Timur juga turut berpartisipasi untuk memeriahkan. Jemaat GKI Sidoarjo secara swadaya memasang sembilan bendera NU dan empat bendera merah putih di depan gedung gereja, mereka juga membuka posko sebagai tempat singgah untuk para jamaah Nahdliyin.

Tak kalah dengan GKI, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat atau GPIB juga turut serta dalam memeriahkan acara, GPIB membuka pintu gereja bagi warga NU, dan sebanyak 60 Nahdliyin menginap di gereja tersebut. Para peserta yang tidak mendapatkan penginapan dapat beristirahat di gereja tersebut.

Para Jemaah islam bukan hanya menginap di gereja tersebut, namun mereka juga menggunakan gereja tersebut sebagai tempat ibadah solat. Simbol salip yang ada di gereja tersebut bukanlah suatu halangan dalam melaksanakan shalat dengan khusyuk. Karena dalam melakukan ibadah shalat, muslim diharuskan menundukkan kepala, dan berkonsentrasi kepada sang pencipta, bukan kepada lingkungan.

Sontak, peristiwa ini menjadi viral dan mendapatkan komen banyak dari netizen. Banyak mereka yang berkomentar dengan rasa bangga dan haru tentang toleransi yang ada. Ada pula yang mengomentari dengan mengatakan : Inilah kita, Indonesia.

Panorama ini tentu memberikan pelajaran penting bahwa agama tidak menyekat manusia untuk saling bersama. Agama memang berbeda, tetapi bukan sarana untuk menjadikan perbedaan sebagai hambatan dalam bekerjasama.

Lantas, apakah boleh umat muslim menjalankan ibadah sholat di tempat peribadatan agama lain? Ibnu Qudamah seorang pakar fikih dari madzhab Hanbali dalam karyanya Al-Mughni menyebutkan bahwa, “Tidak masalah shalat di dalam gereja yang suci. Hasan Bashri, Umar bin Abdil Aziz, Asy-Sya’bi, Al-Auza’i, Sa’id bin Abdil Aziz telah memperbolehkan shalat di dalam gereja. Demikian juga diinformasikan bahwa Umar bin Khathab dan Abi Musa al-Asy’ari juga memperbolehkannya.” (1968: II, 57).

Dari apa yang dilakukan umat muslim dari warga NU dan juga gereja yang ikut memeriahkan dan memfasilitasi acara, justru terlihat kebersamaan dalam perbedaan. Mereka memang berbeda, tetapi mereka memiliki kesamaan tentang satu keyakinan akan ketuhanan yang mengajarkan kedamaian. Perbedaan bukanlah suatu halangan untuk bisa hidup bersama.

This post was last modified on 10 Februari 2023 11:53 AM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

1 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago