Gen Z lahir dengan dua kewarganegaraan. Indonesian citizenship dan internet citizenship (netizen). Bagi mereka, tidak ada garis pemisah yang jelas antara kehidupan “nyata” dan “daring”.
Identitas mereka bukan hanya nama di akta kelahiran, tetapi juga nama panggilan di dunia game (gamertag) yang reputasinya telah mereka bangun selama bertahun-tahun. Relasi pertemanan juga tidak lagi diukur dari kedekatan geografis, melainkan dari petualangan yang mereka share di semesta virtual.
Bagi generasi ini, kehilangan sebuah akun game yang telah dirawat selama delapan tahun bukanlah gangguan teknis sepele. Itu adalah kehilangan sebagian dari diri mereka, sebuah duka yang setara dengan kehilangan peninggalan berharga.
Pentingnya dunia digital ini bagi mereka, sayangnya, juga menjadi celah kerentanan terbesar. Justru karena platform-platform ini adalah “dunia nyata” bagi anak-anak kita, para ekstremis melihatnya sebagai lahan subur untuk menyemai kebencian. Medan perang ideologi telah bergeser ke tempat yang paling tidak terduga, server gaming.
Ambil contoh Roblox, platform raksasa dengan lebih dari 65 juta pengguna aktif harian, di mana setengahnya berusia di bawah 13 tahun. Kepolisian Federal Australia (AFP) telah membunyikan alarm keras, melaporkan bahwa kelompok ekstremis secara sistematis menyusup ke Roblox untuk menargetkan anak-anak semuda 12 tahun (The Guardian, 2023)).
Di dalam Roblox, ditemukan dunia virtual yang mensimulasikan skenario mengerikan dari kamp konsentrasi Nazi, “kamp pendidikan ulang” komunis Tiongkok untuk Muslim, hingga reka ulang serangan teroris di Christchurch. Tujuannya jelas, mengaburkan batas antara fantasi dan kenyataan, serta menormalisasi kekerasan ekstrem.
Asisten Komisioner AFP, Krissy Barrett, menyebut game-game ini sebagai “kuda Troya”—alat yang dirancang untuk menyelundupkan ideologi kebencian ke dalam pikiran anak-anak.
Di Singapura, seorang remaja laki-laki diradikalisasi melalui Roblox hingga merencanakan serangan di dunia nyata. Sebuah permainan telah terbukti menjadi gerbang radikalisasi (The Jakarta Post, 2025).
Pola yang sama terjadi di belahan dunia lain dengan konsekuensi yang sama berbahayanya. Di Amerika Serikat, FBI berhasil menggagalkan rencana serangan teror oleh James Wesley Berger, yang dikenal di Roblox sebagai “Crazy Pain”.
Berger secara aktif merencanakan serangan terhadap sebuah konser Kristen dan juga menyatakan niatnya untuk membunuh Muslim Syiah di masjid mereka, semuanya terinspirasi oleh ideologi gaya ISIS.
Kasus ini menyoroti betapa kacaunya ideologi di dunia maya, di mana seorang individu dapat mengadopsi ekstremisme kekerasan yang tampaknya tidak sejalan dengan latar belakangnya, semua dimediasi melalui avatar dan komunitas di dalam game.
Ancaman ini tidak berhenti di dalam game. Ia terakselerasi oleh teknologi dan menyebar ke platform lain. Ruang obrolan di Discord dan Telegram menjadi “markas” tempat indoktrinasi yang dimulai di game dilanjutkan. Lalu kecerdasan buatan (AI) memperburuk situasi.
Di Malang, seorang mahasiswa menggunakan alat terjemahan AI untuk menyebarkan propaganda teroris secara global. Di Inggris, seorang pria dimanipulasi oleh chatbot AI hingga mencoba membunuh Ratu Elizabeth II. Teknologi telah menjadi akselerator radikalisasi yang personal dan tak terbatas.
Penting untuk dipahami bahwa ancaman ini tidak memihak satu ideologi. Internet adalah fasilitator yang memberi kesempatan setara bagi semua bentuk kebencian, mulai dari supremasi kulit putih di Barat, ekstremis Hindu di India, hingga kelompok Incel yang membenci perempuan.
Akibatnya, wajah teroris telah berubah. Bukan lagi seorang militan bersenjata, melainkan seorang remaja yang terisolasi di kamarnya, yang keyakinannya dibentuk oleh interaksi dalam game dan divalidasi oleh komunitas anonim di dunia maya. Medan perang telah bergeser dari fisik ke psikologis.
Menghadapi kenyataan ini, metode pengasuhan lama yang hanya berfokus pada larangan dan pembatasan waktu layar tidak lagi memadai. Melarang mereka masuk ke dunia digital sama saja dengan mengucilkan mereka dari dunianya sendiri.
Tugas kita bukanlah membangun tembok yang lebih tinggi, melainkan memberikan mereka kompas dan perisai. Kompas itu adalah literasi digital kritis—kemampuan untuk menavigasi banjir informasi, mengenali manipulasi, dan mempertanyakan narasi yang disajikan kepada mereka.
Kita sedang menyaksikan evolusi radikalisasi secara real-time. Ia tidak lagi bersembunyi di forum gelap di pelosok internet, tetapi berparade di depan mata, di tengah alun-alun digital tempat anak-anak kita bermain, belajar, dan bersosialisasi.
Ancaman paling berbahaya dari fenomena ini bukanlah pada teknologinya, melainkan pada kemampuannya mengaburkan batas fundamental dalam perkembangan seorang manusia. Garis antara memerankan sebuah ideologi sebagai permainan dan menyerapnya sebagai kebenaran kini menjadi sangat tipis, nyaris tak terlihat.
Ketika seorang anak menghabiskan puluhan jam memerankan peran dalam sebuah simulasi kekerasan ekstremis yang didukung oleh komunitas yang memvalidasinya, di titik mana permainan itu berakhir dan indoktrinasi dimulai?
Sebab jika dunia virtual adalah tempat di mana masa depan ditempa, kita harus memastikan bahwa yang tertempa di sana bukanlah kebencian, melainkan harapan dan kemanusiaan.
This post was last modified on 17 September 2025 12:25 PM
Geliat gerakan yang dimotori gen Z di sejumlah negara ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata.…
Hasil survei dari Alvara Institute pada tahun 2022 lalu menyebutkan bahwa agama menjadi salah satu…
Gelombang aktivisme anak muda, khususnya Generasi Z, semakin menjadi sorotan global. Dari Nepal, Bangladesh, Sri…
Ketika berbicara tentang jihad, kerap kali kita terjebak dalam narasi yang sempit dan reduktif, seolah…
Jika ada pentolan HTI yang patut diacungi jempol lantaran lihai bermanuver, maka nama Felix Shiaw…
Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…