Pemerintah Indonesia sebagaimana diumumnya oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memutuskan untuk tidak memberangkatkan jamaah haji ke Tanah Suci pada tahun ini (2021 M/1442 H). Ini merupakan tahun kedua Indonesia tidak memberangkatkan jamaah haji akibat pandemi Covid-19. Berat memang, namun itulah kenyataan yang harus diterima.
Pembatalan haji tahun 2021 ini bisa dilihat dari setidaknya tiga sisi. Pertama, dari sisi pemerintahan Arab Saudi sendiri memang masih menutup pintu bagi sejumlah negara yang dinilai masih belum berhasil mengendalikan pandemi. Mengutip pemberitaan Reuters, sampai saat ini hanya ada 11 negara yang warganya diijinkan masuk ke Arab Saudi. Kedua, Pemerintah Arab Saudi juga belum mengundang pihak Indonesia untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman penyelenggaraan ibadah haji. Padahal, pemerintah perlu waktu tidak sebentar untuk mempersiapkannya. Terakhir, dari sisi pemerintah Indonesia pembatalan haji ini merupakan upaya untuk mencegah pandemi Covid-19 kian parah.
Seperti kita tahu, ritual ibadah haji bagi umat Islam di Indonesia tidak hanya sekadar berangkat ke Tanah Suci, menjalani ritual ibadah haji lalu pulang ke Tanah Air. Namun, lebih dari itu ibadah haji juga melahirkan semacam sub-ritus baik pra-pelaksanaan maupun pasca-pelaksanaan. Di sebagian besar umat Islam di Indonesia, sebelum berangkat haji biasanya diselenggarakan semacam acara selamatan atau pengajian atau dikenal dengan istilah walimatul safar.
Demikian pula setelah pulang, masih ada serangkaian acara penyambutan. Satu hal yang patut dicatat ialah bahwa seremoni pra dan pasca-haji itu pasti melibatkan kerumunan. Dimana ada kerumunan, disana dipastikan ada potensi kluster penularan virus Covid-19. Jadi pada titik ini bisa disimpulkan bahwa pembatalan atau lebih tepatnya penundaan haji tahun 2021 ini lebih banyak mendatangkan maslahat ketimbang mudarat.
Namun, sayangnya di tangan para kelompok radikal-konservatif, isu penundaan haji ini menjadi bahan “gorengan” untuk mereproduksi kebencian dan provokasi terutama terhadap pemerintah. Berbagai tudingan miring pun dilayangkan pemerintah oleh sejumlah pihak yang selama ini memang cenderung menunjukkan sikap kontra terhadap pemerintah.
Haikal Hassan misalnya, dalam cuitannya menyebut “Baru pertama kali terjadi sejak ada NKRI dimana warganya tidak bisa pergi haji. Apakah karena faktor terlalu dekat ke RRC? Apakah karena kezaliman terhadap RRC?”
Narasi sejenis, yang mencoba mendeskreditkan pemerintah atas penundaan ibadah haji belakangan santer mengemuka di media sosial. Isu penundaan haji telah dikomodifikasi sedemikian rupa oleh kelompok oposisi destruktif dan kaum radikal untuk menyerang pemerintah dan melunturkan kepercayaan publik pada negara. Tujuannya jelas, yakni mengadu-domba antarsesama umat dan membenturkan antara masyarakat dengan pemerintah.
Ibarat pepatah lama, kaum oposisi destruktif dan kaum radikal berusaha mengail di air keruh alias mengambil kesempatan di tengah kesempitan. Inilah yang disebut reproduksi kebencian dan provokasi. Yakni ketika kebencian dan provokasi berusaha didaur-ulang terus-menerus dengan menunggangi isu-isu yang mendapat perhatian publik luas. Kaum oposisi destruktif dan kaum radikal selalu berselancar di atas isu sosial, politik dan agama yang tengah hangat di tengah masyarakat dengan tujuan utama menebar kebencian dan provokasi pada pemerintah.
Ironisnya, mereka selalu melabeli reproduksi kebencian dan provokasinya itu dengan dalih demokrasi dan kritik terhadap pemerintah. Dua hal yang sama sekali tidak masuk akal. Demokrasi justru sangat tidak menoleransi kebencian dan provokasi. Di dalam demokrasi, kritik dilakukan dalam kerangka yang konstruktif dan solutif sehingga steril dari unsur kebencian dan adu-domba. Kebencian dan provokasi yang dikemas seolah-olah sebagai bentuk kritik justru akan merusak demokrasi itu sendiri.
Maka, penting kiranya kita menyikapi pembatalan haji tahun ini dengan sikap rasional dan bijak. Rasional dalam artian kita perlu melihat secara komprehensif apa faktor yang menyebabkan batalnya pemberangkatan jamaah haji tahun 2021. Dan, jika dilihat seksama, keputusan pembatalan haji tahun ini dipandang cukup rasional dari sisi manapun. Dari sisi kesehatan terutama pembatalan haji ialah ikhtiar untuk melindungi kesehatan masyarakat, terutama dari paparan virus Covid-19.
Pertimbangan kesehatan ini tentunya sesuai dengan kaidah ushul-fiqih, yakni “mencegah keburukan itu lebih baik dan penting ketimbang mengejar kebaikan” (darul mafasid muqaddamun alaa jabilil mashaalih). Beribadah haji merupakan kewajiban dan keutamaan bagi seorang muslim yang mampu. Namun, menjaga kesehatan bahkan keselamatan kedudukannya jauh lebih utama. Di dalam prinsip tujuan syariah (maqasyid al syariah), menjaga nyawa (hizfun nafs) merupakan kewajiban utama manusia.
This post was last modified on 7 Juni 2021 12:17 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…