Bulan Ramadan datang. Umat Islam di seluruh dunia kini sedang melaksanakan kewajiban ibadah puasa (shiyam) selama sebulan penuh di bulan Ramadan. “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, (Q.S. Al-Baqarah:183)
Puasa secara bahasa bisa dimaknai sebagai menahan lapar dan dahaga dari fajar hingga matahari tenggelam. Dalam konteks syariat, definisi tersebut tentu saja sudah sangat tepat, namun ada yang luput bahwa puasa juga ajang melatih jiwa. Imam Ja’far Ash-Shadiq dalam bukunya berjudul Lentera Ilahi menjelaskan, seharusnya ketika kita hendak berpuasa, kita berniat untuk menahan diri dari nafsu-nafsu jasmaniah, memutuskan hasrat-hasrat duniawi yang bersumber dari setan, dan mampu mengendalikan keinginan jiwa. Kita akan melawan setan dan sekutunya yang selalu menyerang seseorang ketika lengah dan ragu mengingat Allah. Pada bulan ini, seorang beriman harus lulus dalam ujian jasmaniah dan batiniah.
Dalam sebuah kisah, seperti dinukilkan Imam Ja’far, seseorang berkata kepada seorang sahabat, “Aku mempersiapkan puasa itu untuk menangkal kejahatan dari suatu hari yang panjang (akhirat). Kesabaran untuk mematuhi Allah lebih mudah daripada kesabaran untuk menahan hukuman-Nya.” Menurut Imam Ja’far, puasa dapat membunuh keinginan-keinginan diri dan nafsu serakah. Berpuasa berarti kita berusaha untuk menyucikan hati, membersihkan anggota badan, melatih jiwa dan raga, selalu bersyukur atas rahmat dan nikmat-Nya, bersedekah kepada fakir miskin, bersikap rendah hati dan selalu tampil sederhana, dan menyesali perbuatan yang tidak diridlai Allah.
Tujuan Puasa
Sejatinya, puasa dimaksudkan agar seorang hamba dapat mencapai derajat takwa yang hakiki. Itulah tujuan sebenarnya berpuasa. Dalam konteks tersebut, Imam Ghazali menyebutkan enam kriteria ideal puasa agar dapat diterima dan mencapai derajat takwa.
Pertama, agar kita tidak melihat sesuatu yang dibenci Allah. Kedua, agar kita selalu menjaga lisan. Dalam hadis yang diriwayatkan Anas, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa seseorang: berdusta (hoaks), mengumpat, menyebar desas-desus atau adu domba, bersumpah palsu, dan memandang penuh nafsu.”
Ketiga, agar kita menjaga pendengaran. Sebab, kata al-Ghazali, apa-apa yang dilarang diucapkan, maka Allah juga melarang kita untuk mendengarnya. Keempat, supaya kita menjaga seluruh anggota badan. Kelima, kita menghindari makan dan minum berlebihan. Biasanya, karena menahan lapar dan haus seharian, kita lalai. Momen berbuka puasa dan sahur kita lakukan dengan mengonsumsi sajian secara rakus. Kekenyangan dapat menyebabkan kita meninggalkan salat tarawih, tadarus Alquran, dan ibadah-ibadah sunah lainnya. Terakhir, agar kita selalu takut dan berharap hanya kepada Allah.
Yang Sering Luput dari Puasa
Sekalipun jutaan orang Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah puasa, sungguh ibadah yang sedang dilakukan tersebut banyak yang bermuara pada kesia-siaan. Rasulullah bersabda: “Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga.” Hal ini karena puasa hanya dimaknai sebagai ritus jasmaniah sehingga seseorang seringkali luput dari esensi ajaran berpuasa dalam Islam, yaitu mengelola nafsu. Masih suka menyakiti sesama baik lewat ucapan ataupun perbuatan. Dia berpuasa, tapi juga menebar kebencian, kebohongan, provokasi, dan adu domba.
Sebagai hamba Tuhan yang sekaligus makhluk sosial, aktivitas kita tentu selain ibadah yang memiliki relasi transedental kepada Allah SWT, kita akan lebih banyak bersinggungan dengan sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam dunia nyata ataupun dunia virtual. Hanya saja, dalam relasi kehidupan kemanusiaan, acapkali kita berucap ataupun bertindak yang menyakiti hati orang lain. Melakukan ujaran kebencian ataupun tindakan intoleran.
Tak jarang, hal tersebut berujung pada konflik sosial yang tentu saja rawan bagi proses integrasi dan konsolidasi nasional. Bangunan rumah Indonesia yang telah didirikan kokoh oleh Founding Fathers NKRI dengan menggunakan asas Pancasila bisa roboh sewaktu-waktu bila kita mudah menebar kebencian dan berlaku intoleran kepada sesama.
Maka itu, kita harus memastikan bahwa lisan, jempol, dan tindakan kita tidak akan pernah menyakiti hati sesama. Apalagi dalam momentum puasa seperti sekarang, perkataan dan tindakan buruk (baca: amoral) akan meluruhkan seluruh pahala puasa yang kita laksanakan. Dan pula, kebencian-kebencian yang ditunjukkan lewat lisan, postingan, dan tingkah laku, akan semakin mendekatkan NKRI dengan bahaya perpecahan. Yang mana, itu sangat tidak kita inginkan. Jadi, berpuasalah tanpa mengumbar kebencian dan menyakiti hati sesama. Wallahu a’lam bish-shawaab.
This post was last modified on 24 Maret 2023 11:38 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…