Dhasar karoban pawarta
Bebaratan ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yen pinikir sayekti
Pedah apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembenging beka
Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Samangsa keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhak angreranta ati
Angur baya ngiketa cariteng kuno
—Serat Kalatidha, Heru Harjo Hutomo
Sebagaimana manusia pada umumnya, Ronggawarsita juga pernah mengalami kesenduan karena upaya-upaya untuk menyisihkan dirinya (Ronggawarsita, Palang Kebudayaan Jawa yang Terbuang, Heru Harjo Hutomo, https://www.berdikarionline.com). Serat Kalatidha ditulis di saat-saat intrik yang terjadi di keraton Surakarta memaksa sang pujangga penutup Jawa itu melukiskan “zaman edan” yang terkenal.
Dalam lukisannya itu Ronggawarsita mengabarkan bahwa meskipun rajanya adalah seorang raja yang utama dan punggawanya adalah para punggawa yang mumpuni, tapi setiap harapan selalu berujung sia-sia. Kemarahan sosial seolah sudah berjejal, tinggal menunggu waktu untuk meletup.
Ronggawarsita sendiri pernah dijanjikan kenaikan pangkat di keraton Surakarta. Tapi berbagai orang licik berupaya menggagalkan dan memakannya dengan membangkitkan konflik lama ayahnya, Mas Pajangswara, yang mati tertangkap Belanda sehingga keterkaitan keraton Surakarta dengan pemberontakan Pangeran Dipanegara menjadi terungkap dan berakhir dengan diasingkannya PB VI ke Ambon.
Atas peristiwa itu Ronggawarsita sampai kemangkatannya berupaya hidup menyisih dari hiruk-pikuk politik dengan rumus yang seandainya tak edan tak bakal kebagian. Ia pun dikebumikan jauh dari makam para ningrat keraton: Palar, Trucuk, Klaten.
Dalam kedua bait tembang di atas dapat diketahui bahwa saat Ronngawarsita menulis Serat Kalatidha, keraton Surakarta dan wilayah kerajaannya tengah dirundung oleh apa yang kini dikenal sebagai provokasi (karoban pawarta), hoaks (bebaratan ujar lamis), kabar liar yang tak bertuan (pawarta lolawara), dan ujaran-ujaran kebencian (yang menyebabkan lara hati, angreranta ati). Dengan kata lain, secara personal, Ronggawarsita adalah salah satu korban dari itu semua (karoban pawarta) dan—dengan kecerdasannya—berupaya mengabarkan dan menganalisis tentang apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
Ketika apa yang dikabarkan oleh cucu pujangga Yasadipura itu ditarik pada masa kini, bukankah banyak kita jumpai sebuah kebencian, permusuhan, ketegangan, penghakiman tanpa peradilan, terjadi tanpa adanya rujukan yang dapat dipastikan, alias tak bertuan (Hikayat Kebohongan II, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org)?
Yang menarik dari penyikapan Ronggawarsita terkait dengan hoaks, provokasi, ujaran kebencian, dan fitnah yang telah menyingkirkan sekaligus menyisihkannya tersebut adalah dengan berpikir kritis (yen pinikir sayekti), seumpamanya pada janji yang akan menjadikannya sebagai seorang pemuka yang seandainya pun benar tak ada lagi gunanya, sebab nama dan karakternya telah dibantai sedemikian rupa.
Dasar terbakar kabar
Kabar angin penuh dusta
Diharapkan menjadi seorang pemuka
Tapi justru ditinggal
Ketika dipikir yang dalam
Tak ada gunanya di muka
Segala keluputan membumbung
Basah oleh air kelalaian
Ketika tumbuh pun menjadi gumpalan lara
Celoteh para pujangga
Menasehati dan memperingatkan
Ketika terkena musibah
Orang yang jatmika tersingkir penuh wirang
Demikian ketika mengamati
Tak ada gunanya untuk percaya
Kabar menyebar tak bertuan
Justru menjadikan lara hati
Lebih baik mengikat cerita-cerita lama
Di saat-saat zaman yang seperti itu, bagi Ronggawarsita, orang yang berperangai halus penuh budi dan pendiam justru dibohongi, tak layak menjadi percontohan, dan akan tersingkir penuh rasa malu. Maka, tak ada gunanya untuk percaya itu semua. Sebab, berbagai kabar yang beredar tak dapat dipastikan sumbernya. Seandainya ikut pun tak urung akan menambah lara hati. Zaman memang sedang mengalami goncangan yang membolak-balikkan segala tatanan. Tapi, Ronggawarsita juga mewariskan harapan: “Ndilalah karsa Allah/ begja-begjane kang lali/ luwih begja kang eling lawan waspada.”
This post was last modified on 2 November 2020 2:02 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…