Narasi

Prancis, Radikalisme dan Jihad Literasi Melawan Provokasi

Beberapa waktu lalu, terjadi provokasi pemboikotan terhadap produk Prancis di berbagai negara bahkan negara-negara timur tengah berjamaah melakukan aksi boikot, yang awalnya digawangi oleh Presiden Turki Reccep Tayyib Erdogan. Hal tersebut muncul sebagai respon terhadap pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang radikalisme-terorisme dalam Islam dan secara eksplisit pernyataannya bahwa saat ini Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia, tidak hanya di Prancis.

Pernyataan Macron tersebut meminjam bahasa Nockleby (2013) bisa disebut sebagai ujaran yang menjadi kebencian saat merendahkan orang atau kelompok manapun berdasarkan karakteristik seperti ras atau agama. Meskipun pernyataannya berangkat dari serentetan peristiwa teror yang terjadi di Prancis beberapa tahun belakangan ini. Namun, pernyataannya itu kemudian menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.    

Peristiwa teror, yakni terbunuhnya seorang guru sejarah, Samuel Patty oleh pemuda 18 tahun asal Rusia, Abdullah Anzorov Karena Patty dengan sengaja menampilkan sosok karikatur Nabi Muhammmad Saw, melalui majalah Charlie Hebdo saat mengajar, yang kemudian tersebarlah berita tersebut yang membikin geger publik. Macron sendiri tidak mengecam dan melakukan pembiaran terhadap pembuatan ulang karikatur nabi (yang pernah terjadi pula pada tahun 2006), karena hal itu oleh Macron dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu asas dari republik Prancis, yakni “laïcité”. Asas ini merupakan sekularisme ala prancis yang memiliki moto tritunggal, yakni kebebasan, keseteraan dan persaudaraan.    

Terjadinya berbagai aksi teror di Prancis, saya kira tidak terlepas dari provokasi yang terjadi di media. Melalui majalah mingguan Prancis Charlie Hebdo ini, provokasi kebencian berbasis identitas agama dimunculkan. Namun, hal ini dilindungi oleh hukum Prancis sebagai bagian dari kebebabasan berekspresi. Padahal, meminjam bahasa Prof. Iswandi Syahputra (2020), sebaiknya seluruh orang bahkan negara mendorong siapa saja untuk menggalakkan kebebasan berpendapat untuk menghargai, bukan kebebasan berpendapat untuk membenci. Menilik beredarnya karikatur nabi ini, menandaskan bahwa terjadi kebebasan yang kebablasan di Prancis.   

Namun, isu yang beredar itu dibantah oleh duta besar Prancis untuk Indonesia, Olivier Chambard dalam artikelnya di Koran Republika, Sabtu, 31 Oktober 2020. Chambard menampik akan pernyataan Macron yang jelas melakukan ujaran kebencian. Ia meneguhkan akan pentingnya “laïcité, sebagai perekat Republik Prancis yang merupakan landasan kebebasan beragama. Chambard mungkin lupa bahwa yang menjadi kecaman umat Islam di seluruh dunia adalah kebebasan berekspresi di Prancis yang melampaui kebebasan etis dan bahkan mendiskreditkan salah satu agama.

Meskipun Chambard menyebutkan dalam hukum Prancis, terdapat perbedaan jelas antara ruang yang diberikan untuk memperdebatkan dan mempertanyaakan semua sistem pemikiran, agama atau kepercayaan yang mencangkup kebebasan untuk mengkritik termasuk melalui humor di satu sisi dan hasutan kebencian agama. Namun perbedaan tersebut tidak jelas ditampilkan, dengan terbukanya peredaran majalah mingguan Charlie Hebdo tersebut. Kebencian agama melalui majalah Charlie Hebdo yang dilegitimasi oleh Prancis menjadi problematik, dan secara eksplisit menunjukkan akan perlindungan hukum terhadap narasi kebencian agama.

Untuk itu, kita perlu menyadari bahayanya ujaran kebencian berbasis identitas agama yang bisa menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat dan ruang publik virtual. Pentingnya jihad literasi melawan provokasi radikal di media sebagai counter narrative, sebagaimana yang terjadi di Prancis. Belajar dari kejadian tersebut, kita harus menguatkan literasi sosial keagamaan, politik dan isu-isu identitas agar tidak mudah terprovokasi untuk menyebarkan ujaran kebencian yang beredar luas, bak tsunami di media, khususnya media sosial. Karena sebagaimana dijelaskan di muka, jika provokasi pemboikotan produk Prancis itu terus bergulir. Maka secara tidak langsung itu akan merugikan ekonomi Prancis, dan pun warga negara muslim Prancis yang ada di sana nantinya akan terdampak dengan adanya PHK massal dan ketidakstabilan nasional. Akhirnya, mari lawan provokasi dengan Literasi

This post was last modified on 2 November 2020 2:01 PM

Ferdiansah

Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

13 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

13 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

13 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

13 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago