Narasi

3 Dosa Wahabi dan Sumbangsihnya Pada Terorisme Global

Layaknya tanaman, terorisme di Indonesia ialah gulma yang tumbuh subur, susah diberantas, sekaligus merusak kandungan hara dalam tanah. Ya, terorisme ialah benalu dalam kehidupan berdemokrasi kita. Para teroris hidup di Indonesia, bernafas, bahkan bekerja menikmati sumber daya alamnya, namun mereka membuat kerusakan mengatasnamakan agama. Barangkali benar, ungkapan Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen. Pol. Ahmad Nurwakhid yang mengatakan bahwa kejahatan yang paling keji ialah kejahatan yang mengatasnamakan agama. Terorisme, dilatari oleh agama dan ideologi apa pun ialah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Apalagi terorisme yang mengatasnamakan Islam yang notabene ialah agama rahmatan lil alamin.

Terorisme bukan semata persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait pada keyakinan teologis. Teroris bisa terus ditangkapi, dipenjara, bahkan dihukum mati. Namun, terorisme tetap ada bahkan berlipat ganda. Hal itu terjadi karena terorisme selalu memiliki hulu dan hilir. Hilir terorisme ialah praktik kekerasan seperti penyerangan, penembakan, bom bunuh diri dan sejenisnya. Sedangkan hulu terorisme ialah indoktrinasi cara pandang dan praktik keberagamaan yang eksklusif, intoleran dan radikal. Dalam Islam, terorisme tumbuh subur karena pemahamaan ajaran Islam yang cenderung tekstualis-skriptualis. Di era klasik, ajaran itu diusung oleh kelompok Khawarij. Sedangkan di era modern, doktrin itu direpresentasikan oleh ajaran Wahabi.

Wahabisme ialah paham dan gerakan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada Abad ke-18 di Jazirah Arab. Paham tersebut mengembangkan puritanisme di satu sisi dan ekstremisme di sisi lain. Wahabi menghendaki pemurnian ajaran Islam dengan jargon kembali ke al Quran dan Sunnah. Sepintas, agenda ini terdengar masuk akal dan tidak bermasalah. Hanya saja, dalam perkembangannya agenda puritanisme itu dilakukan dengan cara-cara ekstrem dan kekerasan yang justru menodai citra Islam. Secara teologis, mereka sangat menentang konsep tawasul, tasawuf, serta pendekatan akal dalam memahami teks keislaman. Sebaliknya, mereka menganggap praktik keagamaan yang tidak sesuai penafsiran mereka sebagai bid’ah dan khurafat. Palu bid’ah dan khurafat inilah yang kerap dijadikan sebagai alat untuk menjustifikasi praktik kekerasan yang dilakukan kaum wahabi terhadap kelompok lain.

Khaled Abou el Fadl dalam bukunya The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist mengungkap kelindan antara wahabisme dan fenomena ekstremisme dan terorisme global mengatasnamakan Islam. Khaled meyakini bahwa wahabisme menyumbang andil besar pada munculnya terorisme Islam seperti al Qaeda dan Taliban. Khaled yang merupakan pakar hukum Islam itu menyebut bahwa karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab, terutama Majmu’ al Tawhid dan Mu;allafat al Syaikh telah menjadi referensi utama ulama-ulama yang fatwa-fatwanya selalu menjadi rujukan kelompok al Qaeda dan Taliban. Dua kitab tersebut, menurut Khaled berisi ajaran eksklusivisme, dimana umat Islam dilarang berteman dengan non-muslim dan menganggap orang muslim yang murtad halal darahnya karena lebih buruk dari golongan non-muslim sekalipun. Doktrin ini lantas dikembangkan oleh Sayyid Qutb yang menyebut non-muslim sebagai Jahiliyyah Modern (Misrawi: 2011).

Sejalan dengan Khaled, Uni Eropa pada tahun 2013 lalu menyatakan bahwa wahabisme merupakan akar dan sumber utama terorisme global. Pernyataan itu tentu bukan asumsi kosong, melainkan muncul karena dilatari data dan fakta yang valid. Uni Eropa mencatat, sejak dua dekade terkahir, terjadi peningkatan eskalasi serangan terorisme Islam di Benua Eropa. Dan sebagian besar di antaranya dilakukan oleh teroris yang berafiliasi dengan al Qaeda, Taliban dan ISIS. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa wahabisme merupakan problem global. Transnasionalisasi paham wahabisme telah menjadi ancaman, tidak hanya ancaman regional, namun ancaman global.

Menghapus Dosa Wahabisme, Memberangus Ekstremisme

Memberangus terorisme tentu mustahil dilakukan tanpa mengatasi persoalan di level hulu. Yakni menutup ruang gerak paham wahabi agar tidak bisa secara leluasa disebarluaskan ke umat Islam. Ini artinya, selain penindakan hukum yang tegas bagi pelaku jaringan teroris, diperlukan pula upaya preventif agar umat Islam tidak terjerumus pada doktrin ekstremisme dan radikalisme. Disinilah pentingnya kita membersihkan dosa-dosa wahabisme yang telah menodai kesucian ajaran Islam. Setidaknya ada tiga dosa wahabisme yang harus kita bersihkan dari dunia Islam hari ini. Pertama, doktrin takfirisme yakni cenderung menstigma kalangan non-muslim sebagai musuh besar Islam yang harus diperangi dengan kekerasan. Doktrin takfirisme harus diakui telah membuat relasi Islam dan non-muslim menjadi canggung dan renggang sehingga rawan menimbulkan konflik.

Dosa kedua, ialah doktrin wahabisme yang menolak praktik spiritualisme Islam (tasawuf) dan menganggapnya sebagai penyimpangan. Seperti kita tahu, tasawuf justru merupakan khazanah kekayaan Islam yang patut kita rawat dan jaga. Tasawuf mengajarkan umat Islam untuk mempraktikkan kesalehannya secara spiritualistik, penuh cinta dan menjauhi kebencian terhadap sesama manusia. Dosa ketiga ialah penafsiran wahabi yang cenderung menghapus sejarah kejayaan Islam di masa Rasulullah yang identik dengan toleransi dan inklusivisme. Padahal, seperti kita tahu, Rasulullah justru membangun peradaban Islam yang dilandasi oleh spirit egalitarianisme.

Tiga dosa wahabi itulah yang harus kita enyahkan dari tubuh Islam kontemporer. Arab Saudi sebagai negara asal paham wahabi pun kini mulai gerah dengan paham tersebut. Belakangan, pemerintah kerajaan Arab Saudi menangkap ulama-ulama wahabi yang menyebarkan ajaran ekstremisme dan berafiliasi dengan organisasi jaringan teror global. Hal yang sama hendaknya juga dilakukan oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia. Ke depan, kita perlu mengintensifkan dialog antaragama untuk melunturkan doktrin takfirisme sebagaimana dipopulerkan wahabi. Umat Islam harus membangun kesadaran bahwa kaum non-muslim bukanlah musuh yang harus diperangi.

Selain itu, kita perlu merevitalisasi konsep tasawuf atau spiritualisme Islam. Hal ini penting agar praktik keislaman kita tidak kering dan kaku, namun kaya dengan perspektif cinta-kasih dan adaptif pada seni-budaya. Di saat yang sama, kita perlu merekonstruksi kembali masa kejayaan Islam di masa Rasulullah yang dibangun di atas fondasi pluralisme agama dan budaya. Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah mengoptimalkan agenda deradikalisasi dan narasi kontra-ekstremisme ke seluruh kelompok dan lapisan masyarakat. Narasi kontra ekstremisme agama akan menjadi semacam vaksin yang membentuk imunitas masyarakat dari paparan virus wahabi yang berbahaya.

This post was last modified on 5 Maret 2021 1:26 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago