Narasi

76 Tahun NKRI; Tangguh Menangkal Hoaks, Provokasi dan Radikalisme

Tahun ini, Indonesia genap berusia 76 tahun. Usia yang nisbi matang dalam perjalanan sebuah bangsa yang dikenal akan keragaman agama dan budayanya. 76 tahun lalu, para pendiri bangsa yang berasal dari latar belakang yang berbeda mendirikan rumah besar bernama Indonesia. Republik Indonesia sebagai bayi yang baru lahir di era 1940-an yang menjadi era senjakala kolonialisme didesain sebagai tenda yang menaungi seluruh perbedaan identitas dan latar belakang masyarakat Nusantara.

Tidak ada satu hal pun yang bisa mempersatukan seluruh entitas Indonesia kala itu, kecuali satu hal yakni imajinasi. Imajinasi untuk hidup bebas, merdeka dan berdaulat sebagai sebuah bangsa tanpa campur tangan, intervensi apalagi penjajahan bangsa asing. Sekaligus imajinasi untuk membangun sebuah tatanan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan yang adil, demokratis dan egaliter. Indonesia, merupakan perwujudan dari imajinasi kebangsaan yang melampuai segala sekat perbedaan agama, suku, ras, etnis, dan sejenisnya.

Kini, menginjak usianya yang lebih dari tujuh dekade, Republik Indonesia diuji oleh sejumlah tantangan berat. Dari sisi eksternal, Indonesia tengah menghadapi arus persaingan global, baik di ranah ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Persaingan geopolitik global menjadikan Indonesia sebagai arena pertempuran ideologi ekonomi dan politik. Dalam kondisi yang demikian ini, Indonesia dihadapkan pada bentuk kolonialisme baru yang mewujud pada penetrasi kapitalisme ekonomi dan liberalisme demokrasi yang harus diakui sebenarnya bertentangan dengan ideologi negara (Pancasila).

Tantangan Kebangsaan

Dari sisi internal, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan berat terkait penyebaran hoaks, narasi provokatif dan paham radikal yang mengancam integrasi bangsa. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan sendiri bagaimana penyebaran berita palsu, entah itu berlatar isu sosial maupun politik kian mengokupasi ruang publik digital kita. Fatalnya lagi, sebaran berita palsu itu juga kerap berkelindan dengan narasi provokatif dan adu-domba antarsesama anak bangsa atau antara masyarakat dan pemerintah.

Di saat yang sama, kita juga menghadapi penyebaran paham dan gerakan radikalisme keagamaan. Pasca Reformasi, lanskap sosial, politik dan agama di Indonesia diwarnai oleh menguatnya konservatisme keagamaan yang mewujud pada praktik keberagamaan yang eksklusif dan intoleran. Konservatisme itu lantas menjadi embrio bagi lahirnya radikalisme agama yang memuncak pada mewabahnya kekerasan dan teror(isme) atas nama agama. Hoaks, provokasi dan radikalisme bisa dibilang merupakan paradoks dari kebebasan berpendapat di era demokrasi. Kebebasan yang disalahartikan dan ditunggangi oleh kelompok tertentu lantas menyebabkan mewabahnya virus hoaks, provokatif dan radikalisme.

Tahun ini, spirit peringatan Kemerdekaan RI tertuang ke dalam tema, “Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh”. Sebuah frasa yang relevan dengan problem kebangsaan saat ini. Di tengah situasi krisis multidimensi akibat pandemi ini, bangsa Indonesia tetap harus tumbuh dan tangguh. Spirit tumbuh diperlukan agar masyarakat harus tetap produktif berkarya dan bekerja meski di tengah keterbatasan akibat pandemi. Sedangkan spirit tangguh dibutuhkan agar masyarakat dan pemerintah mampu menangkal segala persoalan terutama yang berkaitan dengan hoaks, provokasi dan radikalisme.

Merdeka dari Hoaks, Provokasi dan Radikalisme

Untuk itu, peringatan kemerdekaan ini kiranya bisa diterjemahkan ke dalam upaya memerdekaan bangsa dari hoaks, provokasi dan radikalisme. Merdeka dari hoaks bisa diupayakan dengan membangun kesadaran publik ihwal pentingnya literasi digital. Penetrasi teknologi komunikasi berbasis internet dan media sosial yang marak terjadi belakangan ini mau tidak mau harus diimbangi dengan memperkuat pemahaman publik tentang literasi digital. Literasi digital ialah senjata sekaligus tameng masyarakat untuk bisa menghindar dan melawan arus deras hoaks yang membajiri kanal media sosial kita hari ini.

Sedangkan merdeka dari provokasi kiranya bisa diwujudkan manakala bangsa ini mampu membangun imajinasi kebangsaan yang konstruktif. Dalam artian, relasi sosial-politik dan agama antarkelompok yang berbeda idealnya dibangun di atas fondasi kesalingpercayaan (mutual-trust), kesalingpemahaman (mutual-understanding) dan kesalingpenghormatan (mutual-respect). Dengan begitu, maka narasi provoktif yang bertujuan mengadu-domba masyarakat akan teranulir dengan sendirinya. Imajinasi kebangsaan ialah fondasi penting untuk memperkuat persatuan dan menangkal potensi disintegrasi bangsa.

Terakhir, merdeka dari radikalisme dapat diwujudkan dengan mengembangkan cara pandang dan praktik keberagamaan yang inklusif, toleran dan moderat. Moderasi beragama mutlak diperlukan bagi bangsa Indonesia yang multikultural dan multireliji. Tersebab, radikalisme hanya bisa tumbuh subur di tengah masyarakat yang beragama secara eksklusif dan intoleran. Maka, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan corak keagamaan yang selaras dengan komitmen kebangsaan dan tidak bertentangan dengan dasar falsafah negara, yakni Pancasila.

This post was last modified on 18 Agustus 2021 10:55 AM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago