Narasi

Agama Bukan Alat Memecah Belah Persatuan dan Berbuat Kerusakan

“Kau bakar rumah ibadah umat lain, imanmu yang sejatinya hangus. Kau bunuh nyawa orang lain, jiwamu yang sejatinya mati”

~Habib Husain Ja’far Al Hadar~

Ungkapan beliau ini sejatinya menjadi landasan etis, bahwa pada hakikatnya tidak ada agama mana-pun yang mengajarkan tentang kekerasan, bermusuhan, terpecah-belah dan bahkan melanggar norma-norma kemanusiaan. Agama sebagai counter kesadaran umat manusia untuk melindungi itu semua. Jadi, jika ada seorang “pendakwah” yang mengajarkan nilai-nilai agama yang memecah-belah, merusak,  ujaran kebencian dan memperkeruh keadaan. Maka sebetulnya dia telah melanggar norma-norma dalam agama itu sendiri.

Karena keragaman yang ada merupakan kemutlakan dari Allah SWT untuk kita jaga, rawat dengan baik dan menjaga hubungan antar umat beragama agar tidak terpecah-belah dan melanggar kemanusiaan. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mencontohkan kepada kita semasa di Madinah yang membentangkan toleransi dan bersatu untuk membangun “Civil society”. Beliau membangun persatuan bukan terpecah belah dan memberikan hak-hak kebebasan satu sama lainnya di dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Hal ini dipertegas dalam Islam misalnya dalam Surat Al-Baqarah ayat 256: “La Ikraha Fiddin” Bahwa tidak ada (paksaan) dalam beragama. Artinya, keimanan, pengakuan dan penghayatan dalam suatu agama bukan berdasarkan “paksaan” seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan atau bahkan diskriminasi. Agar mereka mau mengikuti ajaran-Nya. Tentu patologi keimanan yang semacam ini hanya sia-sia belaka. Karena keimanan tersebut bukan berdasarkan hati, rasa dan kecintaan yang tulus. Tetapi karena sebuah keadaan darurat yang memungkinkan orang tersebut penuh dengan kepura-puraan.

Maka langkah paling preventive dalam agama adalah menjaga persatuan dengan membangun kesadaran toleransi. Serta mengupayakan dakwah-dakwah yang arahnya kepada kebaikan sosial, kemanusiaan dan pelestarian akan keragaman yang ada. Karena tidak ada paksaan dalam agama. Semua orang bebas memilih jalan keselamatan berdasarkan rasa percaya diri yang mereka miliki. Mereka juga boleh melakukan ibadah berdasarkan keyakinan yang dianut. Kita perlu berdamai dengan diri kita sendiri untuk memantapkan keimanan masing-masing. Bukan sibuk mengurusi akan keimanan orang lain.

Maka, apa yang disebut dengan keshalihan spiritual itu sejatinya akan berdampak baik kepada keshalihan sosial. Artinya, nilai-nilai agama itu sangat koheren dengan “imbas” positif kepada perilaku, rasa dan tindakan akan kebaikan bagi tatanan sosialnya. Karena tolak ukur dari seberapa besar manfaat keimanan seorang itu bisa kita tinjau seberapa besar itu bisa berpengaruh ke luar permukaan.

Tugas seorang pendakwah, adalah mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan. Bukan memaksakan seseorang dengan cara-cara yang menyakitkan agar bisa pindah dan mengikuti ajaran-Nya. Karena yang memiliki hak prerogatif akan hidayah untuk seseorang bisa memeluk ajaran-Nya adalah Allah SWT itu sendiri. Itu pun bermula dengan dakwah atau ajakan-ajakan yang santun, penuh kasih dan menggembirakan.

Dari sini tampak sekali bahwa agama pada hakikatnya bukan alat untuk memecah belah atau menghancurkan akan kemanusiaan. Sekalipun itu mengatasnamakan akan sebuah ajaran-ajaran agama. Karena agama itu sendiri juga memberikan semacam “norma” bahwa tidak ada paksaan di dalam beragama yang mengacu kepada bentuk-bentuk kebebasan dan kehendak-Nya akan keragaman untuk dijaga dengan baik. Bagaimana agama pula sangat melarang akan perpecahan satu sama lainnya.

Tentu selain menjadikan nilai atau prinsip kesadaran akan keshalihan spiritual menuju keshalihan sosial. Agama juga memiliki ruh penting akan semangat kecintaan terhadap tanah air. Sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah fil Ard. Artinya, mandat akan (penerus) di muka bumi ini adalah bentuk-bentuk kesadaran “materil’ yang harus dimunculkan untuk mencintai tanah airnya. Agar terhindar dari kerusakan alam dan perpecahan sosial.

Sebagaimana yang diakibatkan oleh dakwah-dakwah yang mementingkan “ego” beragama. Sehingga melanggar hak prerogatif kehendak-Nya. Padahal, tidak ada paksaan dalam beragama. Tidak ada perpecahan karena agama dan tidak ada kebenaran untuk menghilangkan nyawa orang lain dengan mengatasnamakan agama. Karena agama adalah cinta kasih, keselamatan, kemanusiaan dan kepedulian.

This post was last modified on 7 Desember 2020 7:25 PM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Menyoal Hijrah Salafi; Hegemoni Eksklusivisme Komunal Berkedok Purifikasi Agama

Dalam beberapa tahun belakangan kita menyaksikan sebuah fenomena baru dalam lanskap keislaman di Indonesia. Yakni…

22 jam ago

Menelaah Visi Hijrah: Dari Persaudaraan Sempit-Fanatik Menuju Persaudaraan Kebangsaan

Setiap tahun baru Islam tiba, umat Muslim diingatkan pada satu peristiwa agung dalam sejarah Islam: hijrah…

22 jam ago

Refleksi Tahun Baru Islam 1447 Hijriah; Meneladani Cara Nabi Muhamad Membangun Kota Madinah yang Majemuk

Tahun Baru Islam 1447 Hijriah menjadi momen penting untuk merenungkan kembali makna hijrah dalam kehidupan…

22 jam ago

Hijrah Perilaku Digital: Dari Kubangan Provokasi Menuju Kejernihan Literasi

Dalam konteks dunia modern yang serba digital, makna hijrah perlu dimaknai ulang secara lebih relevan.…

4 hari ago

Hijrah Digital; Mempertebal Hubbul Wathan di Era Kecerdasan Buatan

Transformasi digital mengubah seluruh lanskap kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam konteks beragama. Bagi umat Islam,…

4 hari ago

Hijrah Menjadi Muslim Pancasilais

1445 tahun yang lalu, Nabi Muhammad berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib yang kelak bernama Madinah.…

4 hari ago