Narasi

Agama dan Visualisasi Ghiroh Bernegara

Beragama dalam ruang lingkup kebangsaan kita merupakan keniscayaan. Agama merupakan penanda identitas personal maupun komunal yang dilakukan oleh seseorang agar dirinya diakui. Relasi yang terbangun diantara umat beragama baik yang seiman maupun tidak setidaknya memberikan gambaran bahwa keberagaman itu fitrah. Dalam kitab suci pun, khususnya Al Qur’an cukup gamblang memberikan lambaran penjelasan dimana manusia diciptakan dengan karakter perbedaan baik merujuk pada identitas fisik (laki dan perempuan), etnis/suku, agama, negara, dan lain-lain. Penerimaan manusia atas fitrah keberagaman ini merupakan salah satu bentuk penghambaan yang fundamen atas keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan  mengingkari fitrah adalah bentuk kekufuran dan perlawanan atas Nya.

Pemahaman yang paripurna tentang keberadan kita sebagai manusia yang diciptakan beragam akan mendorong pemikiran yang terbuka pada setiap perbedaan. Konteks harmoni dan keselarasan justru akan tercipta ketika ruang-ruang perbedaan berjalan beriringan tanpa harus saling menonjolkan siapa aku dan siapa kamu. Menjadi pribadi / komunitas yang pluralis sudah seharusnya melekat kuat sehingga membentuk pemahaman yang benar terkait pluralisme. Dalam realitas sosial di ruang publik, seringkali dijumpai masih salahnya pemahaman publik tentang pluralisme. Kesalahpahaman yang paling sering terjadi yakni bahwa pluralisme dimaknai sebagai semua ajaran agama adalah benar atau hanya satu agama saja yang benar. Padahal konstruksi konsep pluralisme tidaklah begitu, pluralisme tidak lain merupakan sikap atau pandangan yang menjunjung tinggi adanya perbedaan dalam masyarakat yang multikultural (Kunawi Basyir, Pluralisme Keagamaan, 2017).

Membangun Perspektif Ghiroh

Pemahaman yang benar tentang apa itu pluralisme tentu akan membawa sikap pandang dan perilaku benar. Kebenaran perilaku ini tidak hanya dilakukan oleh seseroang pada ruang skala sosial kecil, akan tetapi juga dalam ruang lingkup yang lebih besar yakni bernegara. Disinilah sebenarnya tumbuh ghiroh untuk membangun kebersamaa, harmoni, dan keadilan tanpa memandang status sosial sebagaimana nasehat bijak, “jika tidak bersaudara dalam keimanan (agama) kita bersaudara dalam kemanusiaan”. Dengan kata lain, nash-nash agama selalu membawa misi kemanusiaan dan tidak membuka kesempatan bagi hadirnya perilaku intoleran dan menyimpang.

Secara sosiologis, kemunculan perilaku untuk membela atau melawan sesuatu \ secara sederhana bisa didefinisikan sebagai ghiroh, tentunya dalam hal ini membaca kata perlawanan harus ditarik pada peristiwa yang kontekstual dan benar. Buya Hamka dalam bukunya “Ghiroh, Cemburu Karena Allah” mencoba menjelaskan bahwa ghiroh tidak lain merupakan rasa cemburu yang dimiliki oleh individu maupun kelompok sebagai sebuah cerminan dari keimanan dan keyakinannya dalam beragama. Pada konteks ini ghiroh ditempatkan pada perspektif yang positif dimana rasa tersebut dipergunakan untuk menjaga dan melindungi marwah (kehormatan) agamanya. Persoalannya kemudian, ada sebagian dari masyarakat yang kemudian mengartikulasikan ghiroh tersebut dalam perilaku-perilaku yang jauh sekali dari sikap menjaga kehormatan agama. Maka tidaklah mengherankan jika ada kelompok-kelompok tertentu dengan mengatasnamakan agama kemudian menistakan, menghina, dan merusak tempat-tempat ibadah.

Ghiroh atau rasa cemburu dalam perspektif religiusitas merupakan suatu keniscayaan, pun dalam konteks tertentu hal tersebut sangat dibutuhkan. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa melepaskan diri dari keberpihakannya atas apa yang diyakininya, maka cukup beralasan apa yang dikatakan oleh Buya Hamka bahwa ghiroh adalah jiwa dari gambaran keber-agama-an seseorang, maka jika ghiroh itu hilang sama halnya ia telah kehilangan jiwa alias mati. Menelaah dinamika sosial dalam masyarakat pluralis sebagaimana lukisan masyarakat Indonesia, keberadaan ghiroh pada diri seseorang atau kelompok tentunya sangat dibutuhkan. Lalu konteks kebutuhannya dimana?, tidak lain ada pada bagaimana ghiroh tersebut diimplementasikan untuk menjaga marwah negara, atau dengan kata lain muncul ghiroh bernegara.

Visualisasi Bernegara

Tidak bisa kita pungkiri, terlepas dari lahirnya ghiroh beragama seseorang, satu hal yang bisa jadi saat ini sedang kita alami yakni ketiadaan ghiroh terhadap negara. Padahal ghiroh bernegara inilah yang menjadi kunci atas penyelesain konfik horisontal saat ini, yang selalu saja mengedepankan isu SARA sebagai bara apinya. Kelemahan atau kurangnya komitmen untuk menjaga ghiroh bernegara salah satunya juga ditandai dengan ketidakseriusan kita untuk memahami apa itu perbedaan. Selama ini kita selalu berbicara secara intelektual atas fenomena diskriminasi, disintegrasi, ketimpangan gender, dan persoalan keadilan yang selalu berat sebelah, namun dalam realitasnya tidak sedikitpun merefleksi dalam sikap dan perilaku. Maka tidaklah mengherankan jika reaksi massa dalam menyikapi isu SARA lebih mengedepankan perilaku-perilaku yang mengarah pada kekerasan dan penistaan.

Pintu keluar dari persoalan ini sebenarnya sederhana yakni dengan kembali pada Pancasila dan menempatkan ghiroh keber-agama-an kita sebagai bagian dari ghiro bernegara. Dan tentunya solusi yang sederhana ini dalam realitasnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Justru disinilah kemudian keyakinan kita dalam berbhinneka sedang diuji, dan sudah sepatutnya bangsa ini memperjuangkan apa yang sudah diyakini. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menjaga keutuhan NKRI. Pun, sebelum negara ini lahir, kita sudah belajar dengan begitu baik soal perbedaan, kita sudah belajar dengan baik soal menghormati keyakinan, dan kita sudah memahami dengan baik apa yang menjadi hak asasi dari seseorang, meskipun dalam nalar tersebut bukan tanpa konflik, justru karena itulah bangsa ini harus menjadi bangsa pembelajar.

Epilog

Ghiroh bernegara adalah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pun dalam dinamika sosio-kultural masyarakat Indonesia yang dinamis dan pluralis. Ini adalah PR bersama seluruh elemen bangsa, jangan sampai ghiroh tersebut hilang sehingga membuka peluang oknum yang tidak bertanggungjawab untuk mengambil keuntungan dari carut marutnya persaudaraan kita. Maka bernegaralah dengan cerdas.

This post was last modified on 23 Maret 2021 2:00 PM

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

8 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago