Narasi

3 Rukun Kesalehan Bernegara

Ada semacam anggapan, semakin religius seseorang, semakin intoleran dia terhadap liyan. Atau semakin religius seseorang semakin dia tidak taat terhadap (hukum) negara. Anggapan itu tentu salah. Sebab fakta di lapangan menunjukkan, bahwa banyak orang yang taat agama sekaligus taat bernegara. Atau bukankah dalam agama itu juga ada perintah taat pada ulilamri, yakni pemerintah, yang notabenenya adalah refresentasi dari negara.

Memang betul, –dan ini juga fakta –ada sebagian orang yang semakin religius, dia semakin tidak taat bernegara. Tetapi religius di sini pasti religius sempit, yang hanya dimaknai sebagai ibadah ritual semata. Bukankah beragama itu bukan hanya sekadar ibadah ritual saja?

Kesalehan beragama mempunyai keherensi dan korespondensi dengan kesalehan bernegara. Keduanya adalah ibarat dua sisi koin mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Keduanya berada dalam satu tarikan nafas. Memisahkan keduanya, sama seperti memisahkan ikan dari air, atau air tanpa ikan.

“Agama adalah dasar, negara adalah pelindung. Agama tanpa pelindung akan hancur. Negara tanpa dasar akan rusak.” Demikian kurang lebih ungkapan pepuler yang dinukil dari Imam Ghazali. Dengan demikian, kesalehan bernegara mensyaratkan juga kesalehan beragama. Keduanya adalah satu paket.

Lantas, bagaimana agar kesalehan bernegara itu bisa terwujud? Setidaknya ada tiga rukun utama yang harus dipenuhi supaya seseorang disebut saleh bernegara, yang ini nantinya juga dilegitimasi oleh agama sebagai sebuah bentuk kesalehan beragama.

Menaati Hukum

Rukun pertama adalah ketaatan terhadap hukum. Menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam bernegara. Tidak meanggap konstitusi itu bertentangan dengan agama, justru kedua saling memberdayakan.

Ketaatan terhadap hukum bisa diikur dengan sejauh mana dia menjalankan hukum itu dalam kehidupan nyata. Hukum tidak dianggap sebagai pengekang, melainkan sebagai sarana untuk memberikan ketertiban umum.

Jika boleh diibaratkan, negara tanpa ada kepatuhan terhadap hukum, sama dengan jalan raya tanpa ada lampu merah. Semua orang ingin maju duluan. Semua orang merasa paling berhak di depan. Semua orang pengen melintas dengan cepat. Apa yang terjadi? Tabrakan dan bahaya lainnya. Itu sudah pasti.

Akan tetapi, jika ada hukum dan kepatuhan. Jalan jadi lancar. Tidak ada tabrakan. Perjalanan menjadi selamat. Hukum dalam konteks lampu merah itu, bukan menjadi pengekang dan membuat manusia susah. Justru sebaliknya, hukum membuat aman dan nyaman.

Merawat Kebhinekaan

Rukun yang kedua dari kesalehan bernegara adalah merawat perbedaan. Adanya sikap bahwa dalam bernegara, kita tidak hidup sendirian. Warga negara itu plural. Sukunya banyak. Budayanya beragam. Bahasanya ribuan. Agamanya tidak satu.

Keberagaman dan perbedaan itu adalah suatu fakta yang harus dirawat bersama. Ia harus dijadikan sebagai kekuatan. Kekuatan yang melahirkan persatuan. Bukankah semboyan “satu dalam keragamannya, beragam dalam kesatuannya” itu bisa disematkan kepada Indonesia?

Kesadaran bahwa negara mempunyai warga yang beragama dan harus memperlakukannya secara beragama pula, adalah suatu keniscayaan. Maksudnya, negara harus berlaku adil dan proporsional. Memberikan hak sesuai dengan hak masing-masing.

Pun demkian dengan warga negara, harus melihat warga lain sebagai saudara. Meskin berbeda secara agama, tidak sama secara suku, berlainan bahasa, tetapi ikatan kewargaan, sama-sama anak bangsa, maka kita adalah saudara.

Hanya dengan kesadaran bahwa seseorang hidup dalam kemajemukan yang bisa melahirkan adanya perawatan terhadap kebhinekaan.

Memprioritaskan Kepentingan Umum

Rukun terakhir adalah memprioritaskan kepentingan umum. Kemaslahatan bersama harus dijadikan sebagai dasar dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku. Kepentingan umum yang dimaksud di sini adalah kepentingan semua untuk semua, bukan hanya kelompoknya saja.

Adanya sikap untuk memprioritas  kemaslahan umum, maka setiap warga negara tidak tega untuk menyebar hoax, ujaran kebencian, rasisme kepada yang lain. Sebab itu akan merusak ketertiban umum.

Kesadaran bahwa kemaslahatan umum itu harus dijaga bersama, bukan hanya oleh petugas yang berewenang adalah suatu keniscayaan. Ada anggapan –dan ini mudah kita jumpai di masyarakat –seolah-olah yang wajib menjaga ketertiban umum itu hanya petugas yang berawajib.

Padahal, itu adalah tugas bersama. Tugas kolektif yang wajib bagi semua. Merawat ketertiban umum salah satu kuncinya adalah menjadikan kamaslahatan umum sebagai prioritas. Ketiga rukun di atas bersifat kumulatif. Dalam arti harus ada secara bersamaan. Mengabaikan salah satunya akan terjadi ketimpangan. Ketiga rukun ini, semuanya dilegimisai agama. Agama mengajarkan untuk patuh terhadap hukum, menghormati orang lain yang berbeda, dan menjadikan al-maslahah al-‘ammah sebagai pijakan.

This post was last modified on 23 Maret 2021 2:06 PM

Hamka Husein Hasibuan

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

12 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

12 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

12 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

12 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago