Narasi

AI yang Mengubah Segalanya dan Bagaimana Santri Menyikapinya?

Dalam arus deras perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia hadir dalam gawai, media sosial, sistem rekomendasi konten, hingga algoritma yang diam-diam memengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat dalah kehidupan sehari-hari. 

Dunia digital tidak lagi sekadar ruang hiburan, tetapi juga menjadi arena pertempuran ideologi. Di tengah kondisi ini, santri tidak bisa hanya bertahan sebagai penjaga tradisi, tetapi harus tampil sebagai pejuang digital yang melakukan jihad intelektual di ruang maya. Fanatisme virtual, yang disebarkan melalui platform digital, menjadi musuh baru yang menuntut santri untuk bertransformasi tanpa kehilangan akar keilmuan pesantren.

Perubahan zaman telah menggeser medan jihad dari medan fisik ke ruang intelektual dan digital. Sebagaimana para ulama terdahulu mengangkat pena melawan kebodohan dan penjajahan, santri era AI harus mengangkat literasi digital dan pemikiran moderat untuk melawan penyebaran kebencian. Fanatisme virtual kini tidak hanya menyasar kelompok militan, tetapi juga anak muda, remaja, bahkan anak-anak melalui game online dan medsos. 

Konten-konten radikal yang dikemas sedemikian rupa sering kali diselipkan dalam narasi heroisme, romantiisasi perang suci, hingga skenario imajiner tentang kejayaan khilafah transnasional yang tidak sesuai dengan cita-cita kebangsaan. Dalam konteks ini, jihad santri bukan tentang lagi angkat senjata atau menebar permusuhan, tetapi tentang menjaga kesucian akidah dan merawat kemanusiaan dengan jalan ilmu dan akhlak yang penuh keteladanan.

Jihad digital adalah perjuangan melawan kebatilan informasi, virus kebencian, dan ideologi kekerasan di dunia maya. Ketika AI membantu algoritma memetakan preferensi pengguna, maka konten ekstremis yang dikonsumsi seseorang akan diperkuat dan diperbanyak dalam linimasa mereka. Di sinilah peran santri menjadi penting—mengimbangi pengaruh buruk algoritma dengan narasi keislaman yang damai, relevan, logis, dan membumi. 

Dalam kondisi seperti sekarang, santri tidak cukup hanya bisa membaca kitab kuning, tetapi juga harus mampu “membaca” algoritma agar mampu masuk ke ruang yang sama dengan para penyebar hoaks dan paham radikal. Pesantren sebagai pusat peradaban Islam Nusantara memiliki fondasi kokoh berupa nilai tawasut (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan i’tidal (adil). Nilai-nilai ini selama ratusan tahun menjadi benteng sosial yang melindungi masyarakat dari perpecahan. Namun, nilai luhur ini akan kehilangan relevansinya jika tidak diterjemahkan ke dalam bahasa digital yang dapat menjangkau generasi muda.

Oleh karena itu, santri harus mampu mengemas nilai rahmatan lil ‘alamin dalam bentuk konten kreatif, seperti video pendek, podcast, tulisan reflektif, atau bahkan game edukatif. Jihad digital bukan sekadar menyebarkan ceramah panjang, tetapi menghadirkan nilai Islam dalam bentuk yang menarik dan mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat. 

Santri era baru harus mewarisi dua hal secara seimbang: keautentikan turats (warisan keilmuan klasik) dan kecakapan literasi digital. Jika masa lalu ditandai dengan santri yang tampil di medan juang fisik, hari ini santri harus sanggup berjihad di kolom komentar, ruang debat digital, dan diskursus global dengan argumen yang cerdas dan akhlak yang mulia. Musuh mereka bukan lagi penjajah yang terlihat, tetapi narasi kebencian yang tak kasat mata. 

Untuk itu, pesantren harus membekali santri tidak hanya dengan kitab fiqih dan tauhid, tetapi juga dengan keterampilan berpikir kritis, etika digital, serta kemampuan memverifikasi informasi. Dengan demikian, santri tidak hanya menjadi penjaga tradisi, tetapi juga arsitek peradaban masa depan yang mampu mengalahkan fanatisme virtual di era AI. 

 

Alfie Mahrezie Cemal

Recent Posts

Adab dan Fitrah Santri Menghadapi Era Digital

Pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya, Indonesia merayakan Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap…

10 jam ago

Santri Menatap Panggung Global

Santri sering dipersepsikan secara simplistik hanya sebagai penjaga tradisi, tekun mengaji di pesantren, dan hidup…

10 jam ago

Memviralkan Semangat Moderasi ala Pesantren di Media Sosial; Tantangan Jihad Santri di Era Virtual

Di era ketika jari-jemari menggantikan langkah kaki, dan gawai kecil mampu menggerakkan opini dunia, ruang…

1 hari ago

Sejak Kapan Jihad Santri Harus Mem-formalisasi “Hukum Tuhan”?

  Narasi "jihad adalah menegakkan hukum Allah" sambil membenarkan kekerasan adalah sebuah distorsi sejarah yang…

1 hari ago

HSN 2025; Rekognisi Peran Santri dalam Melawan Radikalisme Global

Hari Santri Nasional (HSN) 2025 hadir bukan hanya sebagai ajang peringatan sejarah, tetapi sebagai momentum…

1 hari ago

Majelis Nurul Legend; Metode Dakwah Santri Berbasis Game Online

Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…

2 hari ago