Narasi

Akankah NU dan Muhammadiyah Menjadi Kiblat Ormas Islam di Indonesia?

Belum lama ini, Buya Syafii Maarif menuangkan gagasannya di Kompas yang berjudul “Pesan untuk Muhammadiyah dan NU. Membaca tulisan tersebut pada gilirannya menggugah hati saya untuk terus merawat konsensus yang telah dirajut oleh para ulama dan umara (pemerintah) Indonesia. Adapun hasil konsensus yang dimaksud yakni, lahirnya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) beserta Pancasila dan UUD 1945. 

Akan tetapi, dengan kemunculan kelompok-kelompok radikal ekstrimis dan organisasi masyarakat yang mengatasnamakan Islam, konsensus tersebut telah goyah. Pasalnya, mereka tak hanya sekedar menjual ideologinya melainkan, mereka hendak mengganti ideologi bangsa Indonesia. 

Harus diakui, dengan hadirnya ormas seperti HTI dan FPI citra Islam semakin buruk. Alih-alih ingin membela Islam yang terjadi justru sebaliknya. Maka, di tengah krisis dan citra Islam yang buruk di pentas nasional, yang sebagian didominasi oleh tindakan kelompok radikal ekstrimisme dan konflik sektarian, di samping oleh ormas Islam sendiri, maka kehadiran Islam yang dipresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah mampu menjadi oase dan bahkan menjadi kiblat baru bagi masa depan Islam di bumi Pertiwi. 

Yang menjadi pertanyaan, mampukah NU dan Muhammadiyah menjadi kiblat ormas Islam di Indonesia?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya kita berpijak pada tulisan Buya Syafii tadi. Jika kita amati, tulisan tersebut lahir sebagai peringatan kepada NU dan Muhammadiyah agar tidak terkapar oleh ideologi impor atau ideologi transnasional yang pada gilirannya ingin merongrong kedaulatan negara Indonesia. 

Di samping, agar generasi dari kedua ormas tersebut tidak larut dalam polemik pembubaran FPI, yang tentunya membikin hati umat Islam khususnya simpatisan FPI dari kalangan NU dan Muhammadiyah tak bergeming. Di satu sisi, mereka harus tunduk pada sikap Pimpinan Pusat (PB) ormasnya yang sepakat atas dibubarkannya FPI oleh pemerintah. Di lain sisi, mereka sudah terlanjur simpati pada FPI. 

Harus diakui, dengan meminjam bahasanya Mun’im Sirry (2021), pembubaran FPI oleh pemerintah merupakan kebijakan dilematis. Di satu sisi, kebebasan berekspresi FPI seharusnya dijamin dalam negara demokrasi. Jika anggota FPI melanggar hukum, mereka diadili secara hukum, dan tidak dibubarkan organisasinya. Di sisi lain, ideologi dan perilaku FPI menjadi ancaman bagi negara karena mereka kerap bertindak di luar hukum.

Terlepas dari itu, kembali pada tulisan Buya Syafii lagi, paling tidak ada beberapa pesan penting yang layak diaktualisasikan oleh NU dan Muhammadiyah, jika memang mau menjadi kiblat ormas Islam di Indonesia. Pertama, NU dan Muhammadiyah harus berpikir ala ke-Indonesia-an. Hal ini karena, diakui atau tidak, nilai-nilai ke-Indonesia-an sudah mulai terkoyak oleh intoleransi dan radikalisme-terorisme. Dengan kata lain, sebagai benteng utama maka kedua ormas ini harus mampu menangkal ideologi transnasional dan radikalisme-terorisme yang telah kehilangan perspektif keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. 

Kedua, NU dan Muhammadiyah perlu mendewasakan sikapnya dalam menghadapi isu-isu yang dapat mengandung salah paham. Adalah hal wajar karena spirit yang melatarbelakangi keduanya berbeda. Maka, tak ayal tak kala perbedaan kultur NU dan Muhammadiyah mampu menyulut ketegangan dan konflik horisontal serta ekslusi sosial. Hal tersebut terlihat terutama pada fase awal pembentukan keduanya, di mana gerakan pemurnian keagamaan ala Muhammadiyah secara aktif dan demonstratif mengkampanyekan perang melawan takhayul, bid’ah, dan kurafat (TBC). 

Terakhir, NU dan Muhammadiyah tidak boleh terjebak dalam paradigma “berebut lahan” kementerian. Artinya, NU dan Muhammadiyah harus tampil dan berfungsi sebagai tenda besar bangsa dan negara. Apalagi, sepanjang era reformasi, relasi NU dan Muhammadiyah nyaris tak ada gesekan. Jika kita lacak, indikatornya adalah keduanya memiliki misi yang sama yakni, meng-counter agenda gerakan transnasional atau ekstrimisme yang kerap mempertentangkan relasi Pancasila dan agama dan/atau ulama dan umara. 

Itulah pesan dan sekaligus harapan Buya Syafii Maarif. Hal yang sama telah disampaikan oleh Buya Syafii dalam buku berjudul “Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi”, kehadiran Muhammadiyah dan NU mampu menjadi oase dan kiblat bagi masa depan Islam di dunia. 

Akhirnya, terjalinnya relasi antara NU dan Muhammadiyah dalam menjaga kedaulatan negara maka pada akhirnya, NU dan Muhammadiyah mampu menjadi kiblat ormas Islam di Indonesia. Semoga. 

This post was last modified on 11 Januari 2021 11:43 AM

Saiful Bari

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

2 minggu ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

2 minggu ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

2 minggu ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

2 minggu ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

2 minggu ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

2 minggu ago