Narasi

Akar Perdebatan Politik Negara Islam dan Residunya di Masa Kini

Persoalan Islam dan Negara telah menjadi perdebatan politik sejak awal lahirnya Indonesia. Para tokoh Islam berjuang agar Islam tetap hidup dalam tatanan politik Indonesia, sementara pihak lain berpendapat bahwa Indonesia harus bersifat sekuler dan tidak boleh dikendalikan oleh satu agama tertentu.

Gagasan-gagasan tersebut semakin mengkristal pada tahun 1945 ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila kemudian dideklarasikan sebagai manifestasi dari nilai-nilai universal dan menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara satu agama tertentu, melainkan negara yang menjunjung tinggi kebhinnekaan dan persatuan. Namun pada kenyataannya, pertentangan itu tak pernah usai.

Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia tak pernah secara resmi mendeklarasikan diri sebagai negara Islam, Islam tetap memainkan peran utama dalam politik Indonesia. Partai politik Islam seperti Partai Masyumi dan Partai Nahdlatul Ulama memiliki pengaruh signifikan terhadap perpolitikan Indonesia yang baru seumur jagung. Namun, prinsip dan falsafah Indonesia baru benar-benar diuji ketika sebuah gerakan Islam politik militan muncul pada 1950-an yang menuntut pembentukan negara Islam.

Salah satu kelompok yang paling terkenal adalah Darul Islam (DI) yang memulai gerakan pemberontakan bersenjata untuk mencapai tujuan teologis mereka. Kelompok Islam ini memanfaatkan partai politik untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Gerakan DI melakukan pemberontakan melalui Tentara Islam Indonesia (TII) dan tersebar ke beberapa wilayah Indonesia, termasuk Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewirjo, Jawa Tengah dipimpin Amir Fatah, Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakkar, Aceh dipimpin Daud Beureueh, dan Kalimantan Selatan dipimpin Ibnu Hadjar. Pertarungan bersenjata pertama antara TNI dan TII terjadi ketika Pasukan Siliwangi (TNI) bergerak masuk ke Jawa Tengah dan berhadapan dengan Tentara Islam Indonesia.

Militansi ini dibentuk sebagai respon terhadap cita-cita sekulerisme yang diproyeksikan oleh para founding father. Organisasi politik NII kemudian merinci konstitusinya dalam Qanun Asasi yang telah disusun tahun 1948, setahun sebelum berdirinya NII. Konstitusi ini menyatakan bahwa NII adalah ‘anugerah dari Tuhan’ yang berarti ‘Negara Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala’ yang dianugerahkan kepada rakyat Indonesia (pasal 1 ayat 1). Negara menjamin pelaksanaan syariat Islam dalam masyarakat Islam dan kebebasan beribadah bagi pemeluk agama lain, menurut Pasal 1 ayat 3-4 konstitusi. Islam dinyatakan sebagai landasan dan dasar hukum NII dengan berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai kitab Undang-Undang tertinggi.

Di sisi lain, para pendukung Pancasila tak segan mempertahankan kepentingannya. Para tokoh yang beragama Kristen khawatir jika Islam menjadi falsafah negara, identitas selain Islam akan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Kekhawatiran Monunutu ini pada akhirnya beralasan karena NII memutuskan untuk mengambil jalur kekerasan untuk merealisasikan mimpi teologisnya. NII dinyatakan bubar setelah S.M. Kartosuwirjo ditangkap pada 1962. Kendati demikian, ide perjuangannya masih tetap eksis dipropagandakan kepada masyarakat oleh bekas pejuangnya hingga saat ini.

Terdapat dua asumsi pokok yang melandasi perbedaan pemikiran tentang hubungan   agama dan negara dalam konteks awal Indonesia; pertama, masalah hubungan politik  antara Islam dan negara muncul dan berkembang dari pandangan-pandangan yang        berbeda di kalangan pendiri republik ini tentang bagaimanakah Indonesia yang dicita-citakan; kedua, hubungan politik antara Islam dan negara yang kurang baik tidak   muncul dari doktrin Islam sendiri, melainkan dari bagaimana Islam diartikulasikan     secara sosio-kultural, ekonomis dan politis di Indonesia. Di satu sisi, memandang Islam yang formalistik dan di sisi lain memandang Islam secara subtansial.

Pandangan Islam yang legal formal yang cenderung eksklusif dalam negara terbukti banyak menimbulkan ketegangan dalam tatanan masyarakat yang bersifat heterogen secara keagamaan maupun kultur. Sedang pandangan Islam yang  substansial dan progresif lebih memberikan landasan universal yang relevan dalam membentuk hubungan antara Islam dan negara yang harmonis.

Selanjutnya, perbedaan pandangan tentang penyatuan atau pemisahan agama dan negara ini berpengaruh pada generasi baru para pemikir dan aktifis Muslim di Indonesia setelahnya. Hal itu tampak dalam pandangan mereka tentang corak negara dan bangsa  Indonesia dan posisi Pancasila sebagai falsafah negara. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai ajaran Islam dan konteks sosio keagamaan dan kultur bangsa Indonesia, para pemikir progresif dan moderat memutuskan mendukung paham Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di antara tokoh-tokoh  tersebut adalah Abdurrahman Wahid (Gus  Dur), Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid yang sering kali menyatakan bahwa konstruksi ideologis bangsa Indonesia yang ada  sekarang  harus  dipandang  sebagai  tujuan final umat Islam Indonesia.

Sebaliknya, kelompok-kelompok relijius konservatif yang merasa kepentingannya dikebiri melalui pelarangan NII kemudian ‘berganti baju’ menjadi Jemaah Islamiyah, Jamaah Ansharu Tauhid, Jamaah Ansharu Daulah, Majelis Mujahidin Indonesia, dan semacamnya. Di antara tokoh-tokohnya adalah Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar. Sebagai figur Muslim fundamentalis yang masih hidup, Abu Bakar Ba’asyir bisa menjadi inspirasi bagi kelompok radikal terorisme untuk tetap siaga melakukan aksi-aksi kekerasan sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulunya, NII. Hal ini tentu tidak kemudian menuduh Ba’asyir memprovokasi para kelompok itu untuk melakukan teror, tetapi figur dengan rekam jejak semegah Ba’asyir dapat menjadi simbol bahwa perjuangan implementasi syariat Islam di Indonesia belum mati.

Akhirnya, semua lini masyarakat harus sadar bahwa upaya perubahan sistem negara oleh kelompok radikal terorisme tampak masih berlanjut hingga masa kini. Propagandanya tidak lagi melalui orasi di mimbar-mimbar, melainkan melalui caption ringan di media sosial. Seorang mantan aktivis NII, sebagaimana dikutip dari islami.co, menceritakan bahwa salah satu narasi propaganda yang sering digunakan oleh kelompok terlarang ini adalah dengan menanamkan bahwa Islam sedang ditindas, dijajah, dan dimiskinkan.

Karena itu, masyarakat perlu berhati-hati terhadap model propaganda kelompok ini. Masyarakat dapat menjadi garda terdepan dalam melawan propaganda radikal terorisme untuk menciptakan ekosistem media sosial yang damai di tengah kebhinnekaan, bukan lahan subur bagi kelompok intoleran.

This post was last modified on 18 Desember 2023 11:41 AM

Gatot Sebastian

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

9 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

9 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

9 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago