Narasi

Akulturasi Budaya-Agama Membangun Peradaban Nusantara

Agama itu utuh dan menyeluruh. Tidak ada celah kehidupan yang luput dari teropongnya. Meskipun demikian manusia diberi kemerdekaan berdialektika dengan perkembangan zaman. Agama memberikan prinsip, rambu, dan pegangan fundamental saja.

Sudah menjadi sunnatullah bahwa peradaban nusantara di Indonesia ini terbangun dalam keberagaman budaya. Menyikapi keragaman budaya, Islam tidak eksklusif total sekaligus tidak inklusif secara berlebihan. Ia adalah realistis dan positif dalam menghormati cita rasa dan akal sebagai kodrat manusia. Selain memuaskan manusia untuk ekspresi rasa dan estetika, budaya juga diarahkan untuk membentuk utilitas. Karenanya Islam menghargai dinamika seni, baik musik, sastra, pertunjukan dan sebagainya. Ada dua prasyarat menerima dan melestarikannya, yaitu tetap pada koridor teologis dan memiliki kemanfaatan.

Perjalanan bangsa memberikan teladan bahwa peradaban nusantara terbangun melalui salah satunya akulturasi budaya dan agama. Adalah Wali Songo yang fenomenal mampu meletakkan pondasi akulturasi tersebut. Akulturasi ini tentu mesti dilestarikan dengan tetap berapa pada koridor toleransi. Secara positif, akulturasi budaya dan agama mesti dioptimalisasi dalam pembangunan bangsa.

Konsepsi Budaya

Manusia akan berkembang mengikuti waktu, sehingga budaya pun otomatis sifatnya dinamis. Koentjaraningrat (1984) mengungkapkan kebudayaan berupakan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia, didapat dengan belajar. Pangkal dari semua tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi, dan kekuasaan (White, 1969).

Budaya membutuhkan pondasi teologi. Manusia tanpa agama, papar Qardhawi (1999), laksana binatang buas dan jahat, dimana kebudayaan dan undang-undang tidak mungkin sanggup menghadapi dan menumpulkan kuku-kuku dan taringnya.

Salah satu produk kebudayaan yang terus eksis dan dinamis adalah ilmu pengetahuan.  Sebagai buah kebudayaan, ilmu pengetahuan sangat memungkinkan disalah gunakan, baik secara sadar maupun di bawah kesadaran budaya manusia (Rahardjo, 1999). “Zaman kita”, aku  Einstin, “dibedakan dari zaman-zaman terdahulu oleh adanya prestasi yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan serta penerapannya dalam teknologi. Siapa yang tidak menjadi bangga karenanya? Akan tetapi janganlah sampai lupa bahwa penguasaaan ilmu dan teknologi saja tidak akan menjamin tercapainya taraf kehidupan yang bahagia dan sejahtera” (Siswanto, 1996). Resah akan kenyataan ini, Einstin menekankan urgensi agama dan ilmu secara bersamaan dalam membentuk dan menumbuhkan kemakmuran.

Konstruksi Akulturasi

Beiringan dengan pembangunan sosial, budaya juga perlu dibangun. Pembangunan atau konstruksi  budaya adalah tindak lanjut untuk menjamin kelanjutan  dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan sosial. Sebagai dasarnya, budaya menumbuhkan kesadaran individu, makanya sangat berharap pada pembangunan individual.

Pembangunan budaya kesadaran kolektif, makanya butuh dihadirkan pembangunan sosial yang optimal. Ia memerlukan pula komitmen politis dan pengikat, baik hukum sosial maupun hukum formal. Masing-masing individu juga mememiliki tanggung jawab sosial dalam membudayakan sesuatu. Jika setiap komponen dan unsur berjalan optimal, maka pembangunan budaya akan menghasilkan gerakan-gerakan aplikatif dan penuh pemanfaatan. Budaya akan lahir pula dalam nuansa variatif, produktif dan dinamis, tidak monoton.

Akulturasi bukanlah pencampuradukan melainkan sinergi dan simbiosis. Keduanya tidak bisa dicampuradukkan, tetapi tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan. Budaya terus berkembang, sedang ajaran dasar agama tentu konstan dan final. Perkembangan budaya justru menjadi tantangan aktualisasi ajaran agama. Menjadi relijius tidak berarti menanggalkan budaya, dan menjadi berbudaya tidak berarti bertentangan (menistakan) agama.

Budaya nusantara dengan segala kebhinnekaan dan kompleksitasnya membutuhkan peran keagamaan. Keduanya yang akan menjadi ruh peradaban atau pembangunan bangsa.  Inilah modal kuat yang jarang dimiliki peradaban lain di dunia ini. Akulturasi yang terbangun kuat, damai, dan penuh toleransi menjadi salah satu kunci mengantarkan peradaban nusantara tampil terdepan dalam peradaban global.

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

Recent Posts

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

6 jam ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

10 jam ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

10 jam ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

1 hari ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

1 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

1 hari ago