Narasi

Ale Rasa Beta Rasa: Refleksi Cinta Kasih Lintas Entitas dari Timur

Di tengah lanskap Indonesia yang kaya akan keragaman, upaya merawat persatuan adalah sebuah tantangan yang harus dijaga sepanjang masa. Kondisi ini dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional jika tidak dikelola dengan baik, sehingga menuntut kita untuk mencari jawaban tidak hanya dari aturan formal, tetapi juga dari denyut kearifan yang hidup di tengah masyarakat. Dari timur Indonesia, tanah Maluku yang sarat sejarah, muncullah sebuah frasa yang terangkum dalam ungkapan sederhana “Ale rasa, beta rasa”.

Memaknai “Ale rasa, beta rasa” berarti menyelami sebuah praksis cinta kasih lintas iman yang otentik, yang memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menjaga Indonesia. Secara bahasa, “ale rasa, beta rasa” memiliki arti “kamu rasa, saya rasa.” Namun, secara filosofis, maknanya jauh lebih mendalam. Ia adalah sebuah pernyataan empati kolektif yang total. Ini menegaskan bahwa suka dan duka, sakit dan bahagia yang dialami oleh satu pihak, secara otomatis akan dirasakan dan ditanggung bersama yang terikat dalam satu janji.

Ale rasa, beta rasa mendorong sebuah rasa yang melahirkan solidaritas bersama tanpa syarat. Inilah fondasi dari cinta kasih yang tidak lagi tersekat oleh perbedaan teologis, melainkan menyatu dalam satu rasa kemanusiaan. Frasa ini bukan sekadar peribahasa, melainkan jantung dari Pela Gandong, sebuah pranata adat yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik yang udah mengakar di masyarakat adat Maluku (Malisngorar & Sugiswati, 2017).

Secara etimologis, “Pela” berarti suatu ikatan atau relasi perjanjian persaudaraan, sedangkan “Gandong” berarti saudara. Ikatan ini terjalin antar lintas entitas, lintas agama, lintas batas (borderless), dan kemudian disakralkan melalui sebuah sumpah yang tidak boleh dilanggar. Tujuannya adalah untuk mengikat rasa persatuan ke dalam hubungan yang permanen, yaitu hidup sebagai saudara sekandung (Malisngorar & Sugiswati, 2017).

Pela Gandong menjadi benteng moralitas dan kemanusiaan yang dapat meredam konflik antar sesama di Maluku. Ia adalah bukti hidup bahwa cinta kasih lintas iman bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah realitas yang dapat diwujudkan melalui komitmen pada ikatan persaudaraan.

Tentunya, tantangan bagi sebuah bangsa yang majemuk adalah bagaimana menerjemahkan semangat ini ke dalam konteks nasional yang lebih luas. Ini adalah panggilan untuk setiap individu, tokoh masyarakat, dan pemimpin untuk tidak hanya berbicara tentang persatuan, tetapi juga untuk “merasakan” denyut nadi kehidupan saudara sebangsa. Karena pada akhirnya, merawat Indonesia adalah merawat setiap janji persaudaraan atas satu bangsa yang ada di dalamnya.

Andri Bima

Recent Posts

Membongkar Misi JAD; Menjadikan Nusantara Sebagai Provinsi Resmi ISIS

Jamaah Ansharud Daulah alias JAD tidak bisa dianggap sepele. Organisasi yang didirikan oleh Oman Abdurrahman…

5 jam ago

Benarkah Islam Nusantara dan Moderasi Beragama Adalah Agenda Barat untuk Melemahkan Islam?

Kelompok ekstremis itu bergerak di dua ranah. Ranah gerakan yang fokus pada perencanaan dan eksekusi…

9 jam ago

Migrasi ISIS ke Ranah Virtual: Bagaimana Ikonografi Menjadi Medium Pencitraan Ekstremisme?

Beberapa hari lalu, Detasemen Khusus 88 menangkap empat terduga terorisme di Sumatera Utara. Keempatnya diketahui…

9 jam ago

Game Online dan Soft Propaganda: Waspada Cara Baru Meradikalisasi Anak

Perubahan strategi terorisme di Indonesia dan secara global telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Mereka…

3 hari ago

Densus 88 Tangkap 4 Pendukung ISIS Penyebar Propaganda Terorisme di Medsos; Bukti Terorisme Masih Nyata

Penangkapan empat pendukung ISIS di Sumatera Barat dan Sumatera Utara oleh Detasemen Khusus (Densus) 88…

3 hari ago

Strategi Perlindungan Ketika Game Online Menjadi Gerbang Radikalisme

Di tengah riuhnya perkembangan teknologi digital, terselip kenyataan pilu yang dialami oleh anak generasi muda…

3 hari ago