Analisa

Anak dalam Jejaring Teror, Bagaimana Menghentikan?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan seperti anak, remaja dan perempuan. Di tengah landainya aksi teror secara terbuka, kelompok teroris mengubah strategi dari kekerasan fisik di ruang publik menjadi konsolidari dan kaderisasi di bawah tanah melalui propaganda, rekrutmen dan indoktrinasi, terutama menyasar kelompok rentan.

Fenomena perubahan strategi tersebut harus membuka mata kesadaran kita bahwa keterlibatan anak dalam jejaring teror bukanlah fiksi, melainkan kenyataan tragis yang telah berulang kali terjadi di Indonesia. Setidaknya, ada dua kategori yang bisa dibaca dalam melihat keterlibatan anak dalam jaringan teror. Pertama, anak yang dengan sengaja dilibatkan oleh orang tuanya yang sudah terafiliasi dengan jaringan terorisme. Kategori ini sudah banyak terjadi di Indonesia.

Kita tentu saja tidak bisa melupakan kasus yang sangat fenomenal, aksi bom satu keluarga (family bomber) di Surabaya  di tiga lokasi gereja berbeda pada Mei tahun 2018. Peristiwa ini sangat memilukan dan juga tercatat dalam sejarah dunia sebagai kejadian pertama kalinya pelibatan satu keluarga dalam aksi teror. Pemandangan yang sangat memilukan adalah ketika seorang ibu yang menggandeng anaknya yang berusia 9 Tahun dan 12 Tahun memasuki gereja dan meledakkan diri.

Tidak hanya sekali, pada minggu yang sama, satu keluarga di Surabaya juga menerobos masuk markas Polrestabes Surabaya. Keluarga ini membawa tiga anak dan meledakkan diri di depan pos penjagaan polisi. Satu keluarga tewas mengenaskan, hanya satu anak yang berhasil diselamatkan oleh petugas kala itu.

Kejadian yang tidak kalah memilukan terjadi di Sumatera Utara. Pada tahun 2019, aparat kepolisian berhasil meringkus salah seorang teroris di Sibolga, Medan. Saat suaminya tertangkap, istri dan anaknya masih berada di dalam rumah. Aparat dan tokoh masyarakat membujuknya selama berjam-jam agar bisa menyerahkan diri. Rabu dini hari kala itu, sang ibu lebih memilih meledakkan diri bersama anaknya yang masih berusia 2-3 tahun dari pada menyerah pada aparat yang telah dianggap sebagai musuhnya.

Anak dalam beberapa kasus tersebut adalah korban. Entah karena dipaksa, dibohongi atau diiming-imingi, anak telah menjadi korban dari doktrin sesat yang mereka peroleh dari jaringan orang tuanya. Doktrin ini sejalan dengan garis besar perjuangan ISIS untuk melibatkan anak dan perempuan. Propaganda yang dibangun adalah memberikan semangat juang: jika anak saja rela beraksi kenapa orang dewasa enggan melakukannya.

Kategori kedua, anak yang memilih jalan sendiri yang tidak punya kaitan dengan keluarga jaringan teror. Umumnya anak seperti ini mengalami proses radikalisasi secara mandiri yang sering disebut swa-radikalisasi. Kasus anak yang baru lulus SMA di Medan yang mengalami radikalisasi secara online, belajar merakit bom secara mandiri secara online dan melakukan aksi adalah contoh yang nyata kerentanan anak yang bisa dipengaruhi melalui perangkat digital.

Kita tentu juga masih ingat dengan pelaku Bom JW Marriot 2009. Dani Dwi Permana adalah seorang anak yang beranjak dewasa. Ia baru lulus dari SMA dan konon juga belum sempat mengambil ijazah di sekolahnya. Ia terpengaruh lingkungan sosial terdekatnya yang memberikan rasa kebersamaan dan identitas heroik. Dalam rekaman video yang tersebar kala itu, Dani menegaskan aksi bom bunuh diri bukan bentuk keputusasaan, melainkan mahar berharga untuk menebus 72 bidadari.

Dalam dua kasus terakhir itu, sekali lagi anak adalah korban dari doktrin yang menyesatkan.

Memetakan Kerentanan Radikalisasi Anak

Dalam pandangan sosiologis, anak adalah pembelajar terbaik terhadap lingkungannya. Anak tumbuh melalui observasi, imitasi dan penguatan diri dengan belajar pada lingkungan dan unit sosial paling dekat. Keluarga, pertemanan dan figur otoritatif yang dikagumi adalah sumber inspirasi anak.

Secara teoritis, jika mengikuti logika social learning ini, anak yang tumbuh dalam keluarga atau lingkungan yang terafiliasi atau setidaknya tercemari ideologi radikal terorisme-bisa jadi eks narapidana teror atau simpatisan-akan mudah menyerap ideologi dan mengadopsi cara pandang ekstrem. Mereka menemukan pahlawan yang dikagumi adalah pelaku teror yang dalam benak distortif anak, mereka adalah “para pejuang”.

Tetapi, kita juga harus mewaspadai fenomena penyimpangan anak karena beruntunnya tekanan sosial (social strain) yang mereka alami. Anak dengan tekanan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, bullying dan  kondisi trauma kekerasan sejatinya berada dalam posisi yang sangat rentan. Kelompok teroris datang sebagai penyelamat dengan memberikan identitas baru dengan menyalurkan kegelisahan dan kemarahan sosial yang sedang anak alami.

Mereka, kelompok teroris, memberikan tujuan simbolik dengan narasi penuh heroik. Narasi yang biasa dibangun untuk memberikan identitas baru terhadap anak di tengah tekanan psiko-sosial yang sangat berat itu adalah “kita korban konspirasi”, “kita golongan yang terdzalimi” “kita adalah pejuang terasing” dan labelisasi heroik lainnya.

Keberhasilan kelompok teroris membangun identitas baru yang ekslusif tersebut akan ditangkap sebagai sebuah ruang yang nyaman bagi anak dalam mendapatkan harga diri (self-esteem). Mereka mulai mengadopsi pola pikir dikotomik antara “kita vs mereka” dan antara “kawan dan lawan”. Pada saat yang sama proses “othering”, mendehumanisasi atau mendemonisasi kelompok luar (yang berbeda) digunakan sebagai basis justifikasi moral terhadap tindakan kekerasan.

Tentu saja, terakhir kita tidak bisa melupakan perangkat digital dalam mempercepat proses radikalisasi. Dalam kasus anak Medan yang beraksi secara mandiri, media sosial telah mengamplifikasi proses radikalisasi yang tadinya terjadi secara konvensional beralih pada proses radikalisasi online. Maka, tidak mengherankan jika kelompok teroris telah merancang dengan cukup cerdas dan profesional konten yang menarik minat anak dan remaja.

Jaga Anak, Jaga Indonesia

 Pola eksploitasi anak dalam jaringan terorisme baik melalui indoktrinasi keluarga atau unit sosial terdekat, tekanan psiko-sosial dan rekrutmen digital memerlukan pendekatan kolaborasi multi sektoral. Pencegahan yang efektif harus dilakukan dengan cara membangun ketahanan anak dan keluarga sejak dini.

Kita harus menyamakan persepsi bahwa kasus anak dalam jejaring terorisme harus meletakkan mereka sebagai korban. Korban dari situasi dan kondisi keluarga yang tidak kondusif, lingkungan sosial yang represif, dan ruang digital yang tidak representatif bagi tumbuh kembangnya anak. Karenanya, pendekatan yang tepat bukan sekedar mengadili dan menghakimi, tetapi proses pendampingan intensif melalui,rehabilitasi dan re-edukasi.

Tentu saja, mencegah anak dari jejaring teror bukan tugas satu lembaga, tetapi membutuhkan kerja yang kolaboratif, lintas sektoral dan berlapis. Karena itulah, ada beberapa langkah penting untuk menjaga anak dari cengkraman jejaring teror.

Pertama, penguatan deradikalisasi berbasis ketahanan keluarga eks-narapidana terorisme (napiter). Program deradikalisasi tidak hanya menyasar pada eks napiter semata, tetapi juga harus melibatkan keluarganya. Orang tua dan terlebih anak dalam keluarga membutuhkan program re-edukasi yang mampu menanamkan nilai toleransi dan kebhinekaan.

Program deradikalisasi bisa dikatakan berhasil jika tidak hanya menyadarkan pelakunya, tetapi berdampak pada keluarganya. Pada kasus Bom Sibolga, Medan, ayahnya telah menyerahkan diri, tetapi istrinya yang lebih militan memilih meledakkan diri bersama anaknya. Perempuan sebagai istri harus mendapatkan pendampingan deradikalisasi yang lebih optimal karena ia akan selalu bersentuhan dengan anak.

Kedua, penguatan ketahanan anak di lingkungan sekolah.  Sekolah harus menjadi ruang yang nyaman dan aman bagi anak-anak dari berbagai tekanan psiko-sosial. Sekolah harus menjadi lingkungan yang dapat mendukung kreativitas anak yang beragam dan  meningkatkan rasa percaya diri mereka. Karena itulah membersihkan bullying dan kebijakan diskriminatif di sekolah menjadi sangat penting agar anak merasa bagian dari lingkungan yang tidak diabaikan.

Ketiga, penguatan literasi digital bagi anak. Kita memang membutuhkan peningkatan anak dalam bidang sains dan teknologi digital. Tetapi, yang tidak kalah pentingnya kita membutuhkan kurikulum literasi digital yang berbasis agama dan kebangsaan. Anak adalah digital native yang lahir dan besar dengan perangkat digital.

Fakta ini harus menyadarkan kita bersama bahwa pedoman dan aturan berinteraksi di dunia digital sudah mutlak menjadi kebutuhan yang harus ditanamkan pada anak. Bukan sekedar etika dan norma bergaul di lingkungan sosial, tetapi digital native membutuhkan perangkat etis, norma dan aturan yang diajarkan sejak dini dalam bergaul di dunia digital.

Anak-anak hari ini adalah wajah Indonesia di masa depan. Jika hari ini kita lalai, esok mereka mungkin tumbuh dengan identitas yang retak, dunia batin yang penuh kebencian, dan logika yang tidak sehat dan menyimpang. Narasi besar dalam menjaga anak dari jejaring terorisme adalah sederhana : jangan biarkan anak membenci sebelum mereka sempat mengenal cinta. Jangan biarkan propaganda digital merebut akal sehat mereka sebelum kita sempat hadir sebagai pendamping setia.

Jika kita lalai hari ini, Indonesia akan kehilangan generasi terbaiknya di masa depan. Jaga anak, jaga Indonesia

This post was last modified on 26 Juli 2025 9:08 AM

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Peran Penting Orang Tua dalam Melindungi Anak dari Ancaman Intoleransi Sejak Dini

Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…

23 jam ago

Ma-Hyang, Toleransi, dan Kesalehan dalam Kebudayaan Jawa

urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…

23 jam ago

Petaka Takfiri-Bedah Narasi Pengkafiran Kelompok Radikal Teroris : Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 5 Juni 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

1 hari ago

Menimbang Pendidikan Anak: Benarkah Kurikulum Tahfizh Tersimpan Virus Intoleransi?

Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.…

2 hari ago

Sekolah Rakyat; Upaya Memutus Radikalisme Melalui Pendidikan

Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan…

2 hari ago

Ruang Perjumpaan Keragaman Anak Kian Menyempit: Dari Sekolah, Lingkungan, dan Gawai

Indonesia lahir dari rahim perbedaan. Ratusan suku, bahasa, agama, dan tradisi bersatu dalam satu entitas…

2 hari ago