Pagi ini, Kamis, 5 September 2024, muncul broadcast dengan mengatasnamakan Gerakan Mematikan TV dari Pukul 16.00-21.00. Isinya tentu seruan kewaspadaan umat Islam terhadap pelaksanaan Misa Akbar di GBK yang akan disiarkan secara live di seluruh stasiun televisi nasional. Mereka menganggap siaran ini sebagai ancaman dan bahaya bagi akidah umat Islam. Karena itulah, mematikan TV sebagai bentuk menjaga rumah tangga umat Islam agar tidak terpengaruh akidah umat lain. Begitulah bunyi pesan berantai yang tidak jelas asalnya.
Isu lain juga mulai bertebaran menghiasi media sosial merespon kebijakan pemerintah terkait himbauan terhadap stasiun TV untuk mengganti azan dengan peringatan running text atau tulisan berjalan sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat. Tak pelak, kebijakan himbauan ini menjadi isu yang digoreng dengan beragam sudut pandang oleh berbagai pihak.
Jika hendak berpikir jernih, sebenarnya dalam siaran live olahraga, terkadang azan juga diganti dengan hanya running text. Selama itu terjadi, masyarakat tidak pernah merasa keberatan. Minimal tidak ada yang memprovokasi.
Persoalan menjadi lain, ketika ini dihadapkan dengan kepentingan umat lain. Seolah penggantian siaran azan kali ini menunjukkan peniadaan azan. Padahal, bukan pelarangan azan di masjid yang tentu itu adalah bagian dari syariat, tetapi hanya siaran kumandang di TV yang bertepatan dengan rangkaian Misa secara live.
Provokasi sudah menjalar dan mewabah. Tak hanya jadi konsumsi masyarakat, bahkan anggota DPR pun harus berkomentar terkait kasus ini. Sungguh sangat sensitif persoalan agama di Indonesia jika tidak dipahami secara jernih dan arif.
Salah satu isu berkembang saat ini bukan sekedar masalah azan running text, tetapi persoalan ini diframing sebagai kekalahan umat Islam sebagai mayoritas terhadap minoritas. Narasi minoritas dan mayoritas ini misalnya muncul dan dikembangkan oleh Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaidi.
Ia menyayangkan adanya surat permohonan himbauan dari Kementerian Agama (Kemenag) perihal peniadaan azan Magrib di televisi dan diberlakukan secara running text. Menurutnya, ini bagian dari penyakit sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Bahkan ia berpendapat, mestinya jam penyiaran pidato Paus yang harus digeser dan tidak mengorbankan waktu siaran kumandang azan.
Penggantian siaran Azan Magrib dengan running text, menurut Muhyiddin, merupakan bentuk pemaksaan kehendak di negeri mayoritas Muslim ini. “Umat katolik yang masih minoritas saja sudah berani memaksakan kehendak mereka kepada kelompok mayoritas negeri ini, apalagi jika menjadi mayoritas,” ujarnya dengan menyala.
Isu lain yang muncul dan dikembangkan adalah seputar islamofobia. Mereka membawa lebih luas isu ini dengan mencurigai kedatangan Paus ke Indonesia. Bagi mereka, jika bukan karena misi untuk kepentingan umat Islam semisal isu Palestina, kedatangan Paus sebenarnya tidak diperlukan apalagi harus disiarkan dengan menggeser waktu azan.
Inilah kutipan tulisan dari penulis tetap di eramuslim, M Rizal Fadillah. Dia berargumen Dirjen PPI Kemenkominfo harus mencabut Surat Edaran yang dibuatnya. Jika tidak umat Islam berhak menilai dan memberi predikat negara ini di bawah pemerintahan Jokowi sebagai negara Sekuler, Negara Islamophobia dan Negara Kafir. Sangat sadis betul, pandangan ini.
Senada dengan pernyataan M Rizal Fadillah, Ketua DPP Front Persaudaraan Islam (FPI), Aziz Yanuar mengatakan penggantian azan magrib dengan running text sangat menggangu umat Islam dan bentuk rezim sudah terjangkit virus islamphobia dan intoleran terhadap keberadaan adzan Magrib dan ajaran Islam.
Kebijakan ini, menurutnya, telah menyakiti umat Islam, sehingga pihak FPI, GNPFU dan PERSADA 212 menyatakan sikap protes keras. Baginya, adzan adalah bentuk suara yang dikumandangkan, bukan bentuk pengumuman tulisan. Ini bagian dari mengubah syariat Islam. Ini bentuk penghinaan umat dan penistaan syariat Islam.
Tidak ketinggalan, Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI) melalui Bahtiar Nasir berkomentar. Walaupun hanya keputusan sementara, tetapi kebijakan ini telah menghilangkan bagian penting syiar Islam yang sangat sakral bagi umat Islam. Kebijakan ini bentuk dari kurangnya penghargaan terhadap nilai agama mayoritas.
Mestinya, menurut ustadz ini, negara harus menghargai tradisi mayoritas. Mengganti azan walaupun cuma sehari telah menciderai tradisi dan melukai hak-hak keagamaan umat Islam di ranah publik. Mereka tetap menghormati minoritas, tetapi mengganggu mayoritas adalah sebuah ketidakadilan.
Juru Bicara Menteri Agama, Sunanto alias Cak Nanto menjernihkan himbauan dalam surat itu sebagai bentuk himbauan, bukan paksaan. Selain itu kebijakan ini bukan untuk menghilangkan pemberitahuan waktu shalat di televisi. Himbauan itu adalah mengganti pemberitahuan azan kepada umat Islam melalui teks ketika misa misa Paus Fransiskus berlangsung. Tentu saja, sikap ini diambil karena umat Katolik di seluruh Indonesia pasti ingin mengikuti misa bersama Paus Fransiskus terutama bagi yang tidak mendapatkan undangan langsung hadir ke Stadion GBK, Jakarta.
MUI melalui ketua Komisi Fatwa, KH Asrorun Niam, menegaskan tidak ada aspek syar’i yang dilanggar dari penggantian siaran azan dengan running text. Justru kebijakan itu adalah bagian dari solusi untuk menjaga keragaman dan memupuk toleransi. Ia menegaskan masyarakat harus diberikan pencerahan agar tidak termakan isu dan provokasi seolah meniadakan azan.
Kebijakan ini sebagai bentuk penghormatan kepada pelaksanaan ibadah umat Kristiani yang juga tidak melanggar syariat karena bukan penghapusan dan peniadaan azan di masjid. Syariat azan adalah dilaksanakan secara langsung di masjid untuk panggilan shalat bagi umat Islam. Jadi, tentu dalam perspektif ini mengganti azan dengan running text bukan bentuk mengganti syariat atau menista ajaran Islam sebagai juru bicara FPI yang lantang menentangnya.
Senada dengan hal itu, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis menambahkan adzan di TV itu hanya bersifat rekaman elektronik. Umat Islam tidak perlu gelisah dan tidak perlu timbul salah paham. Bukan azan di masjid yang ditiadakan. Hukum asal azan itu dikumandangkan di masjid sebagai ajakan untuk melaksanakan shalat.
Selain itu dari PBNU, IMM dan yang lain juga merasa tidak keberatan dengan adanya himbauan tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap umat Katolik yang tengah beribadah. Kementerian Agama tentu berada dalam posisi sebagai kementerian yang mengurusi agama secara umum, bukan hanya Islam saja.
Sederhananya, jika ada pemberitahan waktu shalat di TV dan mendengar azan dari masjid, segeralah shalat. Jangan menonton siaran azan, tetapi beranjaklah ke masjid untuk shalat jamaah.
Sejatinya himbauan penggantian azan menjadi running text di stasiun televisi ini bukan hal yang perlu dihebohkan. Apalagi sekelas anggota DPR harus termakan isu untuk menanggapi isu yang sangat berlebihan ini. Azan di televisi adalah bentuk tradisi yang berlangsung lama sebagai bentuk keistimewaan umat Islam. Tentu bukan syariat, karena azan secara syariat dilaksanakan melalui orang di masjid untuk memberitahukan dan mengajak shalat.
Semua umat Islam bahkan punya azan elektronik lain di gadgetnya sebagai pemberitahuan shalat. Namun, syariat azan yang sesungguhnya adalah di masjid yang dilakukan oleh muadzzin, bukan rekaman elektronik. Azan di TV adalah hak istimewa umat Islam dan sejatinya bukan kewajiban syariat.
Karena itulah. dalam banyak kesempatan terkadang azan diTV diganti dengan running text ketika ada siaran langsung semisal olahraga dan kepentingan siaran langsung lainnya. Ini saja, mestinya yang perlu dipahami agar tidak mudah termakan provokasi.
Masalah menjadi runyam karena ada pihak yang membawa isu ini menjadi seolah sensitif. Membawa narasi minoritas-mayoritas dalam isu ini sebagai langkah provokasi yang luar biasa. Seolah ini kekalahan mayoritas terhadap minoritas yang menjadi pembakar emosi keagamaan umat.
Narasi yang lebih kejam lagi adalah persoalan islamofobia dan negara kafir. Seolah himbauan ini diletakkan sebagai peniadaan azan bagi umat Islam dan tidak peduli itu di stasiun televisi maupun di masjid. Mereka membawa opini seolah ini bentuk pelanggaran negara terhadap hak-hak umat Islam karena melarang azan. Tentu ini bagian dari provokasi yang sangat luar biasa untuk mengeksploitasi emosi umat dengan narasi negara telah mendzalimi umat Islam.
Sementara kelompok yang mengatakan running text sebagai bentuk penistaan ajaran Islam tidak perlu ditanggapi serius. Itu hanya bunyi dari kelompok yang memang tidak mengerti agama kecuali hanya mengandalkan militansi. Secara edukasi keagamaan mereka rendah, tetapi tinggi di bidang emosi. Azan yang diganti running text dianggap pelecehan ajaran syariat Islam adalah bukti kedangkalan mereka memahami ajaran Islam itu sendiri.
Karena itulah, umat Islam diharapkan mampu membedakan narasi sebenarnya dengan isu yang sengaja digoreng untuk kepentingan kelompok tertentu yang seolah sedang membela Islam mati-matian, tetapi sejatinya tidak memahami esensi ajaran Islam. Mereka sangat senang mengerubungi isu sensitif untuk menarik simpati dan emosi umat.
This post was last modified on 7 September 2024 10:04 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…