Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas bagi siapa saja untuk menyampaikan gagasan, termasuk gagasan-gagasan yang berbahaya bagi perkembangan mental dan spiritual anak-anak. Indoktrinasi melalui media digital tidak lagi menjadi sekadar kekhawatiran abstrak. Ia adalah kenyataan sehari-hari yang mengintai anak-anak di balik layar ponsel, yang jika dicermati, cukup mengkhawatirkan.
Paham kebencian, intoleransi, dan bahkan ideologi radikal disebarluaskan secara masif melalui video, gambar, meme, hingga ceramah-ceramah manipulatif yang dikemas menarik dan mudah dikonsumsi. Di sinilah keluarga harus hadir sebagai sistem imun pertama dan utama bagi anak-anak dalam menghadapi paparan digital yang tidak sehat tersebut.
Anak-anak adalah generasi yang sedang tumbuh dan membentuk identitasnya. Dalam proses tersebut, mereka sangat rentan terhadap berbagai pengaruh dari lingkungan sekitarnya, termasuk dunia digital yang kini menjadi bagian dari keseharian mereka. Apa yang mereka lihat, dengar, dan baca melalui internet sangat berpengaruh dalam membentuk sikap mereka.
Ketika konten-konten kebencian, kekerasan, dan intoleransi dibungkus dengan narasi religius atau moralitas palsu, anak-anak yang belum memiliki kemampuan berpikir kritis dan pengalaman yang cukup, sangat mudah terjerumus dan menganggap itu sebagai kebenaran.
Fenomena ini diperparah oleh pola komunikasi digital yang sangat cepat dan masif. Algoritma media sosial bekerja dengan cara memperkuat konten-konten yang disukai atau sering ditonton. Artinya, jika seorang anak sekali saja tertarik pada konten intoleran atau radikal, maka algoritma akan terus menyajikan konten serupa ke beranda mereka. Inilah yang menyebabkan proses indoktrinasi terjadi secara masif dan sistematis. Anak tidak hanya sekadar menonton, tetapi mereka secara bertahap diyakinkan, dibenarkan, dan pada akhirnya ikut membenarkan cara berpikir yang sempit dan penuh kebencian terhadap kelompok lain.
Keluarga, dalam konteks ini, memiliki posisi sangat vital sebagai benteng pertama dalam melindungi anak dari bahaya tersebut. Keluarga bukan sekadar ruang kasih sayang semata, tetapi juga menjadi medan pertama di mana nilai-nilai dibentuk, moralitas diajarkan, dan daya kritis ditumbuhkan. Orang tua harus memiliki kesadaran penuh bahwa pendidikan digital, literasi media, dan penanaman nilai-nilai kebajikan tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah atau lembaga luar rumah, apalagi kepada media sosial yang tak terkontrol.
Peran keluarga sebagai sekolah pertama bisa dimulai dari membangun komunikasi yang sehat dan terbuka antara orang tua dan anak. Ketika anak merasa didengarkan, dipercaya, dan dihargai, mereka akan lebih terbuka dalam menceritakan apa yang mereka alami atau tonton di media digital. Dari komunikasi yang terbuka itulah, orang tua bisa masuk untuk membimbing, mengoreksi, atau meluruskan pemahaman yang menyimpang dengan cara yang lembut dan dialogis. Pendekatan otoriter justru sering kali membuat anak semakin tertutup dan mencari pelarian ke dunia maya yang membenarkan perasaan dan pikirannya.
Pada saat yang sama, orang tua juga perlu membekali anak dengan daya kritis dan kemampuan berpikir reflektif. Anak perlu dilatih untuk tidak langsung percaya pada apa yang mereka lihat atau baca. Mereka harus diberi pemahaman bahwa kebenaran tidak selalu hadir dalam bentuk video yang viral atau tokoh yang bersuara keras. Nilai kebenaran harus dibangun dengan penalaran yang sehat, empati kepada sesama, serta sikap menghargai perbedaan.
Dalam hal ini, orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak. Jangan sampai anak melihat contoh buruk dalam keluarga, seperti ucapan yang penuh prasangka, kebencian terhadap kelompok lain, atau sikap-sikap eksklusif yang tidak toleran pada sesama.
Menjadi orang tua di era digital memang tidak mudah. Tapi justru di tengah tantangan itulah, peran keluarga menjadi semakin krusial. Dengan kasih sayang, komunikasi yang terbuka, keteladanan yang baik, dan pendampingan yang aktif, keluarga dapat menjadi tameng paling awal dan paling kokoh bagi anak dalam menghadapi bahaya indoktrinasi digital.
Kita tidak bisa sepenuhnya mengontrol dunia luar, tetapi kita bisa membangun benteng dari dalam. Dan benteng itu adalah keluarga. Anak-anak bukan hanya masa depan keluarga, tetapi juga masa depan bangsa dan kemanusiaan. Jika kita ingin generasi yang damai, toleran, dan bijak dalam bermedia, maka kita harus mulai dari rumah. Sebab sejatinya, keluarga bukan hanya tempat kembali, tetapi juga tempat anak-anak belajar menjadi manusia seutuhnya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…
urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…
Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…
Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.…
Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan…
Indonesia lahir dari rahim perbedaan. Ratusan suku, bahasa, agama, dan tradisi bersatu dalam satu entitas…