Narasi

Sekolah Rakyat; Upaya Memutus Radikalisme Melalui Pendidikan

Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan ke kelompok masyarakat kelas bawah, terutama golongan miskin ekstrem. Sekolah Rakyat, dari tingkat dasar, menengah pertama, dan menengah atas ini didesain ke dalam bentuk sekolah asrama yang dikelola di bawah naungan Kementerian Sosial.

Sekolah Rakyat adalah jawaban atas problem klasik dalam dunia pendidikan kita selama ini, yakni kurang meratanya akses pendidikan, terutama di kalangan kelompok ekstrem. Di gelombang pertama, sebanyak lebih dari 50 Sekolah Rakyat disiapkan di sejumlah wilayah di Indonesia. Di gelombang kedua, ditargetkan setidaknya 200 sekolah rakyat berdiri di seluruh Indonesia untuk menampung siswa dari kelompok miskin.

Sekolah Rakyat menjadi program yang strategis, terutama di tengah tantangan mewujudkan Indonesia Emas 2045. Tidak diragukan lagi bahwa bonus demografi itu harus dipersiapkan dengan membekali generasi bangsa dengan pendidikan yang berkualitas. Sekolah Rakyat menggabungkan sistem pembelajaran yang berfokus pada ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan hidup, kepemimpinan, nilai keagamaan dan wawasan kebangsaan.

Dua poin terakhir itu menjadi penting mengingat tantangan zaman yang kian kompleks. Seperti kita tahu, dalam beberapa tahun belakangan dunia global berada dalam situasi penuh ketidakpastian. Perang dan konflik dimana-mana. Kekerasan atas nama perbedaan politik dan agama kadung dinormalisasi. Ekstremisme dan terorisme berlatar agama pun masih menjadi momok bagi dunia modern.

Generasi di masa depan akan menghadapi tantangan yang kian kompleks. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan, robotika, dan internet of things, akan mendorong transformasi dan perubahan lanskap dunia. Termasuk melatari evolusi gerakan radikal-ekstrem berlatar agama. Namun, satu hal yang tidak pernah berubah adalah bahwa kemiskinan selalu menjadi komoditas yang dijual oleh kelompok radikal-ekstrem.

Para pengasong ideologi radikal selalu membangun narasi bahwa umat Islam hidup dalam sistem yang zalim, tidak adil, dan menindas. Kaum radikal selalu menebar propaganda bahwa sistem kapitalisme dan demokrasi yang saat ini diadaptasi oleh mayoritas negara di dunia telah melahirkan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Korban paling menderita dari kondisi itu adalah umat Islam.

Ujung dari narasi propaganda itu adalah seruan untuk menegakkan sistem khilafah dan penerapan syariah yang diklaim mampu mengatasi problem kemiskinan dan kesenjangan sosial. Jika khilafah dan syariah tegak, maka umat Islam akan hidup dalam kondisi yang sejahtera, damai, dan adil. Begitu janji bombastis para pengasong khilafah.

Di kalangan masyarakat muslim bawah (miskin), narasi itu cenderung efektif untuk memantik api jihad yang dimanifestasikan ke dalam tindakan teror dan kekerasan. Perasaan inferior, merasa diperlakukan tidak adil, dan terpinggirkan akibat sengitnya kontestasi kehidupan, acap mendorong kelompok bawah untuk bergabung dengan gerakan radikal-teroris.

Dalam konteks ini, fenomena radikalisme-terorisme bukan sekedar problem penafsiran ajaran agama. Di titik tertentu, fenomena radikalisme-terorisme merupakan bentuk ekspresi kekecewaan kalangan bawah atas kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang diwarnai ketidaksetaraan. Bahkan, tidak jarang, aksi terorisme merupakan bentuk pelarian kelompok bawah atas tekanan hidup.

Maka, salah satu cara memutus lingkaran setan radikalisme-terorisme ini adalah dengan membuka akses seluasnya kelompok bawah pada pendidikan. Kemiskinan dan kesenjangan sosial yang selama ini menjadi lahan subur bagi tumbuhnya benih radikalisme kiranya bisa dihapus jika kelompok miskin memiliki akses pada dunia pendidikan berkualitas.

Sekolah Rakyat dengan demikian secara tidak langsung merupakan bagian dari agenda kontra-ekstremisme. Dengan terbukanya akses pendidikan bagi warga miskin, maka akan terbuka kesempatan bagi mereka untuk memberdayakan diri. Diharapkan mereka mampu membangun kemandirian ekonomi dan memangkas jarak kesenjangan sosial. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah terpikat dengan narasi keadilan dan kesejahteraan semu yang digaungkan kelompok radikal.

Satu hal yang wajib kita pastikan adalah komitmen Sekolah Rakyat untuk menanamkan prinsip toleransi dan moderasi beragama sekaligus wawasan kebangsaan yang kuat ke anak didik. Sekolah Rakyat harus menjadi lembaga pendidikan yang melahirkan generasi yang tidak hanya siap bersaing di kancah global, namun juga memiliki nasionalisme yang kuat, sekaligus relijiusitas yang moderat.

Di tengah situasi dunia yang serba tidak pasti ini, generasi dengan karakter nasionalis-relijius itu sangat diperlukan oleh bangsa. Tantangan ke depan bukan sekadar kontestasi ekonomi dan politik, namun juga perang ideologi yang tidak pelak akan menghadirkan ancaman serius bagi ketahanan negara.

Nurrochman

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

5 hari ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

5 hari ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

5 hari ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

5 hari ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

5 hari ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

6 hari ago