Narasi

Ancaman Nabi Terhadap Jurkam Khilafah

Perdebatan soal khilafah di Indonesia sampai saat ini masih di dua hal. Pertama, apakah khilafah ada dalam al Qur’an dan hadits dan apakah teks-teks itu bermakna keharusan untuk mendirikan sistem khilafah atau tidak. Kajian tematik seputar khilafah dikaji dalam Islam dari aspek bahasa hingga hukumnya. Kitab-kitab klasik dari para ulama klasik dibedah guna membongkar sebenarnya apa makna khilafah dalam teks-teks al Qur’an, hadits, maupun pendapat ulama.

Atau kedua, perdebatan itu di seputar kemungkinan diterapkan di Indonesia. Pada perdebatan ini biasanya terjadi pro kontra soal khilafah diterapkan di Indonesia. Alasan yang pro, karena negara ini memakai sistem buatan manusia. Sementara pihak yang kontra beralasan karena Indonesia yang bhineka khususnya dalam soal agama yang bisa mengakibatkan perpecahan jika salah satu agama dijadikan dasar dan hukum negara. Jika pihak pertama melihatnya dari aspek hukum Islam maka pihak kedua melihatnya dari aspek sosial. Sebuah argumen yang sulit dipertemukan.

Sangat jarang sekali melihat gerakan khilafah ini dari aspek politik. Dimana politik memiliki hukum tersendiri yang berbeda dengan hukum-hukum sipil. Jika dalam hukum sipil, misalnya, dilarang memenjarakan orang maka dalam hukum politik Islam (al siyasah al syar’iyyah) tidak masalah memenjarakan hingga membunuh dengan beberapa pertimbangan seperti kedamaian, menghilangkan fitnah, dan lain-lain. Nah, kampanye khilafah yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam yang marak akhir-akhir ini.

Yang perlu digaris bawahi bahwa gerakan khilafah adalah gerakan politik bukan gerakan dakwah apalagi gerakan Islam. Karena diakui atau tidak, arah dari kampanye khilafah ini selain sebagai upaya untuk mengganti dasar negara juga untuk meraih kedudukan dan jabatan. Dan upaya itu jelas sebuah politik. Hanya saja mereka memakai tameng bernama agama. Islam hanya sebagai senjata bukan tujuan. Mereka hanya menjual ayat-ayat Allah hanya untuk tujuan kekuasaan bukan ketakwaan.

Dalam Shahih Bukhari bab al fitan,  Nabi Muhammad bersabda “barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak disukai dari seorang pemimpin negara maka hendaklah dia bersabar. Sesuangguhnya tidak boleh ada seorang pun yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin negara walau sejengkal kecuali meninggal dalam kondisi jahiliyyah”. Dalam shahih muslim bab al imarah nabi, Nabi Muhammad bersabda “barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari pemimpinnya maka kematiannya dalam kondisi jahiliyyah. Dan barangsiapa yang berperang di atas bendera fanatisme buta (rayah ‘umiyyah), membenci karena fanatik, mengajak fanatik, atau menolong orang-orang yang fanatik lalu meninggal maka ia dalam kondisi jahiliyyah”.

Kedua hadits ini jelas mengarahkan kita untuk taat kepada kepala negara walaupun ada yang dibenci. Pembangkangan terhadap negara, secara tidak langsung tergolong orang-orang jahiliyyah. Mati dalam kondisi jahiliyyah sebagaimana disebutkan oleh Nabi dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa orang tersebut tidak membawa Islam.

Ibn Taymiyyah dalam “al Khilafah wal Mulk” mengatakan bahwa ada tiga golongan yang masuk dalam kategori hadits di atas. Pertama, orang yang tidak taat dan keluar dari kepemimpinan negara. Kedua, orang-orang yang berperang karena fantisme buta dan upaya untuk menguasai. Dan ketiga, adalah pemberontak. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan terhadap sistem negara merupakan kewajiban dalam Islam. Karena kedamaian dan keadilan merupakan tujuan pokok dalam bernegara atau berkelompok.

Dalam Piagam Madinah, misalnya, Nabi lebih menguatamakan kedamaian bersama dari pada memakai sistem Islam secara umum. Sehingga dalam bingkai politik, hukum-hukum sosial dirembug secara bersama-sama sementara hukum sosial diserahkan kepada masing-masing agama. Pembangkangan oleh salah satu kelompok manapun bagi Nabi merupakan penghianatan yang harus diperangi.

Berkaca pada penjelasan politik Islam yang diterapkan oleh Nabi di atas maka jelas bahwa kampanye khilafah merupakan penghianatan terhadap negara yang, menurut Nabi, kematiannya dalam kondisi jahiliyyah. Sebuah kematian yang sangat sia-sia yang harus dihindari oleh seluruh umat Islam. Jauh sebelum itu, tentu saja penghianat haruslah diperangi melalui aparatur negara. Maka dalam hal ini, ketegasan negara terhadap penghianat bangsa sangat dibutuhkan, demi kedamaian dan keutuhan sebuah negara. Wallahu a’lam.

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

21 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

22 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

22 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

22 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago