Narasi

Anshor Thogut bernama Teroris

Pemahaman agama yang sesat hingga menyebabkan aksi teror dan kekerasan masih menjadi pekerjaan kita bersama. Peristiwa teranyar terjadi di Tanggerang pada 20 Oktober 2016. Seorang pemuda berinisial SA, yang masih berusia 22 tahun, menyerang Pos Lantas dan melukai 3 orang polisi dengan menggunakan senjata tajam. Peristiwa ini sungguh sangat mengkhawatirkan kenyamanan masyarakat. Sebab kejadian serupa seolah terjadi secara berkelanjutan. Pada 28 Agustus 2016, terjadi peristiwa percobaan bom bunuh diri, dengan menggunakan bom rakitan di Gereja Santo Yosef yang dilakukan pemuda dengan inisial IAH (18 tahun). Sementara pada 5 Juli 2016, Polresta Surakarta diserang seorang pelaku bom bunuh diri berisinial NR (31 tahun). Ketiga peristiwa ini pun dilakukan sendirian.

Beberapa peristiwa di atas ternyata memiliki keterkaitan dengan gerakan ISIS (baik secara langsung atau pun tidak). Misalnya peristiwa di Tangerang, pelaku berusaha menempel stiker bertuliskan ISIS hingga polisi mencegah dan terjadilah penyerangan. Pada peristiwa di Medan, di dompet pelaku terdapat simbol ISIS. Sementara pada peristiwa Surakarta, pelaku terlibat dengan kelompok teror bom Thamrin. Keterkaitan dengan ISIS ini menunjukan tameng agama kembali digunakan untuk membenarkan tindakan teror dan kekerasan. Penggunaan doktrin agama secara serampangan menunjukan dangkalnya pemahaman agama seseorang. Padahal sudah jelas, doktrin agama secara tegas dan jelas melarang seseorang melakukan aksi kekerasan dan pembunuhan.

Contoh doktrin agama yang dimanipulasi dapat dilihat pada kejadian terakhir. Pelaku penyerangan di Tanggerang melakukan aksinya karena ingin merampas pistol yang dimiliki petugas polisi. Pistol tersebut rencananya akan digunakan untuk membunuh ansor thogut. Istilah anshor thogut (pembela thogut) kerap digunakan kelompok radikal untuk menyebut musuh-musuh mereka. Kebalikan dari anshor thogut adalah anshor tauhid. Pada salah satu situs radikal, dijelaskan bahwa anshor thogut adalah mereka yang mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Kesetiaan ini dianggap sebagai syahadat yang syirik. Bahkan para PNS (Pegawai Negeri Sipil) pun dianggap anshor thogut karena setia kepada Pancasila dan UUD 45. Dan tentunya aparat penjaga ketertiban dan keamanan pun (polisi dan tentara) dituduh sebagai pembela thogut.

Pemahaman yang menganggap mereka yang berikrar dengan Pancasila, UUD 45, dan NKRI sebagai pembela thogut tentu saja merupakan pemikiran yang salah. Sebab ketiganya memang bukanlah produk yang harus disembah layaknya tuhan. Kita pun harus bisa membedakan antara menghormati dan menyembah. Analogi sederhananya, setiap kita wajib menghormati orang tua yang telah melahirkan dan mendidik kita. Kita pun patuh dan menunjukan loyalitas terhadap mereka. Tetapi tidak bisa kepatuhan dan loyalitas yang kita berikan kepada orang tua dianggap sebagai bentuk menjadikan mereka sebagai sesembahan. Makna dan konteksnya sangat jauh berbeda. Begitu pun warga negara Indonesia yang menunjukan kesetiaan dan penghormatan terhadap aturan negara, tidak bisa seenaknya dianggap bagian dari anshor thogut.

Selain kesesatan berpikir, para pengikut kelompok radikal pun kerap bertindak diluar kewajaran. Pada kasus di atas, menyerang aparat keamanan adalah hal yang sangat tidak dibenarkan dalam Islam. Apalagi jika yang diserang ternyata juga Muslim. Misalnya dalam QS. Al Ahzab: 58, disebutkan bahwa “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.

Rasulullah pun tidak pernah memberi contoh umatnya untuk menyerang orang lain yang tidak berdosa dan tanpa alasan yang jelas. Sementara para pengikut kelompok teror, dengan seenaknya menyerang siapa saja yang mereka kehendaki, kapan saja dan di mana saja.

Berdasarkan paparan di atas, maka sejatinya para pengikut kelompok radikal adalah pihak yang paling tepat disebut sebagai kaum anshor thogut. Seperti asal kata thogut itu sendiri yang bermakna melampaui batas. Sebab kelompok radikal ini sudah melampaui batas dalam bertindak dan bertingkah laku seperti melukai dan membunuh orang yang tidak bersalah. Melampaui batas karena menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan. Dan tentunya melampaui batas karena menafsirkan agama secara serampangan. Semoga kita dijauhkan dari tipu daya dan ancaman mereka.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

7 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

7 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

7 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

7 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago