Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri.
Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah “tercemar”. Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan dalam penafsiran yang tunggal ala mereka. Biasanya hal ini didasarkan pada tafsir atau interpretasi secara harafiah semua ajaran yang terkandung dalam Kitab Suci atau buku pedoman lainnya.
Ada banyak ciri yang diidentikkan dengan fundamentalisme. Garaudy misalnya, menyebutkan beberapa ciri kaum fundamentalis: menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kekakuan madzhab, keras, tunduk kepada turâts (tradisi), kembali ke belakang, dan menentang pertumbuhan dan perkembangan zaman. Secara definitif istilah fundamentalisme tidak ada bedanya antara fundamentalisme dalam agama maupun dalam politik.
Bagi orang yang percaya akan paham ini akan selalu mengarahkan segala kegiatannya sesuai dengan pemahaman mereka. Model pergerakan sangat mendominasi aktifitasnya. Mereka sadar betul bahwa pemahaman jika tidak diamalkan akan tinggal teori belaka, yang tidak berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Secara otomatis mereka senang terhadap kekerasan, teror dan perang, karena berambisi untuk merubah orang lain, dan sulit untuk toleran dengan lingkungan yang berlainan dengan pahamnya.
Mereka senang sekali memberikan arahan kepada para pembelot dan orang-orang yang dianggap kafir. Selain itu mereka percaya terhadap kebenaran absolut dalam agama mereka, sehingga menggiring kepada fanatisme dan penindasan terhadap golongan lain. Pada realitasnya fundamentalisme lebih cenderung kepada kekerasan dari pada dialog dan saling memahami.
Semua aliran fundamentalisme sepakat tentang faham di mana nash yang menjadi rujukan memuat sekumpulan kebenaran-kebenaran abadi yang berlaku di sepanjang zaman. Inilah garansi ke-ma’suman-nya, oleh karena itu dianggap sebagai ideologi nash atau kitab sebagai petunjuk yang menjawab segala problem. Sikap seperti ini malah menghilangkan keistimewaan agama, karena sudah menganggap agama telah finish, meski sebenarnya masih terbuka.
Martin E. Marty mengemukakan sikap atau gerakan dapat dikategorikan sebagai fundamentalisme apabila memenuhi empat prinsip. Pertama, fundamentalisme bersifat oppositionalisme (paham perlawanan), yaitu sikap atau gerakan yang selalu melawan terhadap hal (baik ide sekulerisme maupun modernisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama.
Kedua, fundamentalisme bersifat penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis atas teks dan interpretasinya. Ketiga, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari pemahaman agama yang keliru. Keempat, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.
Dalam menyempaikan pesan, Allah menggunakan Basyiran (kabar gembira) dan Nadziran (ancaman). Menariknya, jika diperhatikan secara seksama penggunaan kata ‘basyiran wa nadziran’ maka akan ditemukan fakta bahwa Allah selalu mendahulukan kabar gembira dari pada ancaman.
Ketika menyampaikan kabar gembira Alquran menggunakan kata ‘basysyara-yubassyiru’ yang dalam gramatikal Arab mengandung arti ‘berulang-ulang memberi kabar gembira’. Namun, ketika menyampaikan ancaman, Alquran menggunakan kata ‘andzara-yundziru’ yang mengandung arti ‘memberi peringatan’ saja tanpa penekanan ‘diulang-ulang’. Artinya, dalam menyampaikan pesan, Allah selalu membangun situasi informasi yang positif yang didominasi kabar gembira.
Bukan hanya itu, dalam menyampiakan pesan, Allah sering menggunakan kata tanya seperti ‘Hal ataaka hadiitsu…..’ (Apakah kamu telah mendengar kabar….) atau ‘Afalaa ta’qiluun’….. (Apakah kamu berfikir…..), dan sebagainya. Pola ini menunjukkan Allah selalu merangsang neo-cortex manusia untuk aktif berpikir. Ancaman dan peringatan memang ada dalam Alquran meski tidak dominan. Untuk mengubah perilaku manusia, pendekatan yang paling banyak diterapkan Alquran adalah modeling, memberikan contoh untuk ditiru. Yaitu dengan cara mengangkat sosok-sosok teladan. Lebih dari sepertiga Quran isinya adalah kisah.
Di dunia periklanan, pendekatan menakut-nakuti kini makin ditinggalkan. Konsumen yang makin kritis, membuat iklan-iklan gaya lama tak efektif. Selain itu, sejumlah akademisi mengkritisi iklan dari segi etika. Dalam studi berjudul “The Ethicality of Using Fear for Social Advertising”, Damien Arthur & Pascale Quester mengungkap bahwa iklan-iklan yang menakut-nakuti setidaknya memiliki tiga masalah besar. Pertama, menyebarkan depresi pada audiensnya. Kedua, seringkali pesan inti dari iklan malah tidak tertangkap oleh audines. Ketiga, iklan jenis ini menunjukkan rendahnya kepekaan sosial. Maka tak heran jika dalam lima tahun terakhir kita lebih sering menemukan iklan yang lebih inspiratif dan positif.
Apakah perubahan paradigma dalam dunia periklanan itu juga terjadi di dunia pendidikan dan pemberitaan?
Marilah kita periksa dengan seksama, bagaimana postingan facebook kita, broadcast BBM dan WA, serta berita di situs-situs yang mengaku berlabel Islam. Mungkin kita masih ingat foto pembantaian Muslim Rohingya. Ketika melihat foto itu, neo-cortex kita lumpuh. Otak reptilia kita aktif, timbul rasa sedih, marah, dan bahkan terprovokasi. Sebagai solidaritas, kita lalu men-share foro tersebut. Foto itu tersebar cepat. Hingga seorang jurnalis menemukan bahwa foto itu adalah rekayasa. Ketika seorang bloger muslim ditanya mengapa ia menyebarkan foto palsu itu, dia menjawab bahwa ia ingin membangkitkan solidaritas umat Islam. Apakah solidarias umat digalang dengan menebarkan ketakutan melalui foto palsu? Tidakkah ada cara lain yang lebih cerdas dan elegan, yang menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang berfikir?
Simaklah baik-baik ceramah-ceramah di mimbar jumat atau pelajaran agama di kelas-kelas. Apakah lebih dominan kabar gembira (basyiran) atau ancaman neraka (nadziran)? Bacalah buku-buku pelajaran sejarah, apakah mengajarkan kabar baik dan keteladanan dari masa lalu atau malah horor, trauma dan ketakutan yang melestarikan dendam permusuhan sektarian? Semua belum terlambat untuk diperbaiki!
This post was last modified on 17 April 2015 5:51 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments
Some recent ones do. Not all tatrslarons have revised their translation from the research yet. Especially the ones before year 2000 haven't even noticed this. As this finding goes mainstream, hopefully the tatrslarons who are still alive will revise their translations and future tatrslarons will adopt the changes. Dr. Laleh Bakhtiar And those females whose resistance you fear, then admonish them (f) and abandon them (f) in their sleeping places and go away from them (f). Progressive Muslims As for those women from whom you fear a desertion, then you shall advise them, and abandon them in the bedchamber, and separate from them; Reformist Translation As for those women from whom you fear disloyalty, then you shall advise them, abandon them in the bedchamber, and separate them;