Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang berlaku sepanjang ruang dan waktu, sholihun likulli zamaanin wa makaanin. Kaidah tersebut membawa konsekuensi keyakinan berupa nilai-nilai, ajaran, dan aturan yang mencakup seluruh kehidupan manusia. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, begitu kira-kira. Termasuk didalamnya persoalan media massa.
Ajaran-ajaran Islam yang tersebar dalam rangkaian ayat di kitab suci maupun sabda Nabi dikodifikasi berdasarkan pendekatan metodologi tertentu. Dari sini kemudian lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan, baik dalam kategorisasi ilmu akhirat dan ilmu umum.
Salah satu cabang ilmu yang diserap dari kedua sumber utama tadi (Kitab Suci dan Sabda Nabi) adalah ilmu Fikih. Ilmu ini dapat didefenisikan sebagai ilmu yurispudensi Islam. Di sinilah agama dijabarkan dalam bentuk-bentuk hukum yang mengikat (al-Ahkam al-Syari’ah). Di sinilah aktifitas harian manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dikategorisasi menjadi boleh (mubah dan makruh), tidak boleh (haram), atau anjuran dan kewajiban (sunnah dan wajib).
Media massa menjadi salah satu aktifitas yang dikenakan al-Ahkam al-Syari’ah. Meskipun nomenklatur Fikih Media Massa tidak pernah dikenal dalam keilmuan ulama klasik. Karena media massa sebagaimana kita kenal seperti saat ini adalah fenomena yang tergolong baru, apalagi jika menyangkut media massa online. Namun, sejumlah dalil keagamaan telah menyinggung persoalan ini, meski dalam bentuk yang berbeda.
Pada dasarnya hukum dari media massa, baik selaku pengelola maupun pengguna, adalah boleh. Ini sesuai dengan kaidah ‘hukum dasar segala aktifitas adalah boleh kecuali yang diharamkan oleh dalil, al-Ashllu fi al-Asyyaai al-Ibahah illa maa harrama ‘alaihi al-Dalil. Namun, dia bisa menjadi haram setelah penggunaannya menggunakan cara-cara yang haram. Contoh dari hal ini seperti makan daging sapi –yang padasarnya halal- hasil curian. Dia menjadi haram akibat dipengaruhi faktor internal yang dalam bahasa agama dikenal dengan haraam li ghoirihi.
Dengan demikian hukum media massa yang awalnya boleh (mubah) bisa menjadi haram jika ada unsur-unsur haram yang menyertainya. Misalnya pengelolaan media massa dengan cara fitnah dan menumbuhkan kebencian di antara sesama.
Setidaknya ada dua pokok yang harus diperhatikan bagi pengelola dunia massa agar tidak terjerumus pada keharaman. Pertama, informasi yang disampaikan bukan berupa tuduhan dan fitnah. Karena itu, penyedia informasi leat media massa dituntut menyajikan fakta dan kesimpulan objektif yang memang apa adanya.
Kedua, informasi yang disajikan juga tidak boleh memuat sesuatu yang dilarang oleh agama, semisal percabulan dan kekerasan. Agama pasti dan selalul menganjurkan kebaikan. Anjuran kepada orang lain untuk melakukan kemungkaran jelas terlarang. Atas dasar itulah informasi apapun harus disajikan dengan cara-cara yang ma’ruf (baik) agar menjadi inspirasi bagi orang lain.
Dan ketiga, informasi yang disajikan harus tidak mengandung unsur yang merendahkan martabat orang lain. Dalam bahasa sekarang unsur pemberitaan tidak boleh mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Menjaga media dari unsur ketiga ini bertujuan agar informasi yang diturunkan tidak menjadi provokasi yang menimbulkan permusuhan dan kebencian.
Ketiga syarat tersebut menjadi syarat mutlak sebuah media massa. Jika dilanggar salah satunya, maka dalam penilaian agama pengelola media tersebut terjerumus pada kubangan haram. Dalam filsafat agama haram itu berarti pelakunya akan diganjar dosa atas perbuatannya, maa yu’aaqobu ‘alaa fi’lihi. Dengan demikian, jika ada media yang mengatasnamakan Islam namun berisi ‘panduan’ kekerasan, kebencian dan perendahan martabat sesama, maka dipastikan media tersebut telah keluar dari ajaran Islam. Wallahu a’lam.
Sebagaimana diuraikan pada tulisan sebelumnya, hukum syariat berlaku pada setiap individu. Dalam konteks media massa, aturan itu selain ditujukan kepada pengelola (individu atau kelompok) juga mengatur bagaimana panduan bagi user, para pengguna yang memanfaatkan jasa media massa untuk memperoleh informasi. Berikut adalah panduan tersebut:
Pertama, kewajiban mencari tahu kebenaran yang disajikan di media massa. Para pengguna dalam hal ini diharuskan untuk melakukan tabayyun atau klarifikasi atas informasi yang didapatkan. Hal ini merupakan perintah yang jelas yang disampaikan Allah dalam Alquran (Q.S. al-Hujuraat: 6).
Proses tabayyun adalah proses klarifikasi dengan cara melakukan kroscek dan menganalisa informasi secara cermat. Apalagi jika informasi yang disajikan media massa terkait dengan pihak lain. Tujuannya adalah agar pengguna dapat memahami isi informasi secara akurat sekaligus menghindari dari niat provokasi keburukan yang dilakukan oleh penyedia informasi. Prinsip akurasi dan kehati-hatian merupakan syarat melekat dalam proses pencarian kebanaran.
Kedua, informasi yang diperoleh, baik dari media massa atau yang lainnya, tidak diperkenankan untuk langsung disampaikan kepada publik atau teman (Q.S. an-Nuur: 19). Larangan ini berlaku mutlak sebelum dilakukan proses tabayyun. Apalagi jika menyangkut persoalan yang dapat menyulut aksi sosial (provokasi).
Larangan syariat yang demikian menunjukkan bahwa agama memiliki perhatian yang besar terhadap gejolak sosial. Jika berita tentang aksi kekerasan atau kebencian terhadap satu golongan dengan menyebut kafir yang terdapat di media massa misalnya langsung disampaikan, maka tidak menutup kemungkinan menyulut kemarahan pihak yang dipersalahkan.
Dan ketiga, larangan keras menyebarkan informasi yang terkait dengnan rahasia negara (Q.S. an-Nisaaa’: 3). Konteks larangan ini sebenarnya mengajarkan kepada pengguna jasa media massa untuk memilih informasi yang akan ditembuskan kepada khlayak lainnya. Apalagi jika itu adalah informasi penting terkait keamanan negara.
Islam menginginkan adanya kehidupan yang harmoni dalam sebuah negara. Islam pun menyadari bahwa kelompok manusia yang berhimpun mengelola negara memilki pandangan dan perhitungan sendiri dalam berbagai persoalan. Karena itu, ada kalanya pandangan tersebut bersifat umum dan dapat diakses bersama secara luas, namun tak jarang perhitungan itu bersifat rahasia dan terbatas. Panduan ini memerintahkan agar siapapun membantu negara dalam menjalankan kemanan nasionalnya.
Fikih media ini merupakan salah satu jawaban agama dalam menghadapi polemik yang belakangan terjadi. Seharusnya, para pengguna jasa media massa dan pengelolanya menjaga aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Provokasi dan tuduhan yang dapat membuat gejolak sosial harus dihindari. Jangan sampai karena atas nama membela agama, kita semua terjerembab dalam kubangan dosa. Hal itu bisa saja terjadi jika kita hanya ‘ikut-ikutan’ trending topic tanpa memahami secara utuh apa yang sedang terjadi. Semoga Tuhan memberi kita kewaspadaan!
This post was last modified on 20 April 2015 10:24 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments
At last! Someone who unrdastdnes! Thanks for posting!