Categories: Kebangsaan

Atasi Krisis Dengan Sikap Nasionalis

Genap satu tahun sudah pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengawal negeri ini. Berbagai tantangan telah dialami, mulai persoalan politik, ekonomi sampai sikap kontra produktif dari beberapa pemilik akun media sosial yang menjadi viral di dunia maya. Semuanya menjadi bumbu penyedap sekaligus pupuk penyubur dan protein yang memberi gizi dan stamina untuk negeri ini semakin kuat berdiri.

Minggu ini kita mulai bisa tersenyum karena adanya indikator kenaikan di grafik pertumbuhan ekonomi, rupiah mulai menguat dan indikasi investasipun mulai tampak bergairah kembali. Meski demikian, berita baik tentang pertumbuhan ekonomi masih dalam posisi rentan; apakah akan terus melaju naik ataukah justru akan turun kembali mengingat krisis global belum berhenti. Situasi ini seakan berjalan beriringan dengan cuaca panas dan kemarau berkepanjangan yang belum juga berakhir di negeri ini. Hujan yang turun ternyata bukan indikasi bergantinya musim, namun hanya sedikit ekses dari perubahan iklim semata.

Sejatinya, krisis yang dihadapi oleh negeri ini bisa disikapi secara lebih ringan andai semua warganya bergotong royong memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitas masing-masing. Bayangkan jika semua orang mau berusaha untuk memberikan kontribusi, atau minimal tidak menghambat laju pembangunan, maka tentu masalah yang menghantui negeri ini dapat segera di atasi.

Kita semua harus yakin bahwa kita memiliki sesuatu yang sangat bermanfaat untuk negeri ini, alih-alih membuang-membuang tenaga untuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan negeri ini, akan jauh lebih baik jika tenaga itu digunakan untuk memberikan sumbangan positif untuk negeri. Kunci untuk mengubah kebencian menjadi kecintaan dan kebanggaan adalah  sikap cinta tanah air, ia adalah ruh dalam hidup berbangsa dan bernegara kita.

Dengan sikap cinta tanah air, dorongan untuk berkontribusi terhadap bangsa akan jauh lebih besar dari sekedar keinginan untuk menggerogotinya. Tanpa sikap cinta tanah air, seseorang bisa saja tampak memberikan sumbangan bagi negeri ini, namun semua itu sangat mungkin hanya dilandasi oleh sikap oportunis, sehingga sumbangan yang diberikan akan segera diakumulasi menjadi modal untuk meraup keuntungan yang merugikan Negara dan seluruh rakyatnya.

Dr. Siswono Yudo Husodo hari ini menulis di media nasional kompas mengenai bagaimana prilaku anak negeri ini juga turus membawa negeri ini pada krisis ekonomi yang berat. Gaya hidup kelas menengah yang gemar menggunakan produk impor memberikan dampak pada kebutuhan akan dolar yang tinggi. Sebagian kelas menengah bahkan menggunakan produk impor mulai dari pakaian, alat elektronik, sampai untuk urusan kendaraan pun mereka memilih produk built-up dari luar negeri.

Lebih jauh dari itu, fakta bahwa kebutuhan makanan pokok seperti gandum dan buah-buahan impor meningkat juga terasa memerihkan hati. Jumlah konsumsi import memang sudah terasa malampaui batas. Selain soal konsumsi, pelemahana ekonomi di Indonesia juga terjadi karena akumulasi keuntungan ekspor justru disimpan di bank-bank asing.

Fakta di atas merupakan pertanda bahwa sikap cinta tanah air anak bangsa saat ini sedang ditantang oleh situasi. Komitmen untuk menggunakan produk lokal dan kemauan untuk menyimpan dana dalam bentuk rupiah di lembaga-lembaga finansial dalam negeri adalah bagian dari bentuk nasionalisme yang nyata.

Beberapa kalangan memang masih ada yang menolak sikap nasionalisme karena mengira hal itu tidak pernah diajarkan oleh agama, padahal jika nasionalisme adalah jawaban atas krisis yang sedang melanda negeri ini, dan  sepanjang tidak ada kemaksiatan dalam prilaku nasionalis itu, maka jelaslah nasionalisme tidak bertentangan sama sekali dengan agama.

Imam Malik

Adalah seorang akademisi dan aktifis untuk isu perdamaian dan dialog antara iman. ia mulai aktif melakukan kampanye perdamaian sejak tahun 2003, ketika ia masih menjadi mahasiswa di Center for Religious and Sross-cultural Studies, UGM. Ia juga pernah menjadi koordinator untuk south east Asia Youth Coordination di Thailand pada 2006 untuk isu new media and youth. ia sempat pula menjadi manajer untuk program perdamaian dan tekhnologi di Wahid Institute, Jakarta. saat ini ia adalah direktur untuk center for religious studies and nationalism di Surya University. ia melakukan penelitian dan kerjasama untuk menangkal terorisme bersama dengan BNPT.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago