Categories: Narasi

Ayo Mondok: Sebuah Catatan untuk Pemula (Bag 2)

Perlu diketahui bahwa pondok pesantren memiliki beberapa jenis, namun secara umum sebutan pondok pesantren yang biasa didengar saat ini senantiasa mengacu kepada pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dan bernaung pada sistem pendidikan yang ditunjuk pemerintah melalui Kemenag dan Kemendiknas, serta juga mengelola sistem sendiri dalam bentuk pengajian, tahfidzul quran, maupun madrasah diniyah, serta keterampilan. Pondok Indah Mall atau Pondok Maspion Indah tidak termasuk, itu beda!

Sebelum lembaga pendidikan formal muncul di muka bumi, pondok pesantren sudah berjambang dan beranak pinak, sudah tua sekali. Bentuk mulanya adalah pengajian kitab dari berbagai disiplin dan bersifat non-klasikal. ‘Klasikal’ dipahami sebagai penggunaan sistem peringkat kelas (class), bukan kuno (classic). Jangan salah pula ditulis ‘neo-classical’, karena malah akan mengacu pada genre musik. Jadi, ‘non-klasikal’ artinya bahwa pesantren tersebut tidak menggunakan sistem ‘kenaikan kelas’.

Santri yang mengaji tidak dikelompokkan berdasarkan usia ataupun lainnya. Semua santri mengaji kitab yang sama kepada kiai yang sama. Kakek dan cucu boleh duduk satu tempat. Jika pondok model ini masih ada hingga sekarang, dan memang masih ada walaupun tidak banyak, maka itulah dia yang disebut model ‘pesantren salaf’. Lagi-lagi, jangan salah menyebut ‘salaf’ atau ‘salafiyah’ dengan ‘salafi’, karena istilah yang pertama cenderung mengacu pada sistem sedangkan yang kedua identik dengan paham (isme).

Kata ‘salaf’ sendiri berarti kuno. Jelas, istilah ini lahir di kemudian hari disebabkan oleh munculnya model pendidikan lainnya. Di masa lalu, istilah itu tidak dikenal karena model pesantren masih sama. Salah satu identitas ‘salaf/salafiyah’-nya terletak pada pengkhususan dalam bidang pengetahuan agama semata. Secara fisik, pondok salaf umum berbentuk ‘kobung’ (pondok kayu dan berkaki, mirip dangau namun berdinding gedek atau papan, beratap genting atau ijuk).

Pondok salaf zaman ini, selain hanya menekankan pada pendidikan keagamaan dan tanpa kelas, ada pula pondok salaf yang menggunakan sistem kelas dan pengelompokan berdasarkan usia/kemampuan: ibtidaiyah atau awwaliyah (dasar), wustha (menengah), dan ulya (atau tinggi), dll.

Model pondok lainnya adalah ‘moderen’. Istilah ini kadang dimunculkan secara iseng oleh masyarakat, namun ada pula yang dilabeli sendiri oleh pengelola pondok. Ciri pondok moderen di antaranya adalah penggunaan pengantar bahasa asing, termasuk komunikasi antarsantri. Model dan fasilitas asramanya lebih baik dan tentu pula dengan biaya operasional yang lebih mahal daripada dua model yang disebut sebelumnya.

Pondok moderen kadang menerbitkan ijazah ‘MU’ alias penyetaraan. Maksudnya, meskipun nyablon sendiri, ijazahnya sama nilainya dengan ijazah pada umumnya, sebagaimana ijazah SLTP dan SLTA. Ciri kemoderenan juga tampak pada tata ruang serta sarana dan prasarana pondok yang lebih baik daripada dua yang disebut sebelumnya. Semua itu jelas bergantung pada biaya yang tentunya lebih mahal daripada lainnya.

Di luar itu, ada istilah lain lagi yakni ‘pondok atau pesantren kilat’. Materi dan pengajiannya sama dengan sistem salaf, namun yang ini menggunakan percepatan, contoh Kitab Alfiyah yang diajarkan selama 3-4 tahun terkadang hanya diselesaikan dalam 3 bulan atau kurang. Model ini bertujuan mengaji banyak kitab dalam waktu serba-singkat. Umumnya, peserta kilatan adalah alumni pesantren, artinya mereka sudah makan asam garam mondok dan punya bekal pengetahuan Bahasa Arab dan perkitaban yang baik.

Motif Orang Pergi Mondok

Seperti halnya model pondok, motif mondok pun ada macamnya. Hal yang biasa terjadi adalah ‘sekolah sambil mondok’. Untuk mengetahui motif-motif ini, saya tidak melakukan tes wawancara sebagaimana di kantor imigrasi atau interogasi di kantor polisi, misalnya. Data saya hanya berdasar pada pengalaman pribadi saja. Bantah jika salah. Solak jika sepakat.

Secara sederhana dapat diambil contoh: jika santri mondok seusia tsanawiyah/SMP, lama mondok biasanya 3 tahunan. Jika menempuh SLTP sekaligus SLTA-nya, mondoknya 6 tahunan. Jika mondok sambil kuliah di pesantren, kisarannya 4-5 tahun saja. Ini hanya ilustrasi, boleh saja berbeda saat dijalani. Mereka yang mondok di pesantren salaf cenderung bebas dari target rentang waktu yang biasanya sudah diperkirakan sejak awal mula mondok. Suka-suka saja mereka di pondok sebab tidak menempuh jenjang kelas.

Akan tetapi, di balik itu ada pelajaran penting dan tersirat dari proses ini, yakni terkait dengan motif seorang santri yang mondok di pesantren. Para santri cenderung memiliki motif mengabdi dan melayani tanpa gangguan hantu untung rugi, bahkan ada yang punya prinsip ‘khidmah murni’. Artinya, mereka pergi mondok hanya untuk ‘belajar melayani’, tidak mengikuti kegiatan pendidikan formal, dan jelaslah santri tipe ini tidak akan ambil pusing dengan soal ijazah. Terdengar aneh, ya, masih ada orang begitu di zaman yang untuk melamar jadi tukang parkir pun masih diurus jenjang pendidikan terakhirnya.

Menghabiskan waktu ‘hanya’ untuk shalat berjamaah, mengaji, melayani kiai, melayani sesama santri, membantu aktivitas pendidikan, dan tanpa mengikuti kegiatan sekolah formal sama sekali ini akan tampak bodoh jika tanpa menimbang prinsip patnernya, yaitu barakah. Sebetulnya tidak, simbiosis-mutualisme tetap ada di sana. Apa itu barakah? Limpahan kebaikan. Secara sederhana, barakah dapat dicontohkan seperti belajar sedikit ilmu tapi bermanfaat bagi orang banyak dengan contoh seorang santri yang selama mondok ‘hanya’ berkhidmah di dapur untuk melayani makan guru dan kiai namun setelah pulang lantas jadi tokoh dan dituakan.

Itu merupakan contoh ‘imbalan yang tertunda’. Soal ganjaran dan pahala sebagai buah perbuatan baik, tak perlu mendatangkan dalil dan hujah agama lebih dulu untuk melakukannya. Sebab ada nilai kemanusiaan di sana yang dalam konsep ‘tri hita karana’ tersurat sebagai amal baik tiga sisi: tuhan, alam dan manusia. Jadi, untuk apa lagi mempertanyakan amal baik?

Di atas semua itu, alasan lain mondok adalah karena biaya pendidikan yang murah, ini tidak terbantah. Mengapa anak desa banyak yang pergi ke pesantren adalah karena mereka tidak perlu biaya ini-itu kecuali sumbangan ala kadarnya untuk biaya keseharian, seperti biaya makan, air, dan listrik. Jika ada pesantren yang biaya tinggal dan kesehariannya dianggap mahal itu disebabkan oleh fasilitas dan kenyamanan yang lebih baik daripada yang dibilang murah, jelas begitu.

M. Faizi

Seorang penulis, blogger, penggemar perjalanan naik bis.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago