Kalau kita amati, ada begitu banyak faktor akar-rumput intoleransi itu bisa tumbuh, berkembang, semakin menjalar dan terus mengakar di dunia pendidikan kita. Sehingga, faktor-faktor ini jika terus dibiarkan tumbuh, lembaga pendidikan akan terus menyumbang dosa-dosa berupa: melahirkan “generasi” yang akan merusak negerinya sendiri.
Misalnya, faktor yang paling berpengaruh tumbuhnya intoleransi di dunia pendidikan itu banyak dipengaruhi oleh pelajaran keagamaan yang sifatnya eksklusif dan reduksionis di bangku-bangku sekolah. Sering-kali menempatkan non-muslim sebagai “orang kafir” (musuh) umat Islam. Meniscayakan klaim kebenaran untuk menyalahkan semua kebenaran agama lain serta menempatkan peperangan melawan non-muslim sebagai jihad.
Pola pemahaman yang semacam ini sejatinya akan membentuk pola-pikir dan mental anak di bangku sekolah menjadi intolerant. Karena, pemahaman yang semacam itu akan melahirkan yang namanya “dendam masa lalu”. Dengan sebuah anggapan keliru, bahwa semua non-muslim adalah sosok orang kafir sebagai musuh yang terus diwariskan sepanjang zaman.
Maka, di sinilah kebencian dan permusuhan atas non-muslim semakin terbentuk. Karena dipengaruhi oleh “asupan doktrin” tentang prinsip beragama yang eksklusif dan reduksionis tadi. Sebab, anak-anak di sekolah tidak akan paham jika tidak diajarkan. Mereka tidak akan membenci jika tidak ada sebab pemahaman yang menjadi dasar kebencian itu dibentuk. Yaitu dari doktrin-pemahaman yang semacam itu.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita bersama, utamanya pihak guru yang memiliki tanggung-jawab besar. Untuk (mengubah paradigma) pengetahuan keagamaan yang sifatnya eksklusif dan reduksionis. Agar, menjadi inklusif dan egalitarian. Yaitu dengan meniscayakan kebenaran agama yang objektif bahwa mereka yang tidak memerangi umat Islam sejatinya bukan musuh.
Selain faktor di atas, kita mungkin familiar dengan sikap kekerasan secara fisik atau verbal di ruang kelas. Atau bahkan membeda-bedakan anak didik di sekolah berdasarkan agama atau identitas primordial. Ini adalah satu faktor yang menjadi problem bagaimana intoleransi itu terbentuk di lembaga pendidikan. Sebab, semua sikap yang semacam itu sama halnya mencerminkan sikap keras dan condong akan radikal. Serta anti terhadap perbedaan dan bersifat diskriminatif atas perbedaan itu sendiri.
Maka, di sinilah pentingnya untuk menjauhi segala yang berkaitan dengan kekerasan fisik atau verbal pada anak-anak. Untuk menggunakan pendekatan interaktif dan humanis. Karena ini akan berpengaruh terhadap karakter anak kelak ketika dewasa. Juga, sikap yang tidak membeda-bedakan atas anak di sekolah juga akan berpengaruh penting bagi mereka untuk menanamkan semangat (kesetaraan dan kebersamaan) tanpa pandang status identitas primordial.
Faktor yang tak kalah penting intoleransi terus mengakar di dunia pendidikan itu. Yaitu, prinsip-nilai Pancasila di bangku-bangku sekolah hanya dihafal dan dipahami semata. Tanpa menjadikan Pancasila sebagai kultur/budaya di dunia pendidikan untuk diaplikasikan. Sehingga, anak-anak hanya hafal nilai-nilai Pancasila tetapi dia kurang mengerti bagaimana fungsi dan tujuan nilai Pancasila itu sendiri.
Faktor yang semacam ini perlu kita hilangkan. Untuk bisa menkulturkan Pancasila di dunia pendidikan. Seperti menjadikan Pancasila sebagai tolak-ukur dari titik-temu semua pelajaran yang ada di sekolah. Mengimplementasikan Pancasila sebagai budaya sosial di lingkungan pendidikan dan segala bentuk perilaku dan aktivitas yang dimiliki. Harus korelatif dan konstruktif atas nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
This post was last modified on 4 Mei 2023 11:51 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…