Narasi

Bagaimana Roblox sebagai Socio-Digital Bisa Menjadi Begitu Mencekam?

Pada Januari 2025, seorang pria bernama James Wesley Burger menggunakan Robloxuntuk secara terbuka menyiarkan ancaman serangan ekstremis. Kasus ini merupakan ilustrasi gamblang dari tren yang mengerikan. Roblox dieksploitasi sebagai lahan subur untuk radikalisasi, rekrutmen, dan mobilisasi (GNET, 2025).

Karena itu, melihat Roblox hanya sebagai sebuah game entertainment adalah sebuah kesalahan. Sebaliknya, ia harus dipahami sebagai sebuah proto-metaverse. Sebuah “Dunia Ketiga” dengan lebih dari separuh dari 100 juta pengguna hariannya berusia di bawah 16 tahun (dan 20% di bawah 9 tahun).

Dalam ruang sosio-digital ini, di mana identitas dibentuk, komunitas ditempa, dan nilai-nilai dinegosiasikan, Roblox bertransformasi dari sekadar platform hiburan menjadi locus yang subur untuk manipulasi, eksploitasi, dan radikalisasi jika dibiarkan tanpa pengawasan yang memadai.

Dengan avatar balok yang khas dan lanskap kartun, Roblox memproyeksikan citra sebagai taman bermain virtual yang (harusnya) aman bagi jutaan anak dan remaja di seluruh dunia. Persepsi ini, bagaimanapun, mengaburkan realitas yang jauh lebih kompleks dan berpotensi berbahaya.

Isu utamanya terletak pada pemahaman bahwa bagi generasi pribumi digital (digital natives), dunia maya bukanlah selingan dari kehidupan nyata, melainkan perpanjangan dari kehidupan itu sendiri.

Ketika seorang anak kehilangan akun Roblox yang telah ia bangun selama bertahun-tahun, misalnya, kesedihannya bukanlah karena kehilangan progres permainan, melainkan karena kehilangan sebagian dari identitas sosialnya.

Akun tersebut merepresentasikan segala modal sosialnya, status dalam komunitas, aset virtual yang mungkin sudah banyak ia beli, dan kenangan dari ribuan jam interaksi. Investasi emosional dan psikologis yang mendalam inilah yang menjadi fondasi daya tarik Roblox, arsitektur kerentanannya. Platform ini memenuhi kebutuhan psikologis fundamental remaja dalam sebuah ekosistem yang dapat mereka kontrol sendiri. Bayangkan saja betapa fleksibelnya.

Namun, sifat user-generated content (UGC) yang menjadi jantung kreativitas Roblox juga merupakan pedang bermata dua. Ia menciptakan sebuah tantangan moderasi konten yang nyaris mustahil untuk diatasi secara sempurna.

Kelompok ekstremis tidak perlu meretas sistem. Mereka cukup membangun “pengalaman” atau game mereka sendiri di dalam Roblox. Mereka dapat merancang simulasi pertempuran yang secara halus menanamkan narasi ideologis, membuat ruang berkumpul virtual yang eksklusif, atau menggunakan simbol-simbol yang dinormalisasi dalam konteks permainan.

Kerentanan ini tidak teoretis. Kasus radikalisasi seorang remaja berusia 14 tahun di Singapura melalui Roblox adalah bukti empiris yang mengkhawatirkan. Prosesnya mengikuti alur yang dapat diprediksi, dari partisipasi dalam permainan umum, ia digiring ke dalam ruang obrolan ekstremis yang personal, seperti WhatsApp dan Telegram. Di sana, ia diindoktrinasi dengan propaganda Negara Islam (IS) hingga nalar kritisnya lumpuh dan ia siap merencanakan aksi kekerasan di dunia nyata.

Roblox dalam kasus ini berfungsi sebagai corong rekrutmen tahap awal. Sebuah tempat untuk mengidentifikasi individu yang rentan, membangun kepercayaan, dan kemudian memindahkannya ke platform komunikasi yang lebih privat dan terenkripsi seperti Discord atau Telegram untuk indoktrinasi tahap akhir. Pintu gerbang dari taman bermain ke medan perang ideologis ternyata sangatlah dekat.

Menyalahkan Roblox sepenuhnya berarti menyederhanakan masalah yang ada. Kenyataannya, perusahaan ini justru termasuk yang paling berkomitmen dalam hal keamanan, menginvestasikan sumber daya yang sangat besar di saat banyak platform lain memilih untuk menguranginya. Namun, skala tantangan yang mereka hadapi sungguh monumental.

Bayangkan saja, sistem mereka harus mengelola tsunami digital lebih dari 50.000 pesan obrolan setiap detik, yang berjumlah hingga 6,1 miliar interaksi per hari. Memantau banjir komunikasi dalam berbagai bahasa, dialek, dan slang yang terus berkembang secara real-time adalah sebuah tugas yang nyaris mustahil.

Menghadapi ini, Roblox telah merespons dengan kebijakan tanpa toleransi terhadap ekstremisme, yang bahkan mencakup perilaku di luar platform. Mereka juga merilis laporan transparansi tahunan dan telah meluncurkan lebih dari 100 fitur keamanan baru sepanjang tahun 2025, termasuk sistem AI canggih bernama Sentinel yang dirancang untuk mendeteksi tanda-tanda bahaya sejak dini.

Meski demikian, kasus-kasus baru terus bermunculan, menunjukkan betapa gigihnya para ekstremis beradaptasi dalam menemukan celah. Dilema utamanya adalah pada fitur-fitur yang membuat Roblox begitu menarik, yaitu kreativitas, kebebasan berekspresi, dan koneksi sosial, yang yang dieksploitasi secara cerdik oleh kelompok ekstremis.

Fenomena ini menunjukkan bahwa paradigma pengawasan orang tua yang berfokus pada pembatasan screen time sudah usang dan tidak relevan. Ancaman yang sebenarnya bukanlah durasi, melainkan kualitas interaksi dan konten yang dikonsumsi di dalam platform tersebut.

Tanpa kehadiran dan bimbingan orang dewasa yang memahami dinamika ini, anak-anak dibiarkan menyelami lanskap sosial yang kompleks di mana predator dan perekrut ekstremis dapat beroperasi dengan menyamar sebagai teman sebaya.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah pergeseran paradigma menuju pengasuhan digital aktif. Orang tua dan pendidik tidak boleh resistance terhadap update kehidupan digital anak. Mereka perlu memasuki dunia ini bersama anak-anak, bermain bersama mereka, bertanya tentang teman-teman virtual mereka, dan mendiskusikan dinamika komunitas yang mereka ikuti

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Anak di Peta Digital: Merebut Kembali Ruang Bermain dari Ancaman Maya

Dalam rentang dua dekade, peta dunia anak-anak telah bergeser secara fundamental. Jika dahulu tawa dan…

5 jam ago

Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

Sejak awal dipublikasi pada 2023 hingga hari ini, narasi zero terrorist attack memang tidak bisa…

5 jam ago

Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

Perubahan signifikan tengah terjadi dalam lanskap gerakan terorisme di Indonesia. Jika pada dua dekade pertama…

5 jam ago

Kewaspadaan Kolektif: Menjaga Fondasi NKRI dari Terorisme Digital

Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2024 yang menempatkan Indonesia pada status zero attack selama dua…

1 hari ago

Dari Warhammer ke Roblox; Visualisasi Ekstremisme di Semesta Gim Daring

Isu terkait penggunaan gim daring (online game) sebagai sarana terorisme sebenernya bukan hal baru. Maka,…

1 hari ago

Regenerasi Sel Teroris; Remaja dan Anak dalam Ancaman Gamifikasi Ekstremisme

Arah pemberantasan terorisme kita bisa dikatakan on the right track. Startegi yang memadukan antara pendekatan…

2 hari ago