Jika kita rutin membuka media sosial belakangan ini, maka kita akan disuguhi berbagai informasi dan narasi tentang kekerasan, kerusuhan, bentrokan, dan perilaku destruktif lainnya. Algoritma media sosial kita memang sedang didominasi oleh isu mutakhir seputar demo rusuh di sejumlah wilayah. Konsumsi berlebihan konten negatif tentu potensial membuat kita berpikir, apakah memang Indonesia segmenting itu?
Sebelum menyimpulkan, ada baiknya kita melihat dulu Indonesia dalam konteks luas. Tanpa mengecilkan peristiwa demonstrasi, namun sepertinya memang harus diakui jika euforia demonstrasi itu hanya dirasakan kelompok masyarakat tertentu. Utamanya masyarakat urban, kelompok kelas menengah terdidik, dan sejenisnya.
Di desa-desa, euforia demonstrasi rusuh itu nyaris tidak terasa. Di kawasan pedesaan, sepekan terakhir ini masyarakat sibuk mengisi bulan kelahiran Nabi Muhammad dengan berbagai tradisi dan ritual. Di kawasan pedesaan yang notabene merupakan basis Nahdliyin, umat Islam sejak hari pertama bulan Rabiul Awal sudah sibuk dengan beragam kegiatan.
Laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak tiap malam selepas maghrib atau isyak pergi ke surau atau masjid untuk berkumpul dan membaca syair-syair pujian untuk Rasulullah. Kitab-kitab seperti Maulid Barzanji, Maulid al-Diba’I, Maulid Simthut Durar, Qasidah Burdah, dan Maulid adh Dhiya’ ul Lami’ dibaca bergantian dengan cara dilagukan.
Irama khas perpaduan gaya Timur Tengah dengan cengkok Melayu berpadu indan. Lantunan sholawat dari surau dan masjid itu menambah nuansa magis bulan Maulud di desa-desa. Kerinduan pada sosok Rasulullah diekspresikan dengan melantunkan sholawat serta puji-pujian terhadap sosok Nabi terakhir itu.
Setelahnya, digelar acara “kembulan” alias makan bersama. Nasi lengkap dengan urapan, dan lauk pauk, digelar di atas nampan besar lalu dikerubungi 4-5 orang yang duduk melingkar. Makan bersama itu kian menambah kuat ikatan ukhuwah islamiyyah. Ritual itu dilaksanakan saban malam dari tanggal 1 sampai mencapai puncaknya, yakni malam 12 Rabiul Awal.
Sebagai malam penutup, biasanya digelar pengajian akbar dengan mengundang kiai atau ulama yang populer. Pengajian itu diadakan swadaya oleh warga. Bersama-sama mereka menghimpun dana dari iuran dan sumbangan. Konsumsi disiapkan oleh para perempuan. Sementara laki-laki bertugas menyiapkan panggung, tenda, dan segala rupa lainnya.
Itulah gambaran suka-cita masyarakat desa yang sederhana dalam merayakan maulid Nabi. Fenomena itu menjadi cerminan bahwa kerukunan bangsa itu harus dibangun mulai dari desa. Ketika kaum urban terlalu jauh terjerumus ke dalam narasi adu-domba dan provokasi, masyarakat desa masih menyisakan ruang untuk saling bekerjasama tanpa memandang status sosial apalagi afiliasi politik.
Hari ini, spirit persaudaraan alias guyup-rukun itu semakin hilang dari kehidupan sebagian masyarakat kita. Isu-isu sosial politik kerap menjadi semacam alat untuk memecah belah umat dan menimbulkan segregasi. Beda pilihan politik dianggap musuh. Tidak sepakat dengan gerakan politik dianggap apatis.
Tidak sedikit yang menganggap masyarakat desa itu apatis. Bahkan, masyarakat desa kerap dilabeli golongan tidak kritis. Mungkin karena masyarakat desa tidak intens terlibat dalam gerakan politik seperti demonstrasi massa dan sejenisnya. Padahal, sebenarnya bukan karena itu. Masyarakat desa juga memiliki nalar kritis dan tidak apatis.
Namun, mereka kerap kali memiliki insting yang tajam untuk membedakan mana aspirasi yang murni dan mana yang sekedar hanya mencari sensasi. Demonstrasi masyarakat Pati ke kantor KPK tempo hari adalah contohnya. Mereka berangkat dari kota asalnya, Pati, pagi-pagi dengan menaiki 8 bus. Mereka membawa bahan makanan dan alat masak.
Sesampainya di kantor KPK, mereka menggelar aksi, audiensi dan sholat bersama. Sembari itu, dapur umum yang didirikan secara swadaya itu menyiapkan makan siang. Ketika acara usia, mereka makan siang bersama lalu pulang dengan tertib ke kampung halaman. Warga Pati seolah ingin memberikan pelajaran pada warga Jakarta bagaimana menjalankan aksi demo damai tanpa huru-hara.
Masyarakat desa adalah cerminan bagaimana strategi mitigasi dan resolusi konflik diterapkan dengan pendekatan lokalitas. Tradisi Muludan menjadi salah satu ritual yang menggambarkan praktik resolusi dan mitigasi konflik dijalankan. Muludan bukan sekadar ritual keagamaan. Muludan adalah aktivisme sosial yang melibatkan sebuah komunitas yang anggotanya beragam.
Dalam acara Muludan, setiap individu memiliki peran sosialnya masing-masing. Terjadi interaksi sosial dalam bingkai guyup dan rukun antar-warga. Terjadi proses diskusi, negosiasi, dan kompromi diantara sesama warga. Perbedaan pandangan dan ide diakomodasi melalui musyawarah yang dilandasi kesadaran untuk saling memahami.
Konflik adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa. Kita tidak dapat menganulir konflik. Namun, kita bisa mengelola konflik dengan strategi resolusi dan mitigasi. Resolusi konflik adalah upaya menyelesaikan konflik dengan pendekatan non-kekerasan. Sedangkan mitigasi konflik adalah langkah pencegahan atas terjadinya konflik.
Muludan sebagai tradisi lokal Nusantara adalah produk budaya yang potensial menjadi bagian dari strategi resolusi dan mitigasi konflik. Tradisi Muludan mengandung makna filosofis sekaligus nilai sosiologis. Secara filosofis, Muludan adalah bentuk rasa cinta pada Rasulullah dan upaya meneladani sikap dan perilakunya dalam kehidupan.
Sedangkan dari sisi sosiologis, tradisi Muludan menjadi instrument penting dalam merawat ukhuwah islamiyyah, wathaniyah, dan basyariyah. Tradisi Muludan menjadi semacam aktivisme religio-kultural yang menyatukan individu dari beragam latar belakang. Dari tradisi Muludan dan muslim pedesaan, kita belajar bagaimana kepentingan dinegosiasikan dan dikompromikan.
Pada tanggal 5 September, umat Islam di seluruh dunia akan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW,…
Dalam sepekan terakhir kita disuguhi pemandangan brutal ketika gerombolan massa meluapkan amarah kolektifnya. Ada yang…
Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia. Pada dasarnya, demonstrasi adalah hak konstitusional warga…
Akun TikTok @ekalastri333 dengan pengikut 12, 9 ribu dan menulis di bio profilnya sebagai “pengemban…
Demokrasi adalah ruang hidup bangsa. Ia bukan sekadar sistem politik, melainkan jalan bersama untuk menyalurkan…
Di pengujung Agustus 2025, demokrasi kita kembali menorehkan luka. Dua nama, Rheza Sendy Pratama di…