Narasi

Balada Generasi Bingung

Pada sebuah kesempatan, bersama beberapa kawan, saya mendiskusikan keadaan yang secara sekilas tampak keseharian, tapi ternyata memiliki efek yang tak dapat diremehkan. Pada beberapa aksi demonstrasi yang berujung ricuh di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, kepolisian berhasil menangkap para pelakunya yang di antaranya masih duduk di bangku sekolah menengah dan bahkan sekolah menengah pertama. Apakah hal ini berarti civil society yang dimimpikan oleh para aktivis sudah tercapai atau ada yang salah pada pemberdayaan mereka yang terkesan membingungkan? Atau memang ada kepentingan lain di luar ideal-ideal para aktivis dan pejuang demokrasi ataupun keadilan selama ini?

Sempat pula saya ajukan sebuah pertanyaan pada kawan-kawan saya itu, kenapa hampir semua aksi yang kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah, setidaknya yang mereka dukung, berujung gagal dan kewirangan? Tak satu pun jawaban mereka yang memuaskan saya saat itu. Saya mengajukan beberapa analisa tentang segala pergerakan, entah politik, kebudayaan, kriminalitas, keagamaan dan spiritualitas di era pasca modern yang sangat berbeda corak dan karakteristinya dengan di masa silam (Montase Radikalisme Kontemporer, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Kawan-kawan saya itu, setahu saya, pada dasarnya tak pernah terlibat secara nyata. Mereka rata-rata sudah nyepuh, yang saya tahu, hanya berfungsi secara simbolik dan figuratif belaka. Persis sebagaimana “dalang” yang diduga berada di balik berbagai aksi yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini, yang sampai ia dapat ditangkap pun tak pernah melemahkan pergerakan kaum oposan atau bahkan yang sudah mengarah pada makar dan terorisme.

Pergerakan-pergerakan yang bagi saya membingungkan tersebut pada dasarnya tak terkonsentrasi pada satu titik saja. Sebagaimana yang terjadi pada aksi-aksi yang berujung anarkis beberapa waktu lalu, soal Omnibus Law, ternyata para perusuh itu kebanyakan datang dari luar kota yang semakin menambah bukti tentang apa yang pernah saya catat sebagai upaya pendiseminasian konflik agar meluas (ombo) danmencapai efek yang massif (Diseminasi Konflik dan Hikayat Kentut, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Kerapkali pergerakan-pergerakan ini dikemas dengan ideologi ataupun spiritualitas semu yang berangkat dari histeria dan neurosis obsesional yang bersifat massal (Di Antara Bayang-Bayang: Mewaspadai Politik dan Spiritualitas Terlarang, Heru HarjoHutomo, https://jurnalfaktual.id).

Efek yang cukup mengkhawatirkan atas semua pergerakan membingungankan di atas adalah pada relasi antara anggota keluarga. Seandainya dahulu adalah para perempuan atau isteri kita yang menjadi target semua pergerakan semu itu (Radikalisasi dari Bawah: Mengurai Jejaring Radikalisasi Keagamaan di Akar Rumput, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id), kini mereka—dengan berbagai bukti yang ada tentang keterlibatan anak-anak yang masih dalam proses pembentukan diri—menyasar anak-anak kita. Jangan heran ketika anak-anak kita tiba-tiba memiliki orangtua lain selain kita dimana peran dan fungsi kita sebagai suami dan bapak diam-diam dilucuti atau dibenamkan sedemikian rupa, sampai suatu saat kita tak lagi memiliki kendali, wewenang dan bahkan kasih-sayang pada anak-anak kandung kita sendiri. Pada belantara diskursus apapun dapat terjadi. Sebab, di hari ini, diskursuslah yang membentuk realitas dan bukan yang sebaliknya. Akankah secara simbolik ataupun diskursif kita akan kembali kehilangan darah daging kita sendiri setelah, barangkali, isteri kita?

Dengan melihat berbagai pola, struktur, dan jejaring terorisme kontemporer di Indonesia, yang bagi saya menggunakan bentuk purbanya, premanisme, entah yang secara membingungkan berkemaskan agama ataupun ideologi tertentu, sangat dimungkinkan seandainya anak-anak itu akan tumbuh dengan kebingungan yang akut karena tanpa kita sadari tak sekedar habitat yang kasat mata yang membentuk mereka, tapi sudah habitus yang tak kasat mata yang mengarah pada sisi dalam—pikiran, mental dan kejiwaan—para anak-anak. Terkadang, sebagai orangtua, kita terlalu menyepelekan perilaku anak-anak kita yang ketika dirumah cenderung memilih diam dan tak seperti ada apa-apa hingga nanti segalanya sudah terlambat (Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).   

This post was last modified on 18 November 2020 1:59 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

9 jam ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

9 jam ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

9 jam ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

9 jam ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

1 hari ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

1 hari ago