Baru-baru ini masyarakat Indonesia dibuat heboh oleh satu peristiwa. Ini tidak lagi cerita soal Mukidi, tetapi berita dari seorang bocah beranjak remaja, berinisial IAH yang melakukan percobaan bom bunuh diri di Gereja St. Yohanes, di Jl. Dr. Mansur, Medan. Meskipun aksi tersebut berhasil digagalkan sebelum pelaku menuntaskan misinya, tetapi banyak sekali cerita miris yang patut kita amati dan waspadai.
Pelaku masih anak-anak, pelaku menyimpan atribut mirip ISIS di dompetnya, pelaku mengaku diiming-imingi oleh seorang tak dikenal, pelaku mengaku terinspirasi oleh bom di Perancis melalui internet, pelaku belajar membuat bom dari internet. Data-data tersebut harus dipelajari secara mendalam guna merangkai sebuah fakta sebenarnya, karena banyak pengamat yang susah menahan diri dengan membangun opini seolah telah mencapai jalan pintas menembus kebenaran faktual.
Alih-alih memberikan analisa faktual, beberapa akun penyebar fitnah secara cepat mengambil peristiwa ini dalam sudut sentimen keagamaan. Narasi mulai dikembangkan bahwa pelaku dari keluarga non muslim, belum khitan, KTP palsu, tulisan Arabnya salah dan lainnya. Inti dari beberapa isu yang dihembuskan itu bahwa “teror bom gagal” tersebut adalah fitnah terhadap umat Islam yang didalangi oleh pihak tertentu. Saya hanya membayangkan jika teror ini berhasil, narasi yang dikembangkan akan berbeda semisal: “pelaku Syahid”, “Pelaku Mati tersenyum”, “jasadnya Wangi” dan lain-lain.
Narasi dari kelompok seperti itu memang tidak ada habisnya. Tapi bukan itu poin yang ingin saya bahas. Membahas gosip dari penyebar fitnah hanya menyia-nyiakan energi, padahal banyak hal penting di balik peristiwa yang mesti kita ulas dari pada tergiring opini kelompok yang sengaja memperkeruh sebuah peristiwa.
Ini juga bukan persoalan apakah IAH itu Islam atau tidak dan apakah terorisme itu terkait Islam atau tidak. Persoalan itu sudah tuntas dengan beberapa statemen dan fatwa Ulama bahwa terorisme tidak sama dengan jihad dan terorisme bukan ajaran Islam. Umat beragama di Indonesia telah cerdas dan dewasa dalam menghadapi pelbagai peristiwa terorisme dengan tidak mudah diadu domba oleh sentimen keagamaan.
Sebetulnya ada beberapa hal lebih penting untuk kita ambil pelajaran dari kejadian tersebut. Pertama, terorisme masih menjadi ancaman nyata di Indonesia dan bisa menyasar di daerah manapun dalam bentuk apapun dan dari individu dan kelompok manapun. Terorisme tidak hanya ancaman fisik, tetapi juga ancaman laten yang berusaha membelah kesatuan dan kerukunan dalam sudut kecurigaan horizontal.
Kedua, pemuda bahkan anak-anak telah terbukti rentan terhadap korban ajakan dan indoktrinasi paham kekerasan dan terorisme. Pelaku teror yang masih belia dengan status pelajar pun bukan hal baru. Mungkin kita masih ingat dengan beberapa siswa salah satu SMK di Klaten yang terkait dengan jaringan terorisme.
Ketiga, latar belakang keluarga yang baik, kaya, dan terpandang bukan jaminan anak tidak terkontaminasi ajakan dan ajaran kekerasan. Menjadi radikal bukan persoalan semata ekonomi, tetapi banyak faktor masa belia yang mendorong anak jatuh dalam jejaring kelompok dan tindakan kekerasan, semisal faktor pencarian identitas, ekspresi kegagahan, krisis kepercayaan, dan kedangkalan pemahaman keagamaan.
Keempat, lahirnya fenomena “lone wolf” atau serigala tunggal dari pelaku teror amatiran yang bergerak sendiri menciptakan peristiwa teror tanpa jaringan atau sel terputus. Fenomena ini merupakan gejala serius dari wajah baru terorisme. Seseorang terinspirasi, terobsesi dan menjadi radikal, bukan karena jaringan besar, tetapi proses radikalisasi terjadi secara mandiri (self-radicalization) akibat teracuni secara terus menerus doktrin kekerasan. Karena itulah, dalam kasus Bom Gereja Medan pelaku sangat amatiran baik dari aspek perencanaan, peralatan, hingga aksinya.
Fenomena lone wolf muncul seiring dengan pemanfaatan secara massif jaringan internet oleh kelompok radikal terorisme. Banyaknya konten negatif berupa ajakan kekerasan, kebencian, hasutan, provokasi, dan panduan dan pelatihan bom yang berserakan di dunia maya menjadi daya dorong lahirnya serigala-serigala baru dengan motif apapun dan dari golongan manapun.
Sudah Saatnya Cerdas di Dunia Maya
Dari peristiwa Bom Gereja Medan tersebut hal yang harus diwaspadai bukan ketakutan fitnah terhadap Islam, tetapi fitnah, hasutan dan ajakan kekerasan dan terorisme yang mulai berserakan di dunia maya. Konten bernuansa negatif tersebut telah nyata memakan korban khususnya dari kalangan generasi muda.
Kejadian Bom di Medan adalah salah satu contoh dari beberapa korban dunia maya yang telah menginspirasi kekerasan di dunia nyata. Leopard Wisnu, pelaku tunggal bom di Mall Alam Sutera mengaku melakukan teror dengan membuat bom secara otodidak yang dipelajari dari media sosial. Atau masih ingatkah dengan Judi Novaldi, pemuda asal Jambi, yang menyandera ayah dan adiknya yang mengaku terinsipirasi dan membeli atribut yang biasa digunakan ISIS melalui jejaring media sosial.
Contoh-contoh tersebut hanyalah riak kecil dari arus besar di bawah permukaan yang mungkin tidak terungkap. Artinya, betapa siar kebencian, hasutan, fitnah, hingga pembelajaran kekerasan mudah ditemukan di dunia maya dan mudah memakan korban dengan menginspirasi anak muda melakukan kekerasan di dunia nyata.
Sebelum korban berikutnya berjatuhan, rasanya kalangan generasi muda yang sudah menjadikan internet sebagai salah satu aktifitas penting sehari-hari harus berhati-hati. Dunia maya adalah hutan rimba yang menyediakan berbagai konten baik positif maupun negatif. Gunakan perangkat cerdas anda dengan sikap yang cerdas.
Cerdas itu tidak mudah percaya dengan berbagai konten di dunia maya. Teliti kebenaran konten dengan membandingkan dengan sumber lainnya. Terakhir jangan ragu untuk menjadikan keluarga tempat berkonsultasi dan diskusi hal janggal yang ditemukan di dunia maya. Hal ini juga menjadi alert bagi orangtua untuk bersikap cerdas dengan cara mengawasi dan mengajak diskusi anaknya sehingga tidak terus dicekoki berita di internet yang menyesatkan yang membuat mereka terobsesi ajakan dan ajaran kekerasan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…