Narasi

Begini Pandangan Gus Dur Terkait Relasi Agama dengan Pancasila

Sebagai manusia yang mengaku beragama, ber-Islam, patut dan wajib bagi kita untuk berusaha mengerti, menghayati, dan mentaati segala hukum dan tata aturan negara yang berlaku dalam kehidupan berbangsa. Tujuannya adalah demi kemaslahatan manusia dan kehidupan berkebangsaan yang aman serta damai.

Rasa-rasanya kita perlu berkaca pada sosok bapak bangsa almarhum K.H. Abdurrahman Wahid atau yang sering dikenal dengan nama Gus Dur. Menurut Gus Dur membangun demokrasi, terutama mengenai relasi Islam dan Pancasila termasuk dalam kategori subtansif-inklusif. Paradigma ini tidak menekankan formalisasi agama dalam sebuah institusi negara.

Gus Dur lebih menekankan realisasi nilai-nilai agama Islam dalam sebuah institusi negara yang sudah ada tanpa harus menunggu dilembagakan atau diformalkan. Sebab, dalam fakta sejarah Islam Nabi SAW tidak pernah menganjurkan untuk memformalkan agama Islam atau bahkan mendirikan negara Islam (Warno, 2009). Oleh karenanya, ber-Pancasila dengan mematuhi hukum serta kebijakan pemerintah sebagai representasi negara adalah suatu keniscayaan.

Hal tersebut ditegaskan, Gus Dur pernah mengatakan “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asa dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam.”

Indonesia butuh sosok guru bangsa seperti Gus Dur, yang tak segan-segan berani melawan oknum-oknum pembangkang negara karena taklid buta terhadap agama serta memerangi gerakan anti-Pancasila, termasuk yang berkedok agama.

Gus Dur dalam kapasitas sebagai pemimpin, baik ketika menjadi ketua Umum PBNU 3 periode, (1984-1999) dan Presiden Republik Indonesia ke-4, serta geraknya dalam wilayah politik merupakan guru bangsa yang rajin dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi dan toleransi beragama. Gus Dur pun tak segan-segan berani menolak formalisasi sistem Khilafah, karena hanya akan melegalkan aneka bentuk pemaksaan.

Dalam sebuah negara yang di dalamnya terdapat bangsa yang bercorak plural, pada dasarnya bernegara merupakan hukum alam atau sunatullah. Bahkan, akan menjadi wacana yang berkelanjutan ketika disandingkan dengan pemahaman terhadap Pancasila (Effendi, 1998: 1992).

Masyarakatnya akan terbelah ke dalam berbagai suku, ras, bahasa, kultur, dan agama. Dengan demikian, sebagai sebuah fenomena, kemajemukan tak bisa dihindari. Keberagaman berlangsung dalam pelbagai ruang kehidupan. Akhirnya, akan berada dalam dunia kemajemukan.

Dengan mengedepankan Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh semesta alam. Islam akan selalu mengayomi dan melindungi semua pihak, ketika ada yang merasa dirugikan, terancam, atau bahkan teraniaya.

Maka dari itu, menurut Gus Dur bangsa Indonesia harus berpegang teguh kepada Pancasila dan UUD ‘45. Bagi Gus Dur, Pancasila merupakan syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional.

Pancasila merupakan kompromi politik yang memungkinkan semua bangsa Indonesia hidup secara bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional. Pandangan seperti inilah yang menunjukkan dalam bahwa dalam melihat sebuah negara harus selalu didasarkan realitas objektif, bukan sekadar idealisasi konseptual.

Warno (2009) mengungkapkan, Gus Dur juga dengan penuh keyakinan beranggapan bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk dalam kategori “negara damai” (dar al-Sulh). Sebuah konsepsi negara dan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara, dar al-Islam, dar al-Harb, dar al-Sulh (negara Islam, negara perang, negara damai).

Pancasila melalui slogannya “Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Itu artinya, bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku, bangsa, dan bahasa, tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah common platform, landasan hidup bersama yakni Pancasila.

Oleh karena itu, pada intinya bahwa posisi keagamaan ada hubungannya dengan negara, yaitu Pancasila. Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam Pancasila tidak ada prinsip yang menentang agama.

Dengan demikian prinsip-prinsip Pancasila secara harfiah merupakan pesan utama semua agama, di mana ajaran Islam yang dikenal sebagai maqashid al-syari’ah, yang bermanfaat bagi semua lapisan bangsa-bangsa di negeri ini tanpa terkecuali.

This post was last modified on 2 Juni 2021 1:00 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

18 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

18 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

18 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago