Narasi

Belajar dari India, Benih Sektarianisme Jangan Dibiarkan Tumbuh

Konflik India–Pakistan di satu sisi dilihat sebagai upaya konstruksi elit lokal India untuk mengesankan sisi “evil” di pihak Pakistan. Dalam bahasa lain, aktor elit politik memanipulasi ancaman untuk menegaskan posisinya di kursi kekuasaan. Situasi ini bisa dilacak pada pemerintahan Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang telah menggabungkan Hindu nasionalisme dengan logika keamanan negara.

Sejak masa kampanye pemilu 2014, retorika BJP kerap menggambarkan Pakistan sebagai sarang terorisme yang mengancam integritas India. Dalam retorika resmi maupun narasi media partisan, Pakistan adalah cermin dari “apa yang salah” dalam pendekatan lunak terhadap ancaman nasional (Virdika, 2025).

Tetapi di sisi lain, skenario ini seperti mendapat dukungan penuh dari akar rumput. Tudingan India soal “sarang teror” di Pakistan membuat alasan agresi itu menjadi masuk akal karena di dalam negeri India pun benturan antara Islam-Hindu terjadi sangat keras sejak masa lampau.

Pada 2021 lalu, tagar “Boycott India” pernah viral di media sosial, buntut dari pernyataan Juru Bicara Bharatiya Janata Party (BJP), Nupur Sharma yang terindikasi mengandung penistaan terhadap Nabi Muhammad. Tegangan serupa juga terjadi akhir tahun yang sama ketika seruan genosida umat Muslim menyeruak di tengah konferensi di India. Waktu itu, ekstrimis Hindu yang menggunakan pakaian khas keagamaan menyerukan untuk membunuh muslim dan “melindungi” negaranya.

Umat Muslim di India juga mengalami berbagai macam kesulitan dalam mengakses hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti misalnya, akses terhadap rumah ibadah, akses pendidikan, pekerjaan, hingga pelayanan-pelayanan sipil.

Diskriminasi semacam ini, berdasarkan laporan media misalnya The Diplomat dan BBC, merupakan dampak dari kebijakan pemerintahan India yang kini dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi dari partai yang sama dengan Nupur Sharma, BJP.

BJP merupakan partai yang terafiliasi dengan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), kelompok ultranasionalis Hindu. RSS diinisiasi oleh V.D. Savarkar pada 1923 sebagai kelompok yang berpandangan Hindutva. Hindutva memiliki kredo yang meyakini bahwa umat Hindu adalah “Putera Sejati Tanah India” dan ingin menjadikan India negara Hindu.

Kelompok ultranasionalis tersebut merupakan anak kandung dari berbagai konflik yang melibatkan Islam dan Hindu sepanjang lintasan sejarah. Misalnya, kasus sengketa Masjid Gyanvapi yang dibangun pada abad ke-17. Kelompok Hindu mengklaim bahwa bangunan masjid itu berdiri di atas tanah reruntuhan bekas kuil Hindu yang dihancurkan kaisar Mughal, Aurangzeb.

Gesekan itu menjadi salah satu sumbu api konflik antar dua agama  itu. Pertikaian itu rupanya juga terjadi dalam ranah politik pada tahun 1940’an antara Islam vis a vis Hindu dalam bentuk perseteruan antara Partai Kongres India (INC) dengan British Raj. Konflik itulah yang kemudian memicu berpisahnya dua negara; India dan Pakistan.

INC kemudian konsisten dijadikan kendaraan politik oleh politisi India untuk menaikkan pamor kekuasaannya. Misalnya, Perdana Menteri Indira Gandhi yang mengeksploitasi isu agama untuk mengembalikan INC ke puncak kekuasaan India pada periode 1980’an. Rajiv Gandhi menggunakan pola yang sama dengan menjadikan INC mayoritas Hindu. Bagai api dalam sekam, tensi itu meledak pasca Modi dan BJP berkuasa pada 2014.

Setahun setelah BJP berkuasa, masa pendukung Modi membunuh sekitar 49 peternak Muslim karena menjual dan menyembelih sapi yang tak sesuai dengan ajaran Hindutva. Perlakuan rezim Modi terhadap komunitas Muslim pada akhirnya mendapatkan penentangan dari dunia internasional, misalnya dari Hindus For Human Rights yang ingin menegakkan nawacita pluralisme agama dan menentang “ajaran Hindutva”.

Perhatian internasional itu muncul secara masif utamanya ketika Modi meloloskan kebijakan yang terkesan diskriminatif bagi Islam pada 2019 dengan mengesahkan amandemen UU kewarganegaraan yang hanya mempercepat migran bagi non-Muslim dari Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan.

Gejolak sektarian lokal itu seakan semakin mendapat angin segar berkat kebijakan militan yang dilakukan oleh kelompok elitis di India. Di luar apakah memang Pakistan memancing serangan, kita bisa memahami bahwa infiltrasi paham sektarian sangat subtil dan laten.

Mungkin doktrin Hindutva terlalu kejam jika dibayangkan dalam imaji negeri Indonesia, tapi kita mempunyai preseden dalam wujud ISIS dan Taliban di negeri nun jauh di sana. Bukan tidak mungkin, kelompok-kelompok beraliran serupa akan terus tumbuh di Indonesia jika kita terlalu lunak. Ketika ia telah membesar, maka api dalam sekam itu akan meledak tiba-tiba.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Solusi Dua Negara, Amanat UUD 1945, dan Refleksi Hari Kesaktian Pancasila

Hari Kesaktian Pancasila yang setiap tahun diperingati pada tanggal 1 Oktober selalu mengingatkan bangsa Indonesia…

13 jam ago

Global Sumud Flotila: Solidaritas Transational untuk Kemerdekaan Palestina

Di tengah biru Laut Mediterania yang tenang, terdapat puluhan armada kapal sipil yang datang dari…

13 jam ago

Kejawen di Tengah Solusi Dua Negara: Israel dan Palestina

Seorang pujangga kenamaan Jawa, Ronggawarsita, mengabarkan bahwa bangsa Jawa adalah keturunan Nabi Ismail dari jalur…

15 jam ago

Hari Kesaktian Pancasila: Pancasila Sakti sebagai Perekat Bangsa

Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini bukan sekadar seremoni…

1 hari ago

Menerjemahkan Semangat Hari Kesaktian Pancasila dalam Diplomasi Mendukung Kemerdekaan Palestina

Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia untuk…

1 hari ago

Kesaktian Pancasila di Era Multipolar; Kembalinya Soft Diplomacy Indonesia di Kancah Internasional

Pidato Presiden Prabowo di Sidang PBB tempo hari bukan sekedar seremoni belaka. Pidato itu dalam…

1 hari ago