Narasi

Belajar dari Sejarah, Sinergi Ulama – Umara Kunci Kekuataan Bangsa

Sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan hingga pembangunan nasional, sinergi antara keduanya membuktikan keberhasilan dalam membangun dan memperkuat identitas nasional. Namun, di era disrupsi informasi seperti sekarang, tantangan baru muncul. Bagaimana ulama dan umara dapat bersinergi dalam menjaga persatuan di tengah arus informasi yang tak terkendali?

Sejarah Indonesia mencatat peran ulama dan umara dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan. Pada masa lali, ulama memberikan panduan moral dan spiritual kepada para pejuang, sementara umara mengoordinasikan perlawanan di lapangan. Peran keduanya tidak hanya terbatas pada medan perang, tetapi juga dalam memberikan arah dan visi untuk pembangunan bangsa setelah merdeka.

Kita bisa belajar dari sejarah bagaimana sinegri ulama dan umara terjalin. Sinergi antara Presiden Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai umara dengan KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai lainnya sebagai ulama terwujud dalam semangat perjuangan melawan penjajah. Ulama memberikan legitimasi agama untuk perjuangan tersebut, sementara umara menjalankan roda pemerintahan. Keberhasilan meraih kemerdekaan menjadi bukti bahwa sinergi antara ulama dan umara dapat mencapai tujuan besar.

Setelah merdeka, peran ulama dan umara terus diperlukan untuk membangun negara yang baru. KH. Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU), memberikan kontribusi besar dalam memantapkan nilai-nilai keislaman di tengah masyarakat. Sementara itu, umara seperti Soekarno dan Hatta mengambil peran penting dalam merancang dasar negara dan konstitusi, menggambarkan keseimbangan yang dijaga antara aspek agama dan kehidupan berbangsa.

Kini di era disrupsi informasi, di mana informasi dapat dengan mudah disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, kebutuhan akan pedoman moral dan panduan rohaniah semakin mendesak. Ulama, dengan peran sebagai pemimpin spiritual, dapat membimbing masyarakat untuk menyaring informasi dan memahaminya dengan bijak.

Umara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan regulasi dan kebijakan yang melindungi masyarakat dari dampak negatif informasi yang tidak benar atau provokatif. Kesinergian antara keduanya dapat terwujud dalam pembentukan lembaga atau komite yang terdiri dari ulama dan umara untuk mengkaji isu-isu kontroversial dan memberikan panduan kepada masyarakat.

Sejarah telah membuktikan bahwa sinergi ulama dan umara tidak hanya berhasil dalam mencapai kemerdekaan, tetapi juga dalam menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Dalam era disrupsi informasi, tantangan persatuan semakin kompleks. Informasi yang beredar di berbagai media sering kali tidak terverifikasi dan dapat memecah belah masyarakat.

Ulama dapat memainkan peran kunci dalam memberikan pemahaman yang benar tentang nilai-nilai keislaman dan mengajak umat untuk menjaga persatuan. Kesadaran akan pentingnya kebersamaan, keadilan, dan toleransi dapat dibentuk melalui khutbah, ceramah, dan literatur keagamaan yang dapat diakses oleh masyarakat luas.

Umara, di sisi lain, memiliki tugas untuk menciptakan kebijakan yang mendukung kerangka kerja persatuan. Pembentukan lembaga atau program pendidikan yang melibatkan ulama dalam mendidik masyarakat tentang literasi informasi dan kritis dapat menjadi langkah nyata.

Tentu saja ulama dan umara perlu bersatu untuk memberikan panduan yang benar dan mencerahkan umat di tengah gelombang informasi yang kadang membingungkan. Keduanya harus mampu berkolaborasi dalam menyediakan konten-konten edukatif di media sosial, menggelar forum diskusi bersama untuk membahas isu-isu terkini, dan berperan aktif dalam membentuk narasi positif untuk menjaga keharmonisan masyarakat.

Sinergi ini harus didasarkan pada saling pengertian antara ulama dan umara. Ulama perlu memahami dinamika sosial dan teknologi informasi, sementara umara harus menghargai kearifan spiritual ulama. Hanya melalui kerjasama yang solid, Indonesia dapat tetap bersatu di era disrupsi informasi ini.

Dalam menghadapi masa depan, sinergi ulama dan umara harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan bangsa. Melalui pendekatan yang holistik, kedua pihak dapat membentuk masyarakat yang cerdas, kritis, dan penuh toleransi. Bersama-sama, mereka dapat menjaga persatuan Indonesia di era disrupsi informasi, menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan, dan menciptakan bangsa yang maju dan harmonis.

This post was last modified on 22 November 2023 1:43 PM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Menimbang Pendidikan Anak: Benarkah Kurikulum Tahfizh Tersimpan Virus Intoleransi?

Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan berbasis tahfizh (hafalan Al-Qur’an) semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia.…

2 jam ago

Sekolah Rakyat; Upaya Memutus Radikalisme Melalui Pendidikan

Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Sekolah Rakyat. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan…

2 jam ago

Ruang Perjumpaan Keragaman Anak Kian Menyempit: Dari Sekolah, Lingkungan, dan Gawai

Indonesia lahir dari rahim perbedaan. Ratusan suku, bahasa, agama, dan tradisi bersatu dalam satu entitas…

2 jam ago

Seni Merawat Fitrah Anak

Dalam khazanah Islam, amanah mendidik seorang anak adalah sebuah kehormatan sakral, sebuah tugas yang menuntut…

21 jam ago

Refleksi HAN 2025; Menjaga Fitrah Anak dari Embrio Intoleransi dan Radikalisasi

Saban tanggal 23 Juli, kita memperingati Hari Anak Nasional. Sebuah peringatan untuk menyadarkan seluruh elemen…

21 jam ago

Menghadirkan Kurikulum Cinta di Sekolah Keagamaan; Ikhtiar Membangun Persaudaraan Lintas-Iman

Kementerian Agama dibawah kepemimpinan Nasauddin Umar telah meluncurkan program Kurikulum Cinta. Konsep ini merupakan refleksi…

1 hari ago