Narasi

Bencana dan Bingkai-Bingkai Pemaknaannya

Tan ingsun maparangah

Mring kahananmu

Sakaliring dudu jati

Amung daden kang ngreridhu

Nanging tumraping margi

Linampahan kanthi tanggon

–Heru Harjo Hutomo

Dalam bidang epistemologi terdapat beragam cara pandang dalam memaknai sesuatu. Realisme adalah salah satu cara pandang yang menyatakan bahwa sesuatu itu memang benar-benar ada terlepas dari pembenaran bahwa sesuatu itu ada. Sementara konstruktivisme menyatakan bahwa sesuatu yang benar-benar ada itu tak dapat dilepaskan dari ativistas dan pelaku yang menyatakan ada itu.

Lazimnya orang akan mengatakan bahwa bencana alam itu benar-benar ada terlepas dari kita menganggapnya ada atau tak ada. Jadi, misalnya, tanpa orang menganggap dan menyatakannya ada bencana itu tetap ada. Sementara konstruktivisme mempertanyakan apakah benar bencana alam itu benar-benar ada tanpa embeel-embel peristiwa tektonik atau pergeseran dan tumbukan lempeng Bumi (sains), kutukan karena tak menerapkan khilafah ataupun syari’at Islam (agama), dan ketakdilan ekologis (politik).

Maka dari cara pandang konstruktivistik itu terungkap bahwa bencana alam ternyata tak sekedar sebuah peristiwa yang benar-benar ada. Ternyata ia adalah juga sebuah fenomena yang lebih terjadi dalam pikiran orang daripada dalam kenyataannya. Bukankah kita tak dapat mengukur apakah bagi alam sendiri gempa itu, seumpamanya, adalah sebuah bencana?

Para pecandu khilafah ataupun syari’at Islam, yang biasanya mengaitkan bencana dengan hukuman atas pengabaian penegakkan sistem khilafah ataupun penerapan syari’at Islam, dalam hal ini pada dasarnya tak jauh berbeda dengan para agamawan moderat, yang suka mengobral penghiburan semata, dan juga para ilmuwan dan aktivis politik. Mereka sama-sama membentuk atau memoles sebuah peristiwa yang terjadi dengan kerangka pikir masing-masing dan kemudian menyebutnya sebagai sebuah bencana alam, terlepas apakah alam memaknainya sebagai sebuah bencana atau bukan bencana.

Immanuel Kant adalah seorang pemikir yang pernah memilah tentang adanya noumenon (das Ding an sich) dan phenomenon (das ding fur sich). Yang pertama bukanlah kapasitas pengetahuan manusia, meskipun Kant juga mengetahuinya. Adapun yang kedua adalah apa yang di hari ini disebut sebagai pengetahuan. Dengan demikian, berdasarkan pemilahan Kant, kenapa ada beragam pemaknaan atas satu peristiwa yang sama adalah karena daya jangkau manusia hanya sampai pada tataran phenomenon yang ada untuk dirinya sendiri (das ding fur sich) dan bukannya noumenon yang ada dalam dirinya sendiri (das ding an sich).

Sampai di sinilah pada dasarnya tak salah ketika ada orang yang memaknai hidup manusia laiknya belantara diskursus yang dirangkainya sendiri sesuai dengan kepentingannya. Dan hidup beserta segala tetek-bengek di dalamnya hanyalah sebuah positioning, pertarungan dan persinggungan dari beragam kepentingan. Kepentingan yang menang kemudian akan menjadi sebuah kebenaran dimana dasar kebenaran ini adalah mesti mendasarkan diri pada kepentingan yang jauh lebih besar.

Pada dasarnya tak ada ukuran yang pasti apakah bencana dalam bingkai para agamawan, baik yang bercorak radikal maupun moderat, ilmuwan dan aktivis politik itu adalah sebuah kebenaran. Namun yang terang, bingkai atau kepentingan yang jauh lebih besar dan luaslah yang semestinya diakomodir. Dalam logika inilah kemudian kepentingan para agamawan radikal mesti disisihkan. Ada berbagai alasan yang sah untuk menyisihkan bingkai kepentingan religios-radikal itu.

Di samping logika, tersebab tak ada kesambungan logis antara khilafah ataupun penerapan syari’at Islam dengan bencana alam, kepentingan Pancasila dan UUD 1945 jauh lebih dapat menyelamatkan banyak orang dan banyak kepentingan: kemajuan sains, corak keagamaan dan spiritualitas yang jauh lebih positif-konstruktif, dan kemanusiaan yang tak mengel sekat.

Dengan demikian, benarlah William James ketika menyatakan bahwa kebenaran pada hakikatnya adalah soal manfaat sekali pun kebenaran itu adalah kebenaran di wilayah yang siapa pun tak dapat mengukurnya (Katrem, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dan jelas bingkai kepentingan Pancasila dan UUD 1945 jauh lebih bermanfaat besar dan luas dibanding bingkai kepentingan khilafah ataupun penerapan syari’at Islam menyangkut soal bencana alam sekali pun.

This post was last modified on 1 Desember 2022 2:53 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

22 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

22 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

22 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago