Narasi

Bencana Takfiri : dari Khawarij, Wahabi Hingga Terorisme

Kenapa menolak Wahabi atau kelompok Salafi? Bukti sejarah dan bukti-bukti masa kini cukup jelas. Mereka bercokol di negara ini dengan kebohongan doktrin agama. Sejak tahun 13 Hijriah mereka telah membuat onar dengan memisahkan diri dari kelompok Sayyidina Ali. Menuduh, baik Ali maupun Mu’awiyah kafir karena tidak berhukum dengan al Qur’an pada peristiwa arbitrase atau tahkim. Kemudian mereka disebut Khawarij.

Kelompok Khawarij merupakan penjelmaan dari Abdullah bin Dzil Khuwaishirah, lelaki pemrotes Nabi pada tahun 7 Hijriah saat beliau membagikan harta rampasan setelah umat Islam menang perang melawan perang melawan Bani Hawazin di lembah Hunain. Hal yang sama terjadi pada tahun 8 Hijriah saat Nabi membagikan emas mentah kiriman Ali dari Yaman. Abdullah bin Dzil Khuwaishirah menuduh Nabi telah berbuat tidak adil.

Tipikal keagamaan kaum Khawarij sama persis dengan paham keagamaan kelompok Wahabi atau Salafi. Suatu paham keagamaan radikal, keras dan menuduh orang lain kafir karena tidak berdasar pada hukum Allah seperti apa yang mereka pahami.

Kesamaan Khawarij dan Wahabi pada aspek takfiri yang secara serampangan mengadili sesama muslim sebagai kafir. Tidak segan menumpahkan darah sesama muslim yang berbeda pandangan. Klaim takfiri tentu berasal dari sebuah pemahaman salah terhadap doktrin tahkim.

Sayyidina Ali menyebut model keberagamaan seperti itu dengan “keberagamaan model anjing gila”. Kenapa sebab? Karena menggunakan dalil tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya. Dalilnya benar, namun objek dalilnya salah. Kata Sayyidina Ali, “kalimatun haqqun yurodu bihil bathil”, dalilnya benar tapi dibelokkan untuk kebatilan. Contoh paling nyata adalah doktrin “jihad semu” membunuh semua yang tak sepaham. Begitupun umat non muslim yang jelas-jelas beda agama.

Lalu, apa hubungannya dengan terorisme? Pemahaman takfiri yang dimunculkan oleh Khawarij dan dikembangkan oleh Wahabi merupakan muara dari pembenaran aksi terorisme. Apalagi secara fakta ditemukan bahwa hampir pelaku terorisme di Indonesia sejatinya memiliki afiliasi pemahaman Wahabi.

Memang tidak mungkin mengatakan bahwa wahabi sebagai kelompok radikal dan teroris. Namun, jika mau jujur mengatakan bahwa sumber dan akar pembenaran kelompok ekstremisme adalah ajaran Wahabi. Cukup mudah menjadi teroris jika memiliki pemahaman takfiri dari ajaran Wahabi.

Di Indonesia kelompok Wahabi atau Salafi terbilang sangat sedikit, namun melihat gerakan mereka yang sangat massif bukan tidak mungkin akan berkembang dan meningkat kalau tidak diantisipasi sejak sekarang. Kalau sempat berkembang pesat, apalagi sampai memegang kekuasaan maka tragedi berdarah sebagaimana dilakukan Wahabi atau Salafi dulu, tidak mustahil terjadi di negara ini.

Bukan hanya umat Islam, negara juga harus waspada mengingat sampai saat ini tidak ada kepastian kapan gerakan mereka akan berhenti. Pertama, tidak ada aturan tegas dari negara yang melarang kegiatan kelompok Wahabi atau Salafi. Sekalipun jelas-jelas membuat keonaran dengan gerakan bid’ah dan takfiri. Kedua, sebagian umat Islam malah percaya dengan kegombalan mereka. Banyak yang menjadi korban hasutan kelompok Wahabi atau Salafi.

Maka, pemerintah bersama sejumlah organisasi keagamaan (Islam) dan organisasi kemasyarakatan harus mengambil peran lebih serius supaya umat terbebas dari pola beragama eksklusif yang berujung pada kebencian, takfiri dan penyesatan terhadap kelompok lain.

Sudah Banyak yang Menolak Wahabi Tapi Kenapa di Indonesia Abai?

Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama pernah merekomendasikan untuk menghentikan segala aktifitas kelompok Wahabi atau Salafi. Namun sampai detik ini anjuran itu disikapi nihil.

Muktamar Chechnya atau Muktamar Ulama Ahlussunah wal Jama’ah SE dunia juga menolak Wahabi. Satu diantara hasil muktamar yang dihadiri oleh ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah se dunia itu, mengeluarkan sekte Wahabi dari kelompok Islam Sunni.

Keputusan tersebut tentu bukan karena hasrat dan nafsu, melainkan berdasarkan pada kenyataan kesalahan paham Wahabi atau Salafi sehingga mereka berani menyatakan Wahabi bukan bagian dari Sunni. Ini alasan pertama. Kedua, karena pemahaman keagamaan mereka seringkali menimbulkan keresahan dengan semisal tuduhan bid’ah dan kafir terhadap kelompok lain. Kemudian memunculkan aksi-aksi kekerasan berupa terorisme.

Ironisnya, pemerintah Indonesia belum juga mengambil arah kebijakan untuk menghentikan laju perkembangan kelompok radikal tersebut. Perlawanan sengit justru datang dari kelompok Nahdliyyin yang memang dengan nyata mampu membaca kebatilan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh kelompok Wahabi atau Salafi.

Selain karena NU yang seringkali amaliah-amaliahnya yang diserang kelompok tersebut, kekhawatiran akan terjadi kekacauan yang mengancam keamanan dan kedamaian menjadi sebab berikutnya kenapa NU pasang badan melawan kelompok takfiri tersebut.

Sejatinya, baik pemerintah melalui kebijakannya dan ormas-ormas keagamaan sejatinya ikut bergerak melakukan perlawanan terhadap kelompok Wahabi atau Salafi yang kerap menimbulkan kegaduhan.

Karenanya, membiarkan mereka sama saja dengan membiarkan api kecil dalam sekam. Pada akhirnya akan ada kobaran api besar dari api kecil tadi. Tentu kita semua tidak ingin kehancuran bangsa ini. Maka wajib hukumnya berjihad melawan kelompok takfiri untuk menjaga kemaslahatan besar bangsa yang selama ini cukup kondusif.

Sudah terlalu banyak bukti kepongahan kelompok Wahabi atau Salafi dengan ungkapan mereka, berupa menyesatkan kelompok lain, bahkan menuduh negara Indonesia thagut, karena Indonesia tidak berdasar pada al Qur’an maupun hadits. Padahal Pancasila dirumuskan oleh para ulama yang sekaligus pendiri bangsa ini.

Mungkinkah para ulama-ulama pendiri bangsa menetapkan Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam, mereka keliru dan tidak memahami teks agama?

Atau sebaliknya. Yang salah adalah kelompok Wahabi atau Salafi sebab kurang mendalam keilmuannya? Ini yang sangat mungkin. Sebab, nyatanya, kelompok Wahabi atau Salafi yang seringkali keliru memahami sebuah teks agama.

Kasus Yazir Hasan contoh kongkrit kedangkalan ilmu agama yang dimiliki. Apa yang dikatakannya berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Bisa saja sengaja memutar balikkan fakta ilmiah, atau bisa juga karena tidak bisa membaca dan memahami isi sebenarnya.

Karenanya, stop Wahabi perlu dipertegas untuk menghentikan paham Wahabi atau Salafi yang meresahkan tersebut. Jangan biarkan mereka berkembang kalau masih menginginkan anak-anak dan cucu-cucu kita nanti masih melihat Indonesia dengan wujudnya seperti saat ini.

This post was last modified on 3 Februari 2023 4:00 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Islamic State dan Kekacauan Kelompok Khilafah Menafsirkan Konsep Imamah

Konsep imamah adalah salah satu aspek sentral dalam pemikiran politik Islam, yang mengacu pada kepemimpinan…

9 jam ago

Menelaah Ayat-Ayat “Nation State” dalam Al Qur’an

Mencermati dinamika politik dunia Islam adalah hal yang menarik. Bagaimana tidak? Awalnya, dunia Islam menganut…

9 jam ago

Menghindari Hasutan Kebencian dalam Praktik Demokrasi Beragama Kita

Masyarakat Indonesia sudah selesai melaksanakan pemilihan presiden bulan lalu, akan tetapi perdebatan tentang hasilnya seakan…

9 jam ago

Negara dalam Pandangan Islam : Apakah Sistem Khilafah Tujuan atau Sarana?

Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah…

1 hari ago

Disintegritas Khilafah dan Inkonsistensi Politik Kaum Kanan

Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana…

1 hari ago

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

1 hari ago