Pustaka

Dakwah Kebencian: Ajaran Iman Atau Ustadznya yang Bermasalah?

Judul Buku                  : Ketika Umat Beriman Menciptakan Tuhan

Penulis                        : Prof. Syafaatun Almirzanah, M.A., M.Th., Ph,d., D.Min

Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Tahun Terbit               : 24 Maret 2020

Tebal Halaman           : 361

ISBN                           : 978-6020638805

Setiap agama tentu memiliki prinsip keimanan yang berbeda. Maka, peran dari pendakwah dalam tiap agama, tentunya mengajak umat ke dalam wilayah keimanan yang diyakininya. Lantas, apakah dakwah kebencian itu bagian dari ajaran Iman? Atau justru oknum ustadz/pendakwah-nya yang bermasalah?

Kita sering-kali menjumpai sosok pendakwah yang sifatnya menebar kebencian, memecah-belah dan intolerant atas keimanan agama lain. Tentu, kalau kita lihat dalam perspektif buku Ketika Umat Beriman Menciptakan Tuhan karya Prof. Syafa ini, kita akan menyadari satu hal.

Bahwa kebenaran Iman dalam tiap agama sejatinya tidak bersifat “reduksionis” atas keimanan agama lain/kelompok lain. Iman itu perihal rasa dan tumbuh dalam hati luhur seseorang. Maka, bias dari Iman tentu akan melahirkan kebaikan. Maka, ketika iman diperjuangkan dengan jalan kebencian, maka ini tentu sangat problematik.

Dari sini kita bisa memahami. Bahwa, yang menjadi akar-rumput dari sentiment/kebencian/alergi perbedaan bukan lagi perkara (Iman). Melainkan oknum-oknum ustadz/pendakwah-lah yang bermasalah. Maka, persoalan ini sebetulnya bukan karena ajaran Iman yang memecah-belah, melainkan oknum penceramah/pendakwahnya.

Dalam konteks yang semacam ini, Saya begitu tertarik dengan “kesadaran tentang Tuhan”. Sebagaimana, ada semacam entitas iman dan kesadaran yang inklusif dalam beragama. Dengan menganalisis karya yang sangat menarik dari Prof. Syafa yaitu “Ketika Umat Beriman Menciptakan Tuhan”.         

Buku tersebut banyak berbicara tentang “jalan berpikir kita” tentang Tuhan. Serta, bagaimana agama memberi label/istilah/aturan/prinsip tentang Tuhan yang begitu berbeda-beda dalam tiap agama. Keduanya akan membangun keterbukaan diri di dalam memandang keragaman itu secara inklusif.

Dalam konteks “jalan berpikir” kita tentang Tuhan. Buku ini mengurai sebuah penelitian tentang bagaimana cara kerja otak kita di dalam memikirkan Tuhan. Kondisi yang semacam ini akan melahirkan “gambaran” “clue” dan “pengalaman/sentuhan” akan dimensi ketuhanan itu.

Secara fungsional, paradigma teologis yang semacam ini berkaitan dengan “pembatasan” diri. Untuk memaksakan kehendak agar orang lain menerima apa yang kita pikirkan tentang Tuhan. Sebab, ada semacam dimensi kebenaran yang sebetulnya telah mengakar dalam diri seseorang yang telah menjadi jalan pikir, petunjuk dan pengalaman/rasa ketuhanan.

Maka, sangat tidak mungkin dirinya mudah rapuh hanya karena datang mengucapkan selamat keagamaan. Sebab, jalan berpikir, petunjuk dan rasa nyaman atas kebenaran Tuhan itu akan mengikat dan terletak di dalam diri kita.

Dari sinilah mengapa orang yang memiliki kesadaran iman dalam dirinya secara normal akan sangat mudah menerima perbedaan cara pandang atas Tuhan dalam tiap-tiap agama. Sebab, Buku ini sangat kontekstual menjelaskan entitas agama sebagai “pola pembacaan” tentang realitas Tuhan yang sifatnya personal dan akan berbeda-beda.

Mengapa? ini bukan perkara Tuhan yang banyak atau setiap agama memiliki Tuhan yang berbeda. Karena, sebagaimana dalam analisis sang Neurologis Amerika Serikat yaitu Mark Robert dan Andrew Newberg MD. Bahwa, agama mencoba membentuk iman seseorang tentang Tuhan ke dalam nilai positif dan melahirkan semacam kepercayaan yang mandiri.

Dalam Islam, hal ini disebut sebagai (sublimasi keimanan) yang melahirkan manifestasi ketuhanan yang membawa maslahat. Jadi, ketika seseorang dalam pijakan yang semacam ini, Saya rasa akan jauh lebih mudah menerima perbedaan agar saling terbuka-menghargai.

Dari sini kita bisa memahami betul bahwa persoalan kebencian yang sering-kali disampaikan oleh pendakwah/penceramah itu sebetulnya bukan ajaran agama. Perbedaan Iman bukan menjadi faktor kebencian. Iman adalah cara mengenal Tuhan dan melahirkan kebaikan. Sebab, yang menjadi masalah adalah oknum pendakwah/penceramah yang menebar kebencian mengatasnamakan “kebenaran Iman” itu.

This post was last modified on 3 Februari 2023 3:38 PM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

22 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

22 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

22 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

22 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago