Narasi

Beragama Namun Terpecah-belah?

Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang terdiri dari aneka keragaman yang sungguh mengagumkan: agama, suku, ras, ormas keagamaan, afiliasi politik dan sebagainya. Dengan keragaman yang ada, potensi terjadinya konflik tentu terbuka lebar.

Dan nyatanya, beberapa konflik yang dilatari oleh perbedaan itu masih saja terjadi. Bahkan akhir-akhir ini, keretakan kecil muncul karena perbedaan ideologi keagamaan. Yang ngebet mendirikan negara impian khilafah berseteru dengan yang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mati-matian. Jika dibiarkan oleh pemerintah, ini akan mengganggu kerukunan dan persatuan bangsa ini.

Untungnya, bangsa ini (masih) memiliki kewarasan dan kesadaran yang cukup baik untuk menjaga tali persatuan dan kesatuan, sebagai sebuah keluarga besar yang sama-sama tinggal di rumah sangat besar bernama NKRI.

Keuntungan lain, karena bangsa ini juga memiliki warisan leluhur yang luar biasa hebat, yang menjadi kredo untuk hidup saling bergandengan tangan. Misalnya, bangsa ini terwarisi Pancasila dengan sila Ke-3 berbunyi “Persatuan Indonesia”. Apapun latarnya, persatuan adalah amanat yang tidak boleh disia-siakan oleh generasi bangsa.

Kita juga terwarisi berbagai petuah atau tuturan hikmah dari para leluhur untuk terus menjaga persatuan dan kesatuan. Sebut saja “Bhinneka Tunggal Ika”, “Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh” dan banyak lagi. Memegangi diktum ini sepenuh jiwa akan menjadikan bangsa ini kokoh dan kuat.

Contoh-contoh luhur persatuan dan kesatuan para pendiri bangsa ini juga memberikan arahan yang jelas. Tanpa persatuan dan kesatuan, ditopang visi bersama hidup sebagai bangsa, mustahil kita akan menjadi bangsa yang merdeka dari penjajahan dan menjadi bangsa yang besar sebagaimana kita lihat hari ini.

Pertanyaannya: di mana peran agama untuk merekatkan persatuan dan kesatuan bagi keragaman yang ada?

Semua agama tentu saja mengajarkan persatuan dan kesatuan. Dan dalam konteks Islam, tentu saja doktrin persatuan dan kesatuan itu telah jauh-jauh hari ditekankan dan diajarkan. Tidak boleh antara yang satu dengan yang lain terpecah-belah, apalagi jika hidup dalam satu naungan negara-bangsa yang sama. Kecintaan pada negara harus didahulukan dari kecintaan pada suku-ras-golongan.

Tak heran, pendiri Nahdhatul Ulama (NU) Hadhratusysyeikh KH. M. Hasyim Asyari, bahkan membuat diktum yang sangat terkenal: hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air sebagian dari iman). Diktum ini tidak main-main dibuat dan tidak asal dibunyikan.

Mengaitkan kecintaan pada tanah air dengan keimanan, ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang telah meresapi ajaran-ajaran agamanya dengan pendalaman yang sejati. Sebagai tokoh besar Islam Nusantara, beliau tentu saja menyarikannya dari doktrin-doktrin Islam yang dipahaminya, baik yang bersumber pada Alquran maupun Hadis Nabi.

Misalnya, terkait persatuan dan kesatuan ini, Allah Swt berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah; dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Qs. Ali Imran [3]: 103). Ayat inilah yang paling tegas melarang sekaligus mengecam terjadinya perpecahan antar satu dengan yang lain. Oleh para ulama, lumrahnya term “tali Allah” yang menjadi kunci persatuan dan kesatuan dimaknai sebagai agama.

Namun tentu saja tidak serta-merta “agama” yeng menjadi “tali” persatuan dan kesatuan, namun juga kesepakatan-kesepatan sosial founding father yang menjadi acuan berbangsa dan bernegara: UUD 45 dan Pancasila. Karena orang beragama, secara luas juga harus menaati ulu al-amr (pemerintah) dengan aneka kebijakannya yang maslahat bagi umat.

Islam juga menekankan penghargaan yang tinggi pada keragaman. Allah Swt berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. al-Hujurat [49]: 13).

Dengan begitu jelas, Allah Swt menempatkan “ketakwaan” sebagai ukuran kemuliaan seseorang di hadapan-Nya. Tidak semestinya yang satu merasa lebih baik dari yang lain, karena latar belakang suku-ras-agamanya. Di negeri ini, karenanya, semestinya perbedaan apapun tidak menjadikan bangsa ini terbelah.

Dalam hal beragama, seluruh bangsa ini juga semestinya saling menghargai. Ayat “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Qs. al-Kafirun: 6) atau “Tidak ada paksaan dalam beragama” (Qs. al-Baqarah: 256), dll, juga menjadi diktum Islam yang merekatkan perbedaan atas latar belakang agama.

Tidak hanya ayat-ayat Alquran yang menjadi pegangan hidup bersama sebagai bangsa. Teladan Rasulullah Saw sebagai mandataris-Nya, juga wajib menjadi pegangan utama. Kehadirannya di Madinah, lalu inisiatifnya yang brilian membuat Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) menjadi contoh nyata.

Piagam Madinah ini mempersatukan dan menyatukan masyarakat Madinah yang terdiri dari berbagai unsur: Islam, Majusi, Yahudi (Qainuqa, Nadhir dan Quraidah), juga dua suku besar keturunan Yaman, Aus dan Khazraj. Bahkan, Aus dan Khazraj yang memiliki tradisi bertikai sepanjang sejarahnya bisa bergandengan tangan sesaat setelah Rasul hadir untuk mmepersatukannya.

Apa yang mengikat mereka dengan latar belakang yang beragam itu? Jawabannya bisa ditemukan dengan jelas dari Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Ya’la: “Seluruh makhluk adalah keluarga Allah SWT; dan yang paling dicintai-Nya adalah yang paling bermanfaat untuk keluarganya.” (Zahrah al-Tafasir: II/877).

Kesamaan sebagai “makhluk Allah” dan “seluruh makhluk adalah keluarga Allah SWT” inilah kuncinya. Penduduk bangsa inipun tentu memiliki kesamaan dasar sebagai makhluk Allah Swt ini. Apalagi kita semua berpegang pada keyakinan agama masing-masing. Sila ke-1 Pancasila juga menunjukkan perihal “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk itu, semestinya semua kembali pada ajaran agamanya, yang niscaya menekankan persatuan dan kesatuan.

Jika orang yang mengaku beragama justru bertikai dan berpecah-belah satu sama lain, apalagi dengan mendasarkan tindakannya pada ajaran agamanya, rasanya kok janggal dan tidak masuk akal. Sungguh, hanya orang yang keberagamaannya bermasalah saja yang mengajarkan perpecahan dan permusuhan.[]

 

This post was last modified on 26 April 2017 2:36 PM

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

18 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

18 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

18 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

18 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago